12/12/2009

Suksesi Pemerintahan Islam: Studi Naiknya Abu Bakar Menjadi Khalifah

oleh: Zakaria Anshori


Sistem Kemasyarakatan di Arab

Bangsa Arab menyebut negerinya dengan sebutan Jazirah Arab. Istilah ini muncul karena para pedagang Arab menganggap bahwa Arab merupakan daerah jalur perdagangan kawasan Timur Tengah[1]. Sebelum Islam datang, mereka telah mempunyai berbaga macam agama, adat istiadat, dan peraturan hidup.

Pada awalnya masyrakat Arab bukan masyarakat yang suka berkelahi apalagi berperang, tipe mereka adalah pedagang dan pelaut. Mereka selalu berkelana bertahun-tahun ke berbagai daerah, melakukan pelayaran ke berbagai Negara demi menawarkan barang dagangan yang mereka bawa[2].

Jazirah Arab merupakan daerah padang pasir, hal itu kemudian berpengaruh pada karakter masyarakat yang selalu berpindah-pindah mencari tempat yang lebih subur. Siapa yang cepat dan kuat dia dapat, itulah istilah yang tepat bagi mereka pada masa itu, sehingga tidak heran apabila mereka sering berumusuhan dan berperang demi mempertahankan tempat strategis untuk dijadikan tempat tinggal.

Bangsa arab terdiri dari bangsa Qahtan dan bangsa Adnan. Negeri asal bangsa Qahtan adalah terletak di selatan semenanjung Arab, termasuk dalam golongan ini adalah raja-raja negeri Yaman yang didalamnya terdapat negeri Saba’ dan Himyar. dari sinilah kemudian melahirkan suku-suku dan raja-raja, diantaranya suku Lakham yang menduduki Hijrah dan mendirikan sebuah kerajaan, juga lahir Raja Ghassan, selain itu juga lahir raja-raja Kindah, begitu juga kaum Azad yang melahirkan suku-suku Aus dan Khazraj.

Termasuk Adnan juga dikatakan sebagai bangsa Arab musta’rabah yaitu hasil dari campuran Arab dan non-arab, asal suku Adnan dari Arab utara dan negeri asalnya Makkah al Mukarramah. Darah baru yang mereka bawa adalah Ismail yang datang sama-sama ke Makkah pada masa kecil dan dibesarkan di suku Jurhum.

Sistem Pemerintahan Arab Pra Islam

Jauh sebelum Islam datang, wacana dan situasi politik bagi bangsa Arab sudah menjadi konsumsi sehari-hari, terutama setelah berdirinya berbagai kerajaan yang merupakan panutan bagi rakyatnya. Ada banyak kerajaan yang telah muncul sebelum Islam datang, diantaranya Kerajaan Saba’. Kerajaan ini berdiri sekitar pertengahan abad ke-10 S.M di semenanjung selatan Arab. Pada masanya Saba’ merupakan kerajaan yang teramat subur, terletak di bawah dua gunung besar yang kemudian mendirikan danau besar yang dikenal dengan danau Ma’arib. Ratu Saba yang terkenal adalah Ratu Balqis. Selain Saba juga terdapat kerajaan Himyar. Kerajaan ini mulai muncul sejak kerajaan Saba mulai lemah pada tahun 115 S.M [3]. Kedua kerajaan itu tidak luput dari incaran kerajaan besar Persia dan Romawi, sehingga banyak sekali serangan dan mengalami kehancuran.

Setelah Saba’ dan Himyar runtuh, perdagangan Arab serentak beralih ke Hijaz. Hijaz merupakan bagian Jazirah Arab yang tidak pernah di jajah oleh bangsa lain, termasuk Mekkah yang didalamnya terdapat Ka’bah yang disucikan bukan hanya oleh penduduk asli Mekkah melainkan orang Yahudi pun ikut melestarikan dan menjaganya, sehingga banyak pengunjung dari luar untuk menziarahi Ka’bah.

Sistem pemerintahan Hijaz pada masa ini dikuasai oleh suku Jurhum sebagai pemegang kekuasaan politik dan Ismail (keturunan Nabi Ibrahim), sebagai pemegang kekuasaan atas Ka’bah. Kekuasaan politik kemudian berpindah ke suku Khuza’ah dan akhirnya ke suku Quraisy di bawah kepemimpinan Qushai. Suku terakhir inilah yang kemudian memegang kekuasaan politik dan mengtur urusan Ka’bah[4].

Setelah Hijaz dijadikan sebagai jalur perdagangan Barat dan Timur, saat itu bangsa Arab mulai berhubungan dengan bangsa lain, dan saat pula mulai terjadi pembauran agama dan budaya. Meskipun agama Yahudi dan Kristen telah menyebar di Jazirah Arab, bangsa Arab kebanyakan masih menganut agama asli mereka, yaitu kepercayaan kepada banyak dewa yang diwujudkan dalam bentuk berhala, dan patung.

Dasar-dasar Pemerintahan yang Diwariskan Nabi


Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib adalah anggota Bani Hasyim, suatu Kabilah yang kurang berkuasa dalam suku Quraisy. Jabatan yang diberikan kepada suku Quraisy adalah siqayah, yaitu pengawas air Zamzam untuk digunakan oleh para peziarah. Tentu saja meskipun jabatannya kurang bergengsi tetapi Bani Hasyim merupakan keluarga yang terhormat walaupun keadaan ekonomi termasuk keluarga miskin.

Kelahiran Muhammad memberikan wajah baru bagi bangsa Arab dalam segala aspek, meskipun pada awal kerasulanya terdapat pro-kontra atas pengangkatan Muhammad sebagai nabi. Ada sahabat yang langsung mengimaninya tanpa basa basi seperti Abu Bakar, ada pula yang menginkari bahkan mendustakannya seperti Abu Lahab.

Sejak hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad selain sebagai pemimpin agama yang memiliki wewenang spiritual karena kedudukannya sebagai Rasul, juga sebagai kepala Negara yang memiliki kekuasaan sekuler (duniawi). Kepemimpinan Muhammad saw. diakui oleh seluruh masyarakat Madinah baik orang Muslim maupun orang yang non-muslim yang tinggal di sana. Tampaknya Nabi menyadari betul, berdasarkan pengalamannya ketika di Mekkah yang tidak memiliki wewenang duiawi, bahwa meskipun kepentingan yang sesunguhnya adalah terlaksananya nilai-nilai Agama yang dibawanya, tetapi kekuasaan politik meskipun bersifat subsider tapi untuk saat itu tak terelakkan.

Dalam perjalanan kepemimpinannya, Rasulullah saw sudah banyak memberikan contoh kepada ummatnya. Di antara contoh kepemimpinan nabi[5]:

1. Ketika di Madinah, Rasulullah saw diminta penduduk Madinah untuk mengamankan dua suku Madinah yang selalu konflik, yaitu suku Aus dan Khajraz. Rasulullah mendamaikan lewat institusi masjid dengan memperkenalkan ikatan berdasarkan agama (ukhuwah islamiyah), menggantikan ikatan konvensional yang saat itu lewat ikatan darah.

2. Rasulullah selalu mengedepankan etika dan moral. Prinsip cara harus seiring dengan tujuan dijunjung tinggi Nabi, dalam teori dan peraktek, perang merupakan jalan terakhir untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan humanisme (QS. Al Baqarah: 193) selain itu dalam perang Nabi menerapkan aturan main yang selalu dipatuhinya.
3. Masalah tawanan Perang Badar, Abu Bakar menyarankan agar para tawanan tersebut dimanfaatkan dengan dikembalikan kepada keluarganya dan diganti dengan tebusan uang. Sedangkan Umar bin Khattab mengusulkan agar di hukum mati. Melihat kondisi sahabat pada waktu itu kekurangan material, nabi mengembalikan kepada para sahabat keputusan apa yang akan diambil, dan para sahabat mengambil opsi yang pertama.

4. Tradisi Musyawarah yang selalu dikedepankan dalam memimpin.

Karakteristik Sahabat Abu Bakar dan Umar bin Khattab

Wafatnya Nabi tanggal 12 Rabiul Awal 11 H. setelah terbentuknya persatuan bangsa Arab (dimana seluruh Jazirah Arab secara politis di bawah kekuasaan Nabi), Nabi tidak meninggalkan pesan untuk penggantinya, ternyata menimbulkan persoalan besar. Orang-orang Anshar telah mendahului orang-orang Muhajirin untuk mengadakan pertemuan dan menentukan pengganti Nabi. Karena itu, menyebabkan kemarahan keluarga Nabi khususnya Fatimah puteri Nabi satu-satunya yang masih hidup.

Pertemuan tersebut dilaksanakan di Saqifah, atau Balai Pertemuan Bani Sa’idah. Tujuannya untuk mengangkat Saad bin Ubadah, seorang tokoh Anshor dari suku Khazraj, sebagai pengganti Nabi dalam bidang kenegaraan. Rencana tersebut terdengar oleh Umar bin Khattab, saat itu pula Umar dengan cepat menemui Abu Bakar, yang pada waktu itu Abu Bakar berada di rumah Nabi. Semula Abu Bakar menolak karena sibuk mempersiapkan proses Pemakaman Nabi. Tetapi setelah diberi tahu dan diyakinkannya bahwa terjadi peristiwa yang mengharuskan kehadiran Abu Bakar, akhirnya ia mau. Di tengah jalan menuju tempat pertemuan tersebu, mereka bertemu dengan Abu Ubaidah bin Jarrah, seorang sahabat senior dari Muhajirin untuk ikut hadir.

Sesampainya di sana ternyata sudah datang pula sejumlah orang Muhajirin, bahkan telah tejadi perdebatan sengit antara fraksi Anshar dan Muhajirin. Masing-masing mengemukakan keungulannya. Kaum Anshar mengemukakan andilnya yang paling menentukan dalam penyerbaran ajaran Islam. Sementara kaum Muhajirin pun membeladirinya bahwa mereka adalah kelompok pertama yang masuk Islam dan membela Nabi. Melihat suasana yang semakin sengit, Abu Bakar angkat bicara dengan tenang, katanya: Bukankah Nabi telah bersabda bawah kepemimpinan itu sebaiknya berada di tangan kamum Quraisy, dan dibawah kepemimpinannyalah akan terjamin keutuhan, keselamatan, dan kesejahteraan bangsa Arab. Abu Bakar juga mengingatkan apabila kepemimpinan di bawah Anshar, timbuk kekhwatiran akan terulang kembali konflik yang terjadi pada kaum Aus dan Khazraj, apabila salah satu di antaranya naik.

Habbab bin Munzir tidak menerima tawaran Abu Bakar bahkan mengancam dominasi kaum Muhajirin hingga menawarkan untuk berperang dengan kaum Anshar, Umar bin Khattab kemudian menjawabnya dengan perasaan panas pula. Situasi yang hampir menimbulkan pertumpahan darah itu berhasil diredakan oleh Abu Ubaidillah (tokoh Muhajirin) dan Basyri bin Sa’ad (tokoh Khazraj). Kaum Anshar nampaknya terkesan dengan sikap kedua tokoh ini.

Situasi aman ini tidak disia-siakan oleh Umar bin Khatab untuk membaiat dan sumpah setiah kepada Abu Bakar dan mengangkatnya sebagai khalifah (pengganti rasul). Gerakan Umar itu kemudian diikuti oleh Ubaidah bin Jarrah, dan kemudian diikuti oleh yang lainnya termasuk Asid bin Khudair seorang tokoh dari Aus. Pada hari berikutnya bai’at (sumpah setia) dilaksanakan di masjid oleh rakyat umumnya dan tokoh tokoh lain yang hadir pada pertemuan tersebut[6].

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa tidak semua tokoh muhajirin menyetujui baiatan Abu Bakar Siddiq, termasuk Ali bin Abi Thalib, dan Abbas bin Abdul Muthallib yang berasal dari keturunan bani Hasyim. Menanggapi kenyataan seperti itu, Abu Bakar meminta saran kepada Umar bin Khattab, Abu Ubaidah, dan Mugirah bin Syu’bah. Situasi itu berlarut panjang. Akhirnya ali dan pengikutnya dari baik dari kaum Muhajirin maupun Anshar satu per satu membaiat Abu Bakar sebagai khalifah, akan tetapi Ali mengatkan bahwa aku akan membaiat Abu Bakar setelah isterinya Fatimah Meninggal dunia. Kisah lain mengatakan baiat Ali kepada Abu Bakar setelah 40 hari kematian isterinya.

Kedua tokoh sahabat Abu Bakar dan Umar bin Khatab memiliki karakter yang sangat bertentangan, tapi semuanya saling melengkapi. Banyak kasus yang terjadi antar kedua tokoh tersebut, di antaranya:

1. Baik pada saat Isra Mi’raj maupun pada saat wafat Nabi, Abu Bakar tanpa basa basi langsung mempercayainya, sedangkan Umar bin Khattab mengacam akan membunuh orang yang membawa kabar kematian Nabi, Umar berpidato bahwa Rasulullah tidak wafat melainkan hanya pergi beberapa saat[7].

2. Abu Bakar mempunyai karakter yang lemah lembut, sedangkan Umar keras dan tegas. Sehingga ketika Abu Bakar mendapatkan ancaman umar selalu berada di baris yang paling depan[8].

3. Aisya mengatakan Abu Bakar adalah orang yang paling mudah terharu, kalau menggantikan Rasulullah ia takkan terdengar karena tangisannya.

Kesimpulan

Setelah runtuhnya kerajaan Saba dan Himya di Jazirah Arab, Hijaz dijadikan sebagai jalur perdagangan Barat dan Timur, saat itu bangsa Arab mulai berhubungan dengan bangsa lain, dan saat pula mulai terjadi percampuran agama dan budaya. Meskipun agama Yahudi dan Kristen telah menyebar di Jazirah Arab, bangsa Arab kebanyakan masih menganut agama asli mereka, yaitu kepercayaan kepada banyak dewa yang diwujudkan dalam bentuk berhala, dan patung.

Salah satu indikasi pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Rasulullah adalah ketika Rasulullah sakit dan Abu Bakar diperintah untuk menggantikan imam shalat Subuh, di samping masih banyak kriteria lain seperti kedekatan beliau pada Rasulullah dan termasuk orang yang pertama masuk Islam dari golongan laki-laki.


Endnote

[1] Prof. Dr. Ahmad Syalabi. Sejarah dan Kebudayaan Islam. (Singapura: Pustaka Nasional PTE, 1970) hal. 47

[2] Phillip K. Hitti, Dunia Arab.(Bandung: Sumur Bandung) cet. 7 hal. 26

[3] Prof. Dr. Ahmad Syalabi. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Hal.59

[4] Dr. Badri Yatim, M.A. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Rajawali Pers.1999) cet. 9 hal. 14

[5] Sukron Kamil. Islam dan Demokrasi “TelaahKonseptual dan Historis” (Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002) hal. 87

[6] Dr. Husain Muhammad Haikal. Khalifah Rasulullah Abu Bakar As Siddiq (Solo: Pustaka Montik, 1994) hal. 56

[7] Thaha Husain. Dua Tokoh Terutama (As Saikhon). Terj. Ali Audah (Singapura: Pustaka Nasional. 1983)

[8] Dr. Abbas Mahmud Aqqad, Keagungan Umar bin Khattab (Solo: Pustaka Mantiq. 1992)


Daftar Pustaka

Husain Thaha. Dua Tokoh Terutama (As Saikhon). Terj. Ali Audah (Singapura: Pustaka Nasional. 1983)

Aqqad, Abbas Mahmud. Keagungan Umar bin Khattab (Solo: Pustaka Mantiq. 1992)

Haikal, Husain Muhammad. Khalifah Rasulullah Abu Bakar As Siddiq (Solo: Pustaka Montik, 1994)

Kamil, Syukron. Islam dan Demokrasi “TelaahKonseptual dan Historis” (Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002)

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Rajawali Pers.1999) cet. 9

Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam. (Singapura: Pustaka Nasional PTE, 1970)

Phillip K. Hitti, Dunia Arab.(Bandung: Sumur Bandung) cet. 7


makalah ini telah dipresentasikan di Fakultas Ushuluddin smester III, Institut PTIQ Jakarta

Tidak ada komentar: