5/20/2010

BUYA DIMYATHI, ULAMA SUFI YANG HAUS ILMU

Syekh Dimyathi bin Muhammad bin Amin al-Bantani adalah sosok ulama kharismatik berkelahiran Banten, tepatnya di kampung Kalahang, Kabupaten Pandeglang. Lahir sekitar tahun 1925 anak dari pasangan H.Amin dan Hj.Ruqayah. Dikalangan masyarakat luas beliau sering dipanggil dengan sebutan Abuya Dimyathi atau Mbah Dim, sebutan ini merupakan bentuk penghormatan masyarakat kepadanya atas keluhuran ilmunya, sikap tawadhunya yang begitu tertancap kokoh layaknya seorang ulama.
Sejak kecil, Abuya mendapatkan pengajaran secara langsung dari ayahnya, Syekh Muhammad Amin bin Dalin. Ia adalah sosok orang tua sekaligus ulama yang sangat ketat kecintaan terhadap berbagai disiplin ilmu. Sifat inilah yang kemudian dipegang erat oleh Abuya Dimyathi. Beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren lain, mulai dari Pesantren Cadasari, kadupeseng Pandeglang, ke Plamunan hingga ke Pleret Cirebon.
Semangat dan Ketekunan dalam menimba ilmu tidak pernah surut dalam diri Buya. Hal ini terbukti disaat beliau sudah menikah dan dikaruniai putra, yaitu sekitar tahun 1967-1968 M buya kembali mondok bersama putra pertamanya, serta beberapa orang santri yang turut mendampinginya. Setidaknya terdapat beberapa ulama yang beliau datangi untuk dijadikan sebagai guru. Di antara ulama-ulama tersebut adalah Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantany.
Abuya Dimyathi dikenal sebagai ulama yang cukup ketat dalam menjalankan perintah-perintah agama, dalam pengabdiannya beliau tidak hanya mengajarkan ilmu syari’at, tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf. Abuya merupakan mursyid besar Thariqah Syadziliyah, Setidaknya, ada tiga syarat menjadi seorang Mursyid. Pertama, seorang mursyid ketika menjadi pembimbing spiritual dan penunjuk jalan haruslah matang dalam menguasai ilmu para ulama. Kedua, seorang mursyid juga harus memahami memahami hikmah dari orang-orang yang sudah Ma’rifat Billah. Ketiga, seorang mursyid menguasai pula taktik dan strategi yang diterapkan penguasa (raja atau pemimpin politik).
Tidak hanya itu prilaku kehidupannyapun sangat tampak sekali dipenuhi oleh pendekatan-pendekatan tasawwuf. Seperti Juhud, tawadlu, ikhlas dan istiqomah. Maka tidaklah mengherankan apabila ada sebagian ulama yang menyebut Abuya Dimyathi adalah ulama rasikh, yaitu ulama yang sikapnya sehari-hari merupakan cerminan dari ilmu yang dikuasainya.
Ketekunan dan keistiqamahan buya dalam menyampaikan ilmu terbukti pada tahun 1999 mulai mengadakan pengajian kitab tafsir Ibnu Jarir yang mempunyai ketebalan 30 jilid, khatam dengan sempurna pada tahun 2003. Kaitannya dengan tafsir tersebut, banyak orang yang tidak percaya. Tapi itulah sosok Mbah Dim yang tak henti hentinya menyampaikan ilmu. Beliau membacakan tafsir Ibnu Jarir itu setelah khatam tafsir Ibnu Katsir (4 jilid) selama empat kali khataman.
Tidak hanya itu. Selai pandai dalam disiplin ilmu, Abuya juga termasuk sebagai sosok pejuang yang penuh dengan karomah, dituturkan dan membuat kita berdecak kagum. Misal seperti masa perjuangan kemerdekaan dimana Abuya berada di garis terdepan menentang penjajahan, kisah kereta api yang tiba-tiba berhenti sewaktu akan menabrak Abuya di Surabaya, kisah angin mamiri diutus membawa surat ke KH Rukyat. Ada lagi kisah Abuya bisa membaca pikiran orang, kisah nyata beberapa orang yang melihat dan bahkan berbincang dengan Abuya di Makkah padahal Abuya telah meninggal dunia. Bahkan kisah dari timur tengah yang mengatakan bahwa Abuya tiap malam jumat ziarah di makam Syech Abdul Qodir al Jailani dan hal-hal lain dan kisah lainnya yang merupakan tanda kemuliaan seorang Abuya.

Kerjaannya Ngaji

Terdapat prilaku yang unik dari sosok Mbah Dim. Seringkali beliau menolak tamu yang berkunjung bahkan disuruh pulang lagi jika kedatangan tamu tersebut mengganggu aktifitasnya, yaitu disaat Abuya mengajar. Tak peduli siapapun yang datang. Pejabat, presiden, konglomerat, orang kaya atau siapa saja, jika datang pada jadwal ngaji bersama jemaah, Abuya sering mengatakan kepada mereka, “pulang saja! Saya mau kerja.” Itulah kerjaannya adalah ngaji.
Cara inilah yang terus menerus sebagai upaya menuju ma’rifat kepada Allah. Dengan kata lain mengaji adalah mengajar, hal ini berdasarkan ucapan-ucapan yang sering keluar “thariqah aing mah ngaji!” artinya Thariqatku adalah ngaji. Mengaji adalah sebuah proses transformasi ilmu pengetahuan dari guru kepada murid. Melalui ngaji ini sejarah dan keteladanan Nabi serta para Sahabat dan Tabiin diwariskan kepada generasi selanjutnya yaitu para ulama. Sejalan dengan sabda Rasulullah saw. Bahwa ulama adalah pewaris para nabi.
Melalui pengajian seorang santri akan memperoleh ilmu, yang mana dengan ilmunya itu dia dapat menjalani amal dan praktik ibadah menjadi bersih dari segala hal yang dapat merusak nilai ibadah itu sendiri. Hal ini sesuai dengan apa yang Allah firmankan dalam surah al Mujadalah ayat sebelas bahwa Allah akan meninggikan orang yang beriman dan berilmu hingga beberap derajat. Begitu juga al-Ghazali mengatakan bahwa orang-orang yang selalu belajar akan sangat dihormati.
Cukup sering Abuya Dimyathi menyitir ungkapan para ulama yang menyebutkan pentingnya ngaji, hal ini merupakan sebuah perwujudan atau bentuk manifestasi rasa syukur hamba kepada Allah, karena manusia berbeda dengan makhluk lainnya yaitu dikaruniai akal yang sempurna. Dengan ngaji berarti dia menggunakan akal tersebut dengan sebaik baiknya, dengan ngaji pula merupakan upaya untuk membuang kebodohan yang dianggap sebagai bencana yang membawa dirinya pada kegelapan.
Wejangan spiritualnya selalu dinantikan masyarakat. Wejangan-wejangan Abuya memiliki kualitas tinggi sebagai obat bagi jiwa-jiwa yang sakit, oase bagi jiwa yang gersang sekaligus Nur ilahiyah yang menguasai kerajaan hati, dengan berjuta-juta malaikat berjaga disana, yang bisa mengusir gelap (zhulumat) dan setan serta bala tentara (Junud Asy-Syatain) dari hati manusia.
Namun sayang, ulama’ yang selalu menjadi pusat perhatian ini tepat pada hari Jum’at tanggal 3 oktober 2003 / 07 Sya’ban 1424 H, sekitar pukul 03:00 wib telah dijemput oleh Allah dalam usia 78 tahun. Padahal, pada hari itu juga akan dilangsungkan acara resepsi pernikahan putranya yang ke-4. Begitu mendengar bahwa Abuya Dimyathi wafat, maka pesantren yang terletak di desa Cidahu Cadasari Pandeglang Banten itu ramai dikunjungi oleh masyarakat yang ingin mengikuti acara resepsi pernikahan sekaligus pemakaman Abuya Dimyathi. Kejadian ini adalah suatu rahasia Allah yang Maha Mengatur yang dengan kekuasaannya dapat menjalankan dua agenda besar sekaligus secara bersamaan “pernikahan” dan “pemakaman”.


Zakaria Anshori