12/12/2009

Perkembangan Kajian Hadis dan Setelah Mengalami Kemunduran

Oleh: Zakaria Anhorie



Awal Perkembangan Hadis dan Kajiannya

Pada awal perkembangan Islam, Nabi melarang para sahabat untuk menuliskan hadis, hal ini karena dikhawatirkan terjadi percampuran dengan al Qur’an yang pada waktu itu memang para sahabat mencatatnya di berbagai media. Namun setelah peta penyebaran Islam meluas ke berbagai pelosok dan didukung dengan semakin banyaknya orang atau sahabat yang hafal al Qur’an, maka perintah larangan tersebut telah dinasakh oleh perintah yang membolehkannya. Dengan demikian larangan tersebut menjadi boleh[1].

Sistem penyebaran atau penyampaian hadis yang dilakukan para sahabat berbeda-beda. Ada yang menyampaikan sesuai dengan lafadz yang masih asli dari Rasulullah saw., sedangkan ada pula yang dengan maknanya saja dan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkannya, hal ini terjadi karena mereka sudah tidak ingat betul lafadh aslinya di samping mereka hanya mementingkan isinya saja. Hal ini dibolehkan oleh Rasulullah, berbeda dengan al Qur’an yang harus disampaikan secara mutlak kebenarannya dan tidak boleh ditambahkan sedikitpun[2].

Masa khalifah Umar bin Abdul Ajiz (99-110 H) adalah masa awal dilakukannya pentadwinan hadis. Hal ini didasari dengan adanya kekhawatiran akan hilangnya perbendaharaan hadis di hadapan masyarakat. Selain itu juga dikhawatirkan akan bercampur dengan hadis palsu yang semakin marak beredar di masyarakat, karena pada masa ini adalah puncak semangat para sahabat dalam mengumpulkan hadis, oleh karena itu tidak menutup kemungkinan terjadi interpensi dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Kualitas kitab-kitab hadis karya ulama abad kedua ini masih bercampur antara hadis Rasulullah dengan fatwa-fatwa sahabat atau tabiin, hal ini disebabkan oleh kemauan keras dalam mengumpulkan hadis sehingga belum sempat meneliti dan menyeleksi mana yang termasuk hadis dan mana yang bukan hadis. Walhasil bahwa kitab-kitab hadis karya ulama-ulama tersebut belum bisa ditapis antara hadis yang marfu’, mauquf, dan maqhtu’, shahih, hasan dan dhaif.

Setelah itu kemudian beralih ke masa penyaringan hadis yang telah dibukukan tadi, masa penyaringan ini terjadi di abad III. Mulai pertengahan abad III, bermunculan ulama-ulama hadis seperti Muhammad bin Ismail al Bukhari (194-256), Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy (204-261) dan lainnya, yang meneliti tentang keshahihan suatu hadis. Tidak hanya matan dan sanadnya, melainkan perawinya juga ikut diselidiki sehingga kualitas hadis tersebut bisa diketahui secara tepat. Periode berjalan lama sampai banyak menghasilkan kitab-kitab yang mengkaji tentang hadis. Abad IV merupakan periode (Marhalah al Istikmal) Periode ini merupakan tahap lanjutan dan penyempurnaan terhadap karya-karya periode sebelumnya.

Pada abad IV H, para ulama umumnya mengikuti manhaj pendahulunya (generasi III). Dalam penulisan sunnah. Di antara mereka ada yang mengikuti manhaj Ash Shahihain dengan mengeluarkan hadits-hadits shahih saja dalam kitab mereka, adapun yang mengikuti manhaj kitab-kitab sunan dengan mengeluarkan hadist-hadits yang berkaitan dengan hukum-hukum dan adab-adab dan adapula yang mengarahkan karyanya pada masalah ikhtilaf al hadits.

Periode Pasca Abad IX hingga awal abad XIV (Marhalah aljumud) Pada periode ini gerakan ilmiah dalam alam islami mengalami kemunduran, termasuk dan terutama dalam ilmu-ilmu Sunnah nabawiyah.Namun,hal ini bukan berarti sama sekali tidak ada produksi para ulama hadits hanya saja adanya kreasi-kresai baru menjadi sesuatu yang langka dan hanya peran muhadtstsin tidak lagi sebesar sebagaimana sebelumnya. Di antara tokoh besar ulama hadits yang hidup di zaman ini adalah Al Imam Jalaluddin As Suyuthi, Al Hafizh As Sakhawi, Al Hafizh Zakariya Al Anshari, Muhammad Al Baiquni, Imam Waliyyullah Ad Dahlawi, Al ‘Ajluni, As Saffaarini, Az Zabidi, Muhammad bin Ali Asy Syukani dan lain-lain.

Masa Kebangkitan Kembali

Setelah mengalami kejumudan, abad XIV kajian terhadap hadis mulai bangkit lagi (marhalah an nuhdh wal inbi’ats), Pada periode ini, khidmatus sunnah mengalami suasana perkembangan baru, dengan adanya peran percetakan, di awali dengan masuknya ke percetakan Alam Islami mulai dari Mesir, kemudian Syam, Iraq, Palestina. Libanon, India dan seterusnya. Maka perhatian diarahkan kepada percetakan kitab-kitab agama terutama yang berkaitan dengan Al Quran ,Hadis, dan Fiqh ,mulailah diadakan pengumpulan karya-karya agung para ulama dalam ulum As Sunnah dalam berbagai disiplinnya, termasuk tadwinus sunnah di mana kitab-kitab induk mulai dicetak begitu pula kitab-kitab yang berhubungan dengannya.

Pada pertengahan abad 20 M, gerakan ilmiah ini makin luas dan gencar, terutama setelah kaum muslimin memahami tujuan-tujuan busuk yang terselubung dalam kedok imperialisme Barat yang berupaya memadamkan islam dengan jalan memadamkan Sunnah. Di antara ulama muhaditsin yang hidup di zaman ini adalah Syamsulhaq Azhim Abadi, Abul ‘Ala Al Mubarakfuri, Ahmad Syakir, Muhammad Nashiruddin Al Albani dan lain-lain.

Usaha kaum orientalis dalam memadamkan sunnah ini terus dihalangi oleh ulama-ulama hadis yang peduli terhadap keaslian hadis sebagai sumber pengambilan hukum islam. Terdapat banyak metode yang digunakan oleh kaum orientalis dalam mengkaji hadis. Ignaz Goladziher, orientalis terkemuka yang telah melakukan kajian yang intens terhadap hadis. Metode yang digunakan Goladziher adalah historis-fenomenologis yang hanya ditujukan terhadap unsur matan hadits (teks), yang cakupannya adalah aspek politik, sains, maupun sosio kultural, tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan unsur sanad sampai kepada Nabi.

Ignaz Goldziher terlahir dari keluarga Yahudi di kota Hongaria tanggal 22 Juni 1850. Pendidikannya mulai dari Budhaphes, dilanjutkan ke Berlin dan Liepziq pada tahun 1869. Dalam kajiannya terhadap dunia timur, Goldziher mencoba mendalami kajiannya di Syiria pada tahun 1870 kepada syekh Tahir al Jazairi, Kemudian pindah ke Palestina, lalu melanjutkan studinya ke Mesir, dimana dia sempat belajar pada beberapa ulama al-Azhar. Sepulangnya dari Mesir, tahun 1873, dia diangkat menjadi guru besar di Universitas Budhapes. Sebagai seorang orientalis, Goldziher tentu tidak tinggal diam atas kemajuan Islam. Dia berusaha menghancurkan Islam dari arah kajianya terhadap hadis, yang mampu menyebarkan berita kebohongan hadis.

Selain Ignaz Goldziher, juga Joseph Schact seorang tokoh orientalis yang sudah lama meneliti tentang hadis sehingga melahirkan sebuah karnyanya yang berjudul The Origin of Muhammadan Jurisprudence. Buku karya Schat ini kemudian dijadikan rujukan di kalangan orientalis. Meskipun keduanya tokoh sentral orientalis, mereka mempunyai perbedaan pandangan yang mendasar tentang hadis ini. Schat meyakini bahwa tidak ada yang otentik satu pun dari hadis Rasulullah, khususnya yang berkaitang dengan hukum Islam, sedangkan Goldziher hanya sampai pada meragukan keotentikan hadis Rasulullah saw.

Kesamaan motivasi yang dimiliki tokoh orientalis, Goldziher dan Schat tentu tidak sendirian dalam menyebarkan misinya untuk menghacurkan islam dari arah kajian hadis ini atau sering disebut juga penghancuran tradisi (destructio of the tradition)[3]. Banyak pengikut yang sama-sama menyebarkan kebohongan hadis Rasulullah saw. yang oleh umat Islam sebagai kitab rujukan kedua setelah al Qur’an. Kajian yang dilakukan oleh pengikut orientalis ini hanya sebatasa pada pengutipan-pengutipan pada kitab rujukan mereka, namun ada juga yang melakukan penelitian tapi kualitas kajian mereka tidak memiliki bobot ilmiah yang signifikan.

Ada banyak contoh yang dilakukan kaum orientalis dalam meyesatkan pemahaman terhadap hadis, di antaranya:

1. Goldziher menganggap bahwa hadith merupakan produk kreasi kaum muslimin belakangan, karena kodifikasi hadith baru terjadi setelah beberapa abad dari masa hidup Nabi[4]. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa hadith yang membolehkan penulisan (proses pengkodifikasian) lebih banyak dari pada pelarangan hadith yang lebih mengandalkan pada hapalan.

2. Mengubah teks-teks sejarah, di antara tokoh-tokoh ulama hadis yang menjadi incaran pelecehan Goldziher adalah Ibn Syihab al Zuhri. Goldziher mengubah teks-teks sejarah yang berkaitan dengan Ibn Syihab al Zuhri, sehingga timbul kesan bahwa al Zuhri sebagai seorang pemalsu hadis.

3. Membuat teori rekayasa untuk memperkuat tuduhannya bahwa apa yang dikenal sebagai hadis adalah bukan berasal dari Rasulullah, akan tetapi hasil karya ulama abad ke I dan II hijriah. Teori Projecting Back adalah teori hasil Schacht sebagai teori tentang rekonstruksi terjadinya sanad hadis[5].

4. Ignaz Goldziher menyatakan bahwa redaksi/matan hadith yang diriwayatkan oleh perawi-perawi hadith dinilai tidak akurat, karena mereka lebih menitikberatkan pada aspek makna hadis sehingga para ahli bahasa merasa enggan menerima periwayatan hadith disebabkan susunan bahasanya tergantung pada pendapat perawinya.

Analisa Kritis Terhadap Pendapat Orientalis

Sebagai jawaban terhadap kaum orientalis, terdapat para ulama kontemporer yang mencoba mengkaji ulang kesalahan-kesalahan yang dimiliki orientlis dalam memahami dan menyangkal terhadap pendapat yang diungkapkan oleh kaum orientalis ini. Sebut saja Dr. Mustafa al Siba’i (w 1945 M), Dr. Muhammad ’Ajjaj al Khatib (w 1363 M), dan tidak kalah penting adalah Dr. Muhammad Mustafa Azami yang pernah belajar di kandang orientalis.

Sebagai sebuah perbandingan, penting untuk diungkap dalam makalah ini adalah profil Mustafa Azami. Lahir di India Utara tahun 1932. Pengalaman panjang Mustafa Azami dalam mempelajari hadis berawal dari College of Science di Deoband, adalah sebuah perguruan terbesar di India yang juga mengajarkan studi Islam. Lulus dari India beliau melanjutkan pendidikannya di Universitas Al Azhar, kairo dan lulus tahun 1955. di tahun 1966, Azami mendapat gelar doktor di Universitas Cambridge, Inggris. Di Universitas Cambridge-lah Mustafa Azami melakukan pembelaan terhadap hadis Nabawi dengan meng-counter pendapat para orientalis serta membongkar kepalsuan-kepalsuan mereka secara kritis, lebih objektif, dan lebih argumentatif.

Beberapa sangkalan yang diungkapkan para ulama hadis dalam menjawab pendapat orientalis:

1. Di bagian awal telah saya singgung bahwa pada abad ke dua para ulama hanya sampai pada pengumpulan hadis, belum pada tahap penyeleksian atau pemisahan antara hadis dan fatwa sahabat atau tabi’in.

Muhammad ‘Ajjad al-Khatib menunjukan beberapa faktor yang menjamin kemurnian hadis. Pertama, adanya ikatan emosional umat Islam untuk berpegang teguh kepada segala sesuatu yang datang dari Nabi. Kedua, adanya tradisi hapalan dalam proses transmisi hadis. Ketiga, sikap kehati-hatian para muhaddith dari masuknya hadith palsu, ditunjang sikap selektifitas para muhaddis dalam tradisi periwayatan. Keempat, terdapatnya beberapa manuskrip yang berisi tentang hadis-hadis. Kelima, adanya majlis-majlis ulama dalam tradisi transformasi hadith. Keenam, adanya ekspedisi ke berbagai wilayah untuk menyebarkan hadith. Dan ketujuh, sikap komitmen para muhaddis dalam meriwayatkan hadis dengan didukung keimanan dan jiwa religiusitas yang tinggi[6].

2. Muhammad ‘Ajjad al-Khatib menawarkan solusinya dengan metode sebagai berikut: Larangan penulisan hadith ini bersifat umum, akan tetapi ada kekhususan bagi mereka yang mahir dengan tradisi membaca dan menulis, sehingga tidak ada kesalahan dalam menulis, seperti kasusnya Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash. Jadi, penulisan hadith itu sebenarnya sudah ada sejak abad 1 H dan bahkan tidak ada perselisihan (kontradiksi) sampai akhir abad itu.

Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab sudah dalam keadaan maju dan berkebudayaan. Ketika para sahabat lebih mengandalkan hapalan mereka, bukan berarti tradisi tulis-menulis tidak ada sama sekali di lingkungan mereka, karena banyak bukti-bukti sejarah yang mendukung adanya tradisi tulis-menulis di awal Islam ini[7]. Bukti lain adanya tradisi tulis menulis ini adalah bahwa di sekitar Nabi Muhammad Saw terdapat 40 penulis wahyu yang setiap saat siaga dalam melakukan penulisan. Ada juga Sa’ad Ibn ‘Abdullah Ibn ‘Auf yang memiliki kumpulan hadith dari tulisan tangan sendiri.

3. Ignaz Goldziher dalam menuduh perawi hadis sungguh tidak masuk akal, karena pada kenyataannya tradisi periwayatan hadith terbagi menjadi dua, yaitu periwayatan bil lafdzi dan periwayatan bil ma’na. Jenis periwayatan yang kedua yang telah disorot oleh Ignaz Goldziher dengan argumennya bahwa perawi hadis yang menggunakan tradisi periwayatan bil ma’na dicurigai telah meriwayatkan lafadz-lafadz yang dengan sengaja disembunyikan, sehingga redaksinya menjadi tidak akurat. Padahal, adanya tradisi periwayatan bil ma’na ini dikarenakan sahabat Nabi Muhammad Saw tidak ingat betul lafadz aslinya. Dan yang terpenting bagi sahabat Nabi adalah mengetahui isinya atau matan yang terkandung di dalamnya. Hadis berbeda dengan al Qur’an yang tidak boleh dirubah baik makna maupun lafadz[8].

4. Dalam membantah teori projecting back. Mustafa ‘Azami mengatakan bahwa sangat mustahil menurut ukuran situasi dan kondisi pada saat itu mereka pernah berkumpul untuk membuat Hadis palsu sehingga redaksinya sama. Dan sangat mustahil pula bila mereka masing-masing membuat Hadis, kemudian oleh generasi berikutnya diketahui bahwa redaksi hadis yang mereka buat itu sama. Kesimpulan A’zami ini bertolak belakang dengan kesimpulan Schacht, baik tentang rekontruksi terbentuknya sanad hadis, maupun bunyi teks (matan) Hadis tersebut. Sebagai contoh, A’zami mengemukakan sebuah hadis Nabi saw. yang berbunyi: “ Apabila salah seorang di antara kamu bangun dari tidurnya, maka hendaknya ia mencuci tangannya, karena ia tidak tahu semalam tangannya berada di mana “. Hadis ini dalam naskah Suhail bin Abi Shaleh berada pada urutan nomor tujuh, dan pada jenjang pertama (generasi shahabat) diriwayatkan oleh lima orang, yaitu Abu Hurairah, Ibn Umar, Jabir, Aisyah, dan Ali bin Abi Thalib.


Kesimpulan


Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Memang tiada henti orang-orang dalam mengkajinya, meskipun terdapat masa yang kosong dari peroses pengkajian tersebut, hal itu bukan berarti tidak ada kajian sama sekali melainkan sikap para ulama pada masa itu hanya melengkapi apa yang telah dilakukan oleh ulama-ulama abad sebelumnya dan menjadikan kitab-kitab terdahulu sebagai rujukan.

Muncul tantangan baru bagi umat Islam khususnya para muhaddisin untuk mengkaji kembali hadis yang telah disalah gunakan oleh kelompok orientalis yang sengaja mengkaji hadis. Akan tetapi mereka mengkaji bukan untuk memajukan Islam melainkan menghancurkan Islam melalui jalur hadis yang dipercaya oleh kaum muslimin sebagai kitab rujukan kedua setelah al Qur’an.

Perjalanan pentadwinan terhadap hadis cukup lama dan mengalami pasang surut. Dalam prosesnya para ulama sangat hati-hati sekali dalam menyeleksi hadis, sehingga kecil kemungkinan terjadi ketidak shahihan dalam meriwayatkan sebuah hadis. Oleh karena itu sangat tidak masuk akal apabila hadis dikatakan sebagai hasil karya ulama abad I dan II H.

Keseriusan para ulama menghasilkan pemikiran baru dalam membantah teori-teori yang dikeluarkan oleh kaum orientalis, sehingga keoutentikan hadis akan tetap terjaga meskipun terdapat sekelompok atau banyak di kalangan muslim sengaja membelokkan fungsi dan makna hadis hal ini dengan permasalahan sederhana yaitu adanya kepentingan kelompok demi mempertahankan hujjah-hujjah yang mereka lontarkan.



Endnote

[1] DR. Mustafa al Siba’i. Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, Sebuah Pembelaan Kaum Sunni Penerjemah. DR. Nurcholis Madjid, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007)

[2] Drs. Fathurrahman. Ikhtisar Mustalahul hadis. (Bandung: PT. Alma’arif, 1974)

[3] Hendro Prasetyo, “Pembenaran Orientalisme Kemungkinan dan Batas-batasnya,” dalam ISLAMIKA Jurnal Dialog Pemikiran Islam (Bandung: Mizan, 1994), h. 101

[4] M.M. Azami, Hadith Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustofa Yaquf (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 3

[5] Prof. KH. Ali Mustafa Ya’qub. Kritik Hadis. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004)

[6] Muhammad ‘Ajjad al-Khatib, al-Sunnah Qabla al-Tadwin. (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 122.

[7] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahhuh (Beirut: Dar al-Fikr, 1989)

[8] Fatur Rahman, Ikhtisar Mushthalah al-Hadith, h. 50.



Daftar Pustaka


Al Siba’I, Mustafa. Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam. Terj. DR. Nurcholis Madjid, {Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007).

Fathurrahman. Ikhtisar Mustalahul hadis. (Bandung: PT. Alma’arif, 1974).

‘Ajjaj al-Khatib, Muhammad. Ushul al-Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahhuh (Beirut: Dar al-Fikr, 1989)

‘Ajjad al-Khatib, Muhammad. al-Sunnah Qabla al-Tadwin. (Beirut: Dar al-Fikr, 1989)

Prasetyo, Hendro. Pembenaran Orientalisme Kemungkinan dan Batas-batasnya dalam ISLAMIKA Jurnal Dialog Pemikiran Islam (Bandung: Mizan, 1994)

M.M. Azami, Hadith Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustofa Yaquf (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994)

Prof. KH. Ali Mustafa Ya’qub. Kritik Hadis. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004)




makalah ini telah dipresentasikan di Fakultas Ushuluddin smester III, Institut PTIQ Jakarta

Suksesi Pemerintahan Islam: Studi Naiknya Abu Bakar Menjadi Khalifah

oleh: Zakaria Anshori


Sistem Kemasyarakatan di Arab

Bangsa Arab menyebut negerinya dengan sebutan Jazirah Arab. Istilah ini muncul karena para pedagang Arab menganggap bahwa Arab merupakan daerah jalur perdagangan kawasan Timur Tengah[1]. Sebelum Islam datang, mereka telah mempunyai berbaga macam agama, adat istiadat, dan peraturan hidup.

Pada awalnya masyrakat Arab bukan masyarakat yang suka berkelahi apalagi berperang, tipe mereka adalah pedagang dan pelaut. Mereka selalu berkelana bertahun-tahun ke berbagai daerah, melakukan pelayaran ke berbagai Negara demi menawarkan barang dagangan yang mereka bawa[2].

Jazirah Arab merupakan daerah padang pasir, hal itu kemudian berpengaruh pada karakter masyarakat yang selalu berpindah-pindah mencari tempat yang lebih subur. Siapa yang cepat dan kuat dia dapat, itulah istilah yang tepat bagi mereka pada masa itu, sehingga tidak heran apabila mereka sering berumusuhan dan berperang demi mempertahankan tempat strategis untuk dijadikan tempat tinggal.

Bangsa arab terdiri dari bangsa Qahtan dan bangsa Adnan. Negeri asal bangsa Qahtan adalah terletak di selatan semenanjung Arab, termasuk dalam golongan ini adalah raja-raja negeri Yaman yang didalamnya terdapat negeri Saba’ dan Himyar. dari sinilah kemudian melahirkan suku-suku dan raja-raja, diantaranya suku Lakham yang menduduki Hijrah dan mendirikan sebuah kerajaan, juga lahir Raja Ghassan, selain itu juga lahir raja-raja Kindah, begitu juga kaum Azad yang melahirkan suku-suku Aus dan Khazraj.

Termasuk Adnan juga dikatakan sebagai bangsa Arab musta’rabah yaitu hasil dari campuran Arab dan non-arab, asal suku Adnan dari Arab utara dan negeri asalnya Makkah al Mukarramah. Darah baru yang mereka bawa adalah Ismail yang datang sama-sama ke Makkah pada masa kecil dan dibesarkan di suku Jurhum.

Sistem Pemerintahan Arab Pra Islam

Jauh sebelum Islam datang, wacana dan situasi politik bagi bangsa Arab sudah menjadi konsumsi sehari-hari, terutama setelah berdirinya berbagai kerajaan yang merupakan panutan bagi rakyatnya. Ada banyak kerajaan yang telah muncul sebelum Islam datang, diantaranya Kerajaan Saba’. Kerajaan ini berdiri sekitar pertengahan abad ke-10 S.M di semenanjung selatan Arab. Pada masanya Saba’ merupakan kerajaan yang teramat subur, terletak di bawah dua gunung besar yang kemudian mendirikan danau besar yang dikenal dengan danau Ma’arib. Ratu Saba yang terkenal adalah Ratu Balqis. Selain Saba juga terdapat kerajaan Himyar. Kerajaan ini mulai muncul sejak kerajaan Saba mulai lemah pada tahun 115 S.M [3]. Kedua kerajaan itu tidak luput dari incaran kerajaan besar Persia dan Romawi, sehingga banyak sekali serangan dan mengalami kehancuran.

Setelah Saba’ dan Himyar runtuh, perdagangan Arab serentak beralih ke Hijaz. Hijaz merupakan bagian Jazirah Arab yang tidak pernah di jajah oleh bangsa lain, termasuk Mekkah yang didalamnya terdapat Ka’bah yang disucikan bukan hanya oleh penduduk asli Mekkah melainkan orang Yahudi pun ikut melestarikan dan menjaganya, sehingga banyak pengunjung dari luar untuk menziarahi Ka’bah.

Sistem pemerintahan Hijaz pada masa ini dikuasai oleh suku Jurhum sebagai pemegang kekuasaan politik dan Ismail (keturunan Nabi Ibrahim), sebagai pemegang kekuasaan atas Ka’bah. Kekuasaan politik kemudian berpindah ke suku Khuza’ah dan akhirnya ke suku Quraisy di bawah kepemimpinan Qushai. Suku terakhir inilah yang kemudian memegang kekuasaan politik dan mengtur urusan Ka’bah[4].

Setelah Hijaz dijadikan sebagai jalur perdagangan Barat dan Timur, saat itu bangsa Arab mulai berhubungan dengan bangsa lain, dan saat pula mulai terjadi pembauran agama dan budaya. Meskipun agama Yahudi dan Kristen telah menyebar di Jazirah Arab, bangsa Arab kebanyakan masih menganut agama asli mereka, yaitu kepercayaan kepada banyak dewa yang diwujudkan dalam bentuk berhala, dan patung.

Dasar-dasar Pemerintahan yang Diwariskan Nabi


Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib adalah anggota Bani Hasyim, suatu Kabilah yang kurang berkuasa dalam suku Quraisy. Jabatan yang diberikan kepada suku Quraisy adalah siqayah, yaitu pengawas air Zamzam untuk digunakan oleh para peziarah. Tentu saja meskipun jabatannya kurang bergengsi tetapi Bani Hasyim merupakan keluarga yang terhormat walaupun keadaan ekonomi termasuk keluarga miskin.

Kelahiran Muhammad memberikan wajah baru bagi bangsa Arab dalam segala aspek, meskipun pada awal kerasulanya terdapat pro-kontra atas pengangkatan Muhammad sebagai nabi. Ada sahabat yang langsung mengimaninya tanpa basa basi seperti Abu Bakar, ada pula yang menginkari bahkan mendustakannya seperti Abu Lahab.

Sejak hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad selain sebagai pemimpin agama yang memiliki wewenang spiritual karena kedudukannya sebagai Rasul, juga sebagai kepala Negara yang memiliki kekuasaan sekuler (duniawi). Kepemimpinan Muhammad saw. diakui oleh seluruh masyarakat Madinah baik orang Muslim maupun orang yang non-muslim yang tinggal di sana. Tampaknya Nabi menyadari betul, berdasarkan pengalamannya ketika di Mekkah yang tidak memiliki wewenang duiawi, bahwa meskipun kepentingan yang sesunguhnya adalah terlaksananya nilai-nilai Agama yang dibawanya, tetapi kekuasaan politik meskipun bersifat subsider tapi untuk saat itu tak terelakkan.

Dalam perjalanan kepemimpinannya, Rasulullah saw sudah banyak memberikan contoh kepada ummatnya. Di antara contoh kepemimpinan nabi[5]:

1. Ketika di Madinah, Rasulullah saw diminta penduduk Madinah untuk mengamankan dua suku Madinah yang selalu konflik, yaitu suku Aus dan Khajraz. Rasulullah mendamaikan lewat institusi masjid dengan memperkenalkan ikatan berdasarkan agama (ukhuwah islamiyah), menggantikan ikatan konvensional yang saat itu lewat ikatan darah.

2. Rasulullah selalu mengedepankan etika dan moral. Prinsip cara harus seiring dengan tujuan dijunjung tinggi Nabi, dalam teori dan peraktek, perang merupakan jalan terakhir untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan humanisme (QS. Al Baqarah: 193) selain itu dalam perang Nabi menerapkan aturan main yang selalu dipatuhinya.
3. Masalah tawanan Perang Badar, Abu Bakar menyarankan agar para tawanan tersebut dimanfaatkan dengan dikembalikan kepada keluarganya dan diganti dengan tebusan uang. Sedangkan Umar bin Khattab mengusulkan agar di hukum mati. Melihat kondisi sahabat pada waktu itu kekurangan material, nabi mengembalikan kepada para sahabat keputusan apa yang akan diambil, dan para sahabat mengambil opsi yang pertama.

4. Tradisi Musyawarah yang selalu dikedepankan dalam memimpin.

Karakteristik Sahabat Abu Bakar dan Umar bin Khattab

Wafatnya Nabi tanggal 12 Rabiul Awal 11 H. setelah terbentuknya persatuan bangsa Arab (dimana seluruh Jazirah Arab secara politis di bawah kekuasaan Nabi), Nabi tidak meninggalkan pesan untuk penggantinya, ternyata menimbulkan persoalan besar. Orang-orang Anshar telah mendahului orang-orang Muhajirin untuk mengadakan pertemuan dan menentukan pengganti Nabi. Karena itu, menyebabkan kemarahan keluarga Nabi khususnya Fatimah puteri Nabi satu-satunya yang masih hidup.

Pertemuan tersebut dilaksanakan di Saqifah, atau Balai Pertemuan Bani Sa’idah. Tujuannya untuk mengangkat Saad bin Ubadah, seorang tokoh Anshor dari suku Khazraj, sebagai pengganti Nabi dalam bidang kenegaraan. Rencana tersebut terdengar oleh Umar bin Khattab, saat itu pula Umar dengan cepat menemui Abu Bakar, yang pada waktu itu Abu Bakar berada di rumah Nabi. Semula Abu Bakar menolak karena sibuk mempersiapkan proses Pemakaman Nabi. Tetapi setelah diberi tahu dan diyakinkannya bahwa terjadi peristiwa yang mengharuskan kehadiran Abu Bakar, akhirnya ia mau. Di tengah jalan menuju tempat pertemuan tersebu, mereka bertemu dengan Abu Ubaidah bin Jarrah, seorang sahabat senior dari Muhajirin untuk ikut hadir.

Sesampainya di sana ternyata sudah datang pula sejumlah orang Muhajirin, bahkan telah tejadi perdebatan sengit antara fraksi Anshar dan Muhajirin. Masing-masing mengemukakan keungulannya. Kaum Anshar mengemukakan andilnya yang paling menentukan dalam penyerbaran ajaran Islam. Sementara kaum Muhajirin pun membeladirinya bahwa mereka adalah kelompok pertama yang masuk Islam dan membela Nabi. Melihat suasana yang semakin sengit, Abu Bakar angkat bicara dengan tenang, katanya: Bukankah Nabi telah bersabda bawah kepemimpinan itu sebaiknya berada di tangan kamum Quraisy, dan dibawah kepemimpinannyalah akan terjamin keutuhan, keselamatan, dan kesejahteraan bangsa Arab. Abu Bakar juga mengingatkan apabila kepemimpinan di bawah Anshar, timbuk kekhwatiran akan terulang kembali konflik yang terjadi pada kaum Aus dan Khazraj, apabila salah satu di antaranya naik.

Habbab bin Munzir tidak menerima tawaran Abu Bakar bahkan mengancam dominasi kaum Muhajirin hingga menawarkan untuk berperang dengan kaum Anshar, Umar bin Khattab kemudian menjawabnya dengan perasaan panas pula. Situasi yang hampir menimbulkan pertumpahan darah itu berhasil diredakan oleh Abu Ubaidillah (tokoh Muhajirin) dan Basyri bin Sa’ad (tokoh Khazraj). Kaum Anshar nampaknya terkesan dengan sikap kedua tokoh ini.

Situasi aman ini tidak disia-siakan oleh Umar bin Khatab untuk membaiat dan sumpah setiah kepada Abu Bakar dan mengangkatnya sebagai khalifah (pengganti rasul). Gerakan Umar itu kemudian diikuti oleh Ubaidah bin Jarrah, dan kemudian diikuti oleh yang lainnya termasuk Asid bin Khudair seorang tokoh dari Aus. Pada hari berikutnya bai’at (sumpah setia) dilaksanakan di masjid oleh rakyat umumnya dan tokoh tokoh lain yang hadir pada pertemuan tersebut[6].

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa tidak semua tokoh muhajirin menyetujui baiatan Abu Bakar Siddiq, termasuk Ali bin Abi Thalib, dan Abbas bin Abdul Muthallib yang berasal dari keturunan bani Hasyim. Menanggapi kenyataan seperti itu, Abu Bakar meminta saran kepada Umar bin Khattab, Abu Ubaidah, dan Mugirah bin Syu’bah. Situasi itu berlarut panjang. Akhirnya ali dan pengikutnya dari baik dari kaum Muhajirin maupun Anshar satu per satu membaiat Abu Bakar sebagai khalifah, akan tetapi Ali mengatkan bahwa aku akan membaiat Abu Bakar setelah isterinya Fatimah Meninggal dunia. Kisah lain mengatakan baiat Ali kepada Abu Bakar setelah 40 hari kematian isterinya.

Kedua tokoh sahabat Abu Bakar dan Umar bin Khatab memiliki karakter yang sangat bertentangan, tapi semuanya saling melengkapi. Banyak kasus yang terjadi antar kedua tokoh tersebut, di antaranya:

1. Baik pada saat Isra Mi’raj maupun pada saat wafat Nabi, Abu Bakar tanpa basa basi langsung mempercayainya, sedangkan Umar bin Khattab mengacam akan membunuh orang yang membawa kabar kematian Nabi, Umar berpidato bahwa Rasulullah tidak wafat melainkan hanya pergi beberapa saat[7].

2. Abu Bakar mempunyai karakter yang lemah lembut, sedangkan Umar keras dan tegas. Sehingga ketika Abu Bakar mendapatkan ancaman umar selalu berada di baris yang paling depan[8].

3. Aisya mengatakan Abu Bakar adalah orang yang paling mudah terharu, kalau menggantikan Rasulullah ia takkan terdengar karena tangisannya.

Kesimpulan

Setelah runtuhnya kerajaan Saba dan Himya di Jazirah Arab, Hijaz dijadikan sebagai jalur perdagangan Barat dan Timur, saat itu bangsa Arab mulai berhubungan dengan bangsa lain, dan saat pula mulai terjadi percampuran agama dan budaya. Meskipun agama Yahudi dan Kristen telah menyebar di Jazirah Arab, bangsa Arab kebanyakan masih menganut agama asli mereka, yaitu kepercayaan kepada banyak dewa yang diwujudkan dalam bentuk berhala, dan patung.

Salah satu indikasi pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Rasulullah adalah ketika Rasulullah sakit dan Abu Bakar diperintah untuk menggantikan imam shalat Subuh, di samping masih banyak kriteria lain seperti kedekatan beliau pada Rasulullah dan termasuk orang yang pertama masuk Islam dari golongan laki-laki.


Endnote

[1] Prof. Dr. Ahmad Syalabi. Sejarah dan Kebudayaan Islam. (Singapura: Pustaka Nasional PTE, 1970) hal. 47

[2] Phillip K. Hitti, Dunia Arab.(Bandung: Sumur Bandung) cet. 7 hal. 26

[3] Prof. Dr. Ahmad Syalabi. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Hal.59

[4] Dr. Badri Yatim, M.A. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Rajawali Pers.1999) cet. 9 hal. 14

[5] Sukron Kamil. Islam dan Demokrasi “TelaahKonseptual dan Historis” (Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002) hal. 87

[6] Dr. Husain Muhammad Haikal. Khalifah Rasulullah Abu Bakar As Siddiq (Solo: Pustaka Montik, 1994) hal. 56

[7] Thaha Husain. Dua Tokoh Terutama (As Saikhon). Terj. Ali Audah (Singapura: Pustaka Nasional. 1983)

[8] Dr. Abbas Mahmud Aqqad, Keagungan Umar bin Khattab (Solo: Pustaka Mantiq. 1992)


Daftar Pustaka

Husain Thaha. Dua Tokoh Terutama (As Saikhon). Terj. Ali Audah (Singapura: Pustaka Nasional. 1983)

Aqqad, Abbas Mahmud. Keagungan Umar bin Khattab (Solo: Pustaka Mantiq. 1992)

Haikal, Husain Muhammad. Khalifah Rasulullah Abu Bakar As Siddiq (Solo: Pustaka Montik, 1994)

Kamil, Syukron. Islam dan Demokrasi “TelaahKonseptual dan Historis” (Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002)

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Rajawali Pers.1999) cet. 9

Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam. (Singapura: Pustaka Nasional PTE, 1970)

Phillip K. Hitti, Dunia Arab.(Bandung: Sumur Bandung) cet. 7


makalah ini telah dipresentasikan di Fakultas Ushuluddin smester III, Institut PTIQ Jakarta

12/05/2009

Agama adalah Nasihat (Arbain an-Nawawi: 7)

Pendahuluan

Cukuplah seseorang dikatakan mulia bila ia melakukan apa yang telah dilakukan oleh makhluk yang paling mulia yaitu para nabi dan rosul (dalam hal menyebarkan nasihat) apalagi bila diketahui bahwa nasihat adalah amalan yang paling mulia, seperti pernyataan Imam Abdullah ibnul Mubarak saat ditanya amalan apakah yang paling afdhol, beliau menjawab, “Nasehat karena Allah.” Dalam Shahih Bukhori dan Muslim dari sahabat Abu Ruqoyah Tamim bin Aus Ad Daary, Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama itu nasehat.” Kami bertanya, “Untuk siapa wahai Rosulullah?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, kitabNya, dan rosulNya, dan bagi para pemimpin Islam, dan bagi muslimin umumnya.” Hadits ini mempunyai kedudukan yang agung dimana memberikan nash bahwa tiang agama dan pondasinya adalah nasehat. Dengan keberadaannya maka agama pun akan tetap tegak di tengah-tengah kaum muslimin, sebaliknya dengan lenyapnya nasehat maka akan terjadilah kepincangan di tengah-tengah mereka dalam seluruh aspek kehidupannya.

Di dalam makalah ini akan di bahas hadis ke tujuh dalam kitab arbain an nawawi, cakupan dalam hadis tersebut adalah nasihat. Garis besar dalam pembahasan ini adalah pengertian nasihat, kewajiban melaksanakan nasihat, dan juga sedikit disingung tentang sanadnya.

Kami ucapkan terimakasih kepada dosen pembiming bapak KH. Syarif Rahmat SQ, MA, sahabat-sahabat yang telah membantu, dan tidak lupa kami harapkan saran dan kritinya yang membangun. Semoga kita termasuk orang-orang yang terus berfikir.

Pembahasan Hadis ke 7

عَنْ أَبِي رُقَيَّةَ تَمِيْم الدَّارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ . قُلْنَا لِمَنْ ؟ قَالَ : لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ .رواه البخاري ومسلم

Dari Abu Ruqoyah Tamim Ad Daari radhiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah bersabda : Agama adalah nasehat, kami berkata : Kepada siapa ? beliau bersabda :Kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya dan kepada pemimpan kaum muslimin dan rakyatnya (Riwayat Bukhori dan Muslim)[1].

Jalur periwayat hadis tersebut banyak sekali, di antaranya dalah melalui at-Tirmidzi dengan penulisan matan yang berbeda, dan melalui Imam Muslim dari riwayat Sahil bin Abi Shalih, dari Atha bin Yazid, dari Tamim ad-Dari, dan telah diriwayatkan dari Suhail dan yang lainnya dari Abi Shalih dari Abu Hurairah dan berakhir di Rasulullah saw. Hadis tersebut terbilang shahih karena tidak ada syadz di dalamnya.

Hadis tersebut juga tercatat dalam beberapa kitab, Imam al Bukhari dalam kitab Shahihnya (bab 33 hadis 95), Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya (nomor hadis 1926), Imam an-Nasa’i (bab 7 hadis ke 157), Imam Ahmad dalam Musnadnya (bab 2 hadis ke 297), Imam ad-Daramy dalam Sunannya (bab 2 hadis ke 311), Imam Syafi’i dalam Musnadnya (233), Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul baari dengan syarah Shahih Imam al Bukhari (bab 1 hadis ke 137) dan yang lainnya[2].

Pengertian Nasihat


Menurut al Khattabi nasihat adalah kata yang ringkas tapi padat, yang maknanya memberikan bagian kepada orang yang dinasihatinya [3]. Raghib al Ashfahani mengungkapkan asal kata nasihat terambil dari kata nashaha,[4] terdapat beberapa pengertian pada lafadz tersebut, diataranya adalah [5] :

1. Nasihat berupa pekerjaan, atau ucapan untuk kebaikan sahabatnya

Maka Shaleh meninggalkan mereka seraya berkata: "Hai kaumku Sesungguhnya Aku Telah menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, dan Aku Telah memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasehat". (QS. al-Araf: 79)

Dan dia (syaitan) bersumpah kepada keduanya. "Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua". (QS. Al-A’raf:21)


2. Nasihat yang berupa Amanah

Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan Aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu". (QS. Al-A’raf: 68)

3. Nasihat yang bermakna murni, bersih, suci


Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya)... (QS. At Tahrim: 8)

4. Nasihat yang bermakna ikhlas,

Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, (QS. At-Taubah: 91).


Penjelasan Hadis ke 7

Nasihat ialah melakukan sejumlah kebaikan menjadi keberuntungan pihak yang dinasihati. Ibnu Hajar mengatakan hadis nasihat ini termasuk hadis-hadis yang disebut seperempat agama, dan diatara imam yang memberikan penilaian tentang hadis ini ialah Imam Muhammad bin Aslam ath-Thusi. Dalam riwayat Abi Daud Rasulullah saw. mengulangi kata addin an nasihat sebanyak tiga kali dan diawali lafadz Inna, dengan redaksi hadis sebagai berikut:

وفي رواية أبي داود قال : قال رسولُ الله -صلى الله عليه وسلم- : «إِنَّ الدين النصيحة ، إِن الدين النصيحة ، إن الدين النصيحة. قالوا : لِمَنْ يا رسول الله ؟ قال : لله عز وجل، ولكتابه، ولرسوله ، وأئمة المؤمنين وعامَّتهم ، وأئمة المسلمين وعامَّتهم


Rasulullah saw. mengulang-ulang kalimat ini karena memperhtikan kedudukannya, dan menunjukkan kepada umat agar tahu dengan sebenarnya bahwa agama seluruhnya baik dzahir maupun batin terangkum dalam nasihat. Yaitu melakukan dengan sempurna akan lima hak yang terkandung dalam hadis tersebut. [6]

1. Nasihat Bagi Allah

Nasihat bagi Allah maknanya beriman kepadaNya dengan benar dan beriman kepada seluruh apa yang terdapat dalam Kitab dan Sunnah dari nama-namaNya yang husna dan sifat-sifatNya yang tinggi dengan keimanan yang benar tanpa menyerupakanNya dengan yang lain, tanpa meniadakan dan tanpa merubah-rubah maknanya. MengesakanNya dalam hal ibadah dan meniadakan kesyirikan, melaksanakan perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya, mencintai apa yang dicintaiNya dan membenci apa yang dibenciNya. Memberikan loyalitas kepada hamba-hambaNya yang beriman dan berlepas diri dari musuh-musuhNya serta melawan orang-orang yang kafir terhadapNya. Menerima dan mengakui segala nikmat-nikmatNya dan mensyukurinya serta mengikhlaskan untukNya dalam segala perkara.

2. Nasihat Bagi Kitab Allah

Nasehat bagi kitabNya adalah beriman bahwa ia sebagai kalamullah yang diturunkan dariNya dan bukan makhluk, tidak akan dapat didatangi oleh kebatilan dari arah manapun, depannya maupun belakangnya. Meskipun seluruh jin dan manusia bersekutu untuk mendatangkan yang semisalnya niscaya tidak akan dapat menyerupainya. Allah berfirman, “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur`an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur`an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuatnya, peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang yang kafir.” (QS Al Baqoroh: 23-24). “Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan Al Qur`an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (QS Al Israa`: 88).

Berkata Imam At Thohawi rohimahullah, “Sesungguhnya Al Qur`an adalah kalam Allah, barangsiapa yang mendengarnya lalu mengiranya sebagai kalam (perkataan) manusia, maka ia telah kufur dan sungguh Allah telah mencelanya dan mengancamnya dengan neraka Saqar. Allah berfirman, “Aku akan memasukkannya ke dalam (neraka) Saqar.” (QS Al Mudatstsir: 26). Ketika Allah mengancam dengan neraka Saqar bagi orang yang mengatakan, “Ini tidak lain hanyalah perkataan manusia.” (QS Al Mudatstsir: 25), maka kita ketahui dan yakini bahwa Al Qur`an adalah kalam pencipta manusia, tidak serupa dengan perkataan manusia.” Termasuk nasehat bagi kitabNya adalah membacanya dengan benar dan khusyu’ serta mengajarkannya. Allah berfirman, “Dan bacalah Al Qur`an itu dengan perlahan-lahan.” (QS Al Muzzammil: 4). Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al Qur`an dan mengajarkannya.” (HR Bukhori).

3. Nasihat Bagi Rasul

Nasehat bagi RosulNya adalah membenarkan risalahnya, beriman kepada seluruh apa yang dibawanya, mentaati perintah-perintahnya dan larangan-larangannya, membelanya pada saat hidupnya dan setelah meninggalnya, membenci orang-orang yang membencinya dan mencintai orang-orang yang mencintainya, mengagungkan haknya dan memuliakannya, menghidupkan jalannya dan sunnah-sunnahnya, mengumandangkan dakwahnya dan menyebarkannya, menepis segala tuduhan-tuduhan yang ditujukan kepadanya, berkhidmat terhadap ilmunya dan memahami makna-maknanya, menyeru kepadanya dan mengagungkannya, menahan diri dari membicarakannya tanpa ilmu, berakhlak dengan akhlaknya yang mulia dan beradab dengan adabnya, mencintai ahli baitnya dan para sahabat-sahabatnya, menjauhi orang-orang yang mengadakan hal yang baru dalam sunnah-sunnahnya atau mencela sebagian dari kalangan sahabatnya. Berkata Imam Al Qurthubi, “Nasehat bagi rosulNya adalah membenarkan nubuwahnya, komitmen dalam ketaatannya, melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya, mencintai orang yang mencintainya dan membenci orang yang membencinya, menghormatinya, mencintainya dan mencintai ahli baitnya, mengagungkannya dan mengagungkan sunnah-sunnahnya, menghidupkan sunnahnya setelah meninggalnya dengan mencarinya dan mempelajarinya, membelanya dan menyebarkannya, serta berakhlak dengan akhlak yang mulia.”

4. Nasihat bagi Para Pemimpin (Islam)

Pemerintah atau pemimpin merupakan pemegang peran utama dalam menentukan maju tidaknya suatu umat atau bangsa. Nasihat bagi pemerintah ini bukan berarti mengimani secara utuh seperti kita beriman kepada Allah dan Rasulnya, akan terapi memberikan masukan yang dapat membangun kemajuan suatu bangsa. Di Indonesia sendiri sebagai negara penganut demokrasi telah mengalami kemajuan dalam mengkritisi terhadap sistem yang diterapkan pemerintah, setelah sekian lama dikuasai oleh sistem kepemimpinan otoriter yang serba tertutup.

Akan tetapi kita juga jangan menapikan kerja keras pemimpin dalam hal ini pemerintah yang terus berusaha memberikan yang terbaik terhadap rakyatnya. Dan di antara termasuk dalam nasihat dalam hal ini adalah menaati mereka dalam kebenaran, memberi tahu atau mengingatinya akan hak-hak warga negara, dan tidak melakukan pemberontakan terhadap pemeritahan yang jujur dan adil. Rasulullah bersabda:[7]

عن جبير بن مطعم رضي الله عنه انّ النبي ص.م. قال فى خطبته بالخبف مِن مِنّى. "ثلاث لا يغل عليهنّ قلب امرئ مسلم: إخلاص العمل لله, ومناصحة ولاة الأمر, ولزوم جماعة المسلمين"

5. Nasihat Bagi Umat Muslim Secara Umum

Berkata Imam Nawawi rohimahullah, “(Nasihat bagi muslimin) yaitu dengan mengarahkan mereka kepada apa yang membuatnya maslahat baik untuk akhiratnya ataupun untuk dunianya serta menahan diri dari menyakiti mereka, mengajari apa yang mereka tidak ketahui dari perkara agamanya, membantu mereka dengan ucapan ataupun perbuatan, memerintah mereka kepada yang ma’ruf dan mencegah mereka dari yang mungkar dengan lemah lembut dan penuh keikhlasan, menyembunyikan aibnya dan menutupi kelemahannya, menolak kemudharatan dari mereka dan mendatangkan kemaslahatan untuk mereka, menghormati yang besarnya dan menyayangi yang kecilnya, memberikan pengajaran yang baik dan meninggalkan dari berbuat curang dan dengki kepada mereka, mencintai kebaikan untuk mereka dan membenci kejelekan pada mereka serta membela harta-hartanya dan kehormatannya, mendorong mereka untuk berakhlak dengan apa yang telah disebutkan dari nasehat dan menumbuhkan kesemangatannya agar senantiasa taat.”
Rasulullah bersabda:[8]

عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "حق المؤمن على المؤمن ست" . قيل: وما هن يا رسول الله؟ قال: " إذا لقيته فسلم عليه، وإذا دعاك فأجبه، وإذا استنصحك فانصح له وإذا عطس فحمد الله فشمته، وإذا مرض فعده، وإذا مات فاتبعه"

Dalam hadis lain disebutkan:[9]

عن حكيم ابن يزيد عن ابيه عن النبي ص.م. قال:"اذا استصح احدكم اخاه فلينصح له. "


Kesimpulan

Demikianlah memang nasehat merupakan bagian penting dalam agama dan kehidupan kita, bahkan nasehat adalah salah satu di antara kelebihan-kelebihan yang membedakan kita dengan umat-umat lainnya dimana Allah telah lebihkan kita menjadi umat pilihannya. Allah berfirman, “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rosulnya (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS Al Baqoroh: 143).
Dari pemaparan makalah di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Agama dirangkum dalam nasihat, berdasarkan hadis addinu an nasihat
2. Hadis yang menjelaskan tentang nasihat ini termasuk ke dalam seperempat agama.
3. Rasulullah menafsirkan nasihat dengan lima perkara ini yang mencakup: melaksanakn hak-hak Allah, hak-hak Kitabnya, hak-hak Rasulnya, hak-hak terhadap para pemimpin, dan hak-hak semua kaum muslimin dengan berbagai ihwal dan tingkatan mereka.


Wallahu a’lam bish-shawab.

End Noot

1. Imam an Nawawi, hadis arbain nawawi.
2. Ibn Rajab al-Hanbali, Jami’ Ulum wal Hikam. (Daar el Fikri: Bairut. 2002) hal 86
3. Sayyi bin Ibrahim al Huwaiti. Syarh Arbain an-Nawawi. (Daarul Haq: Jakarta, 2006) hal. 98
4. Raghib al-Ashfahani. Mufradat fi Gharibil Qur’an. (Daar el Miftah: Libanon) hal 494
5. Raghib al-Ashfahani. Mu’jam Mufahras Lima’anil Qur’an. (Daar el Fikri: Syuriah, 1416) Jilid 2, hal. 1222
6. Mujiddin Abu Saadah al-Mubarak. Jamiil Ushul fi Ahadisi Rasul. Maktabah Daar al Bayan, Juz 1 hal. 557
7. Ibn Rajab al-Hanbali, Jami’ Ulum wal Hikam. (Daar el Fikri: Bairut. 2002) hal 87
8. Dirwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya, dalam kitabu as-salam, bab Hak Muslim Terhadap Muslim Menjawab Salam.
9. Disebutkan al-Bukhari secara muallaq dalam shahihnya dengan lafadz yang tegas. Al Fath, 4/371, dan disebutkan secara bersambung oleh Ahmad, 4/259.

Daftar Pustaka

An-Nawawi, Abu Zakaria. Hadis Arbain An Nawawi.

al Huwaiti, Sayyid bin Ibrahim. Syarh Arbain an-Nawawi. (Daarul Haq: Jakarta, 2006)

al-Hanbali, Ibnu Rajab. Jami’ Ulum wal Hikam. (Daar el Fikri: Bairut. 2002)

Abulhusain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy an-Naisabury. Shahih Muslim.
(Daarul Afaq al-Jadidah: Bairut)

Abu Abdillah Al Bukhari. Al Jami’ as-Shahi al-Mukhatashar. (Daar ibn Katsir: Bairut. 1987)

al-Ashfahani, Raghib. Mufradat fi Gharibil Qur’an. (Daar el Miftah: Libanon)

al-Ashfahani, Raghib. Mu’jam Mufahras Lima’anil Qur’an. (Daar el Fikri: Syuriah, 1416) Jilid 2

Abu Saadah al-Mubarak, Mujiddin. Jamiil Ushul fi Ahadisi Rasul. Maktabah Daar al Bayan, Juz 1



Makalah ini dipresentasikan di Fakultas Ushuluddin III Institut PTIQ Jakarta

10/04/2009

Bencana dalam Persepsi Sosial

Jauh sebelum Padang diguncang yang berkekuatan 7,6 SR, begitu banyak bencana melanda bumi pertiwi ini. Kebakaran hutan yang tidak kunjung padam di Kalimantan, gempa Jawa Barat yang berkekuatan 7,3 SR dengan menelan korban yang tidak sedikit, kebakaran yang melanda pasar dan pemukiman penduduk dalam sehari bisa mencapai tiga kali di tempat yang berbeda, lumpur lapindo, longsor, banjir, dll.

Beda kepala beda pemikiran, itulah yang terjadi sekarang. Ada yang menyangka bahwa bencana ini akibat dari sistem birokrasi pemerintah yang tidak sehat, ada yang mempersepsikan ini akibat kekhawatiran negara barat akan kemajuan negara islam dan itu terbanyak di Indonesia, sehingga mereka melakukan pengeboman secara rahasia di bawah tanah atau di dasar laut, kaum akademisi mengatakan gempa ini terjadi karena keberadaan negara Indonesia berada antara empat pertemuan lempengan, masyarakat yang menganut faham mistis berpendapat ini diakibatkan oleh diangkatnya kembali SBY sebagai presiden Indonesia, hal ini dilihat dari sejak awal SBY menjabat sebagai presiden yang dimulai dengan bencana tsunami 2004, dan yang lebih singkat yang mengatakan bencana ini merupakan musibah dan hanya dijawab dengan jawaban yang singkat pula yaitu bersabar dan berdoa.

Saya diingatkan oleh salah seorang teman sekampus saya melalui pesan singkat (SMS) untuk mengkaji ayat al Quran dari ayat dan surat yang berbeda, dalam pengertian lain bisa dijadikan sebagai sebuah referensi dasar dari semua bencana alam khususnya gempa yang baru-baru ini melanda Sumatera Barat dan sekitarnya. Isi SMS tersebut intinya sebagai berikut ---“gempa di Padang terjadi pd pkl 17.16, coba lihat (QS Al Isra(17):16), dan pd tgl 30 bln 9, lihat surat Ar Rum(30):9, kemudian gempa susulan terjadi pd pkl 17:38, lihat QS Al Isra(17) ayat 38, gempa Jambi terjadi pd pkul 08:52, coba lihat QS Al Anfal(8): 52.” ---

Dalam tulisan ini saya tidak terlalu terfokus pada apa yang disampaikan oleh SMS tersebut, namun ada sebuah benang merah yang bisa saya simak dari sekian banyak firman Allah tersebut. Dalam QS Al Isra: 15-16 dijelaskan bahwa segala sesutu perbuatan akibatnya akan kembali pada dirinya sendiri. Tapi dalam ayat selanjutnya Allah mengingatkan kita agar jangan terlalu terlena dengan keberadaan dunia sehingga lupa terhadap apa yang harus dilakukan untuk bekal di akhirat nanti. Dan barangsiapa yang melanggar atas apa yang telah Allah perintahkan maka tunggulah kebinasaan sebagaimana Allah telah membinasakan kaum sesudah Nuh.

Kita diperingatkan pula oleh Qs Ar-rum:9. Sebagai makhluk yang berakal manusia dituntut untuk memperlakukan alam secara baik, dan itu telah dilakukan oleh orang sebelum kita dan mereka sendirilah yang merusak. Hal ini terulang kembali dimasa kini dalam kondisi yang lebih parah. Teringat setelah gempa di Padang di negara lain juga terdapat bencana seperti gempa dan tsunami di Samoa yang menjadi negara bagian AS, topan parma di Filipina, banjir bandang di India, dll. (koran Sindo 05/10/19). Selain itu pada akhir 2008 di negara kita sempat diadakan sebuah konferensi dunia yang membahas masalah global warming yang merupakan agenda dunia untuk kembali mengolah dan memelihara dunia secara baik dan bijak.

Apapun yang terjadi yang pasti pada akhirnya banyak hikmah yang harus diambil dari sekian banyak bencana negeri kita pada khususnya. Di antaranya Allah memberikan penjelasan kepada makhluknya yang berakal melalui wahyunya yang disampaikan melalui rasulnya Muhammad yang kemudia tertulis dalam suatu mushaf yaitu Al Quran, terdapat dalam Qs Al Isra: 26-28 dengan selalu berbagi terhadap sesama dan memperhatikan hak-hak mereka yang membutuhkan.

Dalam kesempatan ini saya berharap kepada semua sahabat untuk bersama-sama menyimak pesan singkat itu, atas apa yang Allah sampaikan melalui firmannya yang tertulis dalam al Quran al Karim. Semoga kita termasuk pada orang-orang yang berfikir.

8/06/2009

Wanita dalam Jihad

Tragedi bom bunuh diri di Hotel Ritz Carlton dan JW Marriot pada Jum’at lalu sungguh menggencarkan banyak kalangan. Kaum politisi, pihak keamanan, bahkan sampai pemuka agama dan masyarakat luas pada umumnya. Berbagai media cetak ataupun elektronik baik dalam dan luar negeri tiap saat terus menyoroti perkembangan di dua hotel mewah tersebut, tak ubahnya seperti kiamat sugra yang melanda kaum papa sehingga menimbulkan banyak kerugian terutama dalam sektor ekonomi.

Sempat muncul spekulasi salah satu pelaku bom bunuh diri tersebut adalah seorang wanita yang masih berusia muda. hal ini tidak menutup kemungkinan dengan banyaknya kasus yang terjadi di berbagai negara yang rentan terjadi konflik. Pada 27 Januari 2002, Wafa Idris, perempuan usia 28 tahun, meledakkan diri di sebuah restoran di Yerusalem. Akibat kejadian itu, dua orang tewas dan lebih dari 40 orang lainnya cedera. Wafa adalah perempuan pertama pelaku bom bunuh diri di Palestina. Dia bukanlah perempuan tak berpendidikan. Dia adalah seorang janda yang berprofesi sebagai paramedis. Juga Darin Abu Aisyah, 21 tahun, juga menjadikan dirinya martir melawan tentara Israel. Mahasiswi Universitas Nablus, Tepi Barat, itu meledakkan diri di pos pemeriksaan di Tepi Barat. Lima orang cedera akibat peristiwa tersebut. Selain itu masih banyak deretan cerita yang melibatkan perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri.

Siapapun pelakukunaya, hampir semua orang sepakat, apa yang telah dilakukannya dengan meghilangkan nyawa orang lain dan menimbulkan kerusakan adalah kejahatan, tidak ada justifikasi ataupun pembenaran terhadap segala tindakan yang melanggar hukum tersebut, sekalipun dengan alasan jihad dan menegakkan kebenaran. Islam hadir kemuka bumi adalah sebagai rahmatan lil’alamin (rahmat bagi seluruh alam), kehadirannya sesungguhnya membawa keselamatan, kedamaian, ketenangan, petunjuk dan pemberi jalan yang lurus bagi seluruh umat manusia. Rahmat Islam seyogyanya dirasakan oleh semua makhluk, tidak hanya manusia, bahkan hewan dantumbukan sekalipun harus menjadi bagian yang mendapatkan rahmat karena kedatangan islam. Karenanya perilaku yang dapat merugian orang bayak apalagi sampai merenggut nyawa yang tidak berdosa itu sudah bertolak belakang dengan arti jihad itu sendiri bahkan syarat jihadnya pun tidak terpenuhi.

Banyak wanita yang berguguran di medan perang yang ikut perang bersama Rasulullah SAW. Tapi itu substansinya jelas membela agama dan memperjuangkan tauhid kepada Allah, dan dijalankan berdasarkan etika-etika yang telah di tetapkan dalam al Quran dan al Hadis. Hukum jihad bagi wanita hanya sampai pada batasan mubah/sunnah. Meskipun demikian, tak dapat dinafikan peran mereka yang sedemikian besar di dalam jihad dan persiapannya sebagaimana diceritakan dalam sejarah. Ada Ummu Sulaim yang memegang ‘khanjar’ (pedang pendek) dalam perang Hunain, Ummu Amarah yang turut berperang dalam perang Uhud, Nusaibah binti Ka’ab yang kehilangan tangannya dalam perang yamamah, juga para wanita yang turut bertempur dalam perang Yarmuk karena serangan tentara Romawi mencapai barisan belakang tentara Islam.

Sebagaimana pula dalam riwayat Bukhari dan Sunan Nasa’I, dari Aisyah radliyallahu ‘anha bahwasanya ia berkata, “Aku bertanya, ya Rasululloh, tidak bolehkah kami keluar untuk berjihad bersamamu? Karena sesungguhnya aku tidak melihat dalam Al Qur’an satu amalan yang lebih utama daripada jihad.” Rasululloh menjawab, “Tidak, akan tetapi sebaik-baik jihad bagi kalian dan sebagus-bagusnya adalah haji mabrur ke Baitulloh.” Dalam riwayat Ahmad dan Bukhori, Rosululloh shalallahu 'alaihi wasallam berkata, “Tidak, jihad kalian adalah haji mabrur, dan itu jihad bagi kalian.

Keterlibatan kaum wanita dalam berjihad memang diperintahkan oleh syariat, sebagaimana tersirat dalam beberapa hadis tentang jihad. Akan tetapi syariat juga mengatur peran serta mereka, sehingga persyaratan-persyaratan syar’i yang yang menjaga kaum wanita tetap terpenuhi.

Kembali pada pengertian jihad, pemaknaan jihad selama ini sebagai holy war (perang suci) semata, bagaimanapun merupakan sebuah reduksi terhadap arti kata tersebut, bahkan bisa menyesatkan. Kata jihad alam al Quran terdapat kurang lebih 41 ayat yang tersebar dengan memperlihatkan makna tunggal. Terambil dari kata juhd atau jahd arti laterilnya adalah kesungguhan, kemampuan maksimal, kepayahan dan usaha yang melelahkan. Dari kata ini kemudian terbentuk beberapa kata yang mempunyai makna yang berbeda. Ada Ijtihad mempunyai makna yang lebih mengarah pada upaya dan aktifitas intelektual yang serius dan melelahkan. Dalam terminologi sufisme juga dikenal dengan sebutan Mujahadah adalah sebuah usaha spiritual yang intens bahkan bisa mencapai tingkat ekstense. Sedangkan orang-orang yang berjuang dijalan Allah dengan sungguh-sungguh disebut Mujahidin.

Dalam terminologi islam jihad diartikan sebagai perjuangan dengan mengarahkan seluruh potensi dan kemampuan untuk sebuah tujuan-tujuan kemanusiaan, yang mengarah pada kebenaran, kebaikan, kemuliaan, dan kedamaian. Pada sejumlah ayat, jihad mengandung makna yang sangat luas dan beragam. Dalam surat Luqman ayat 15, yang artinya “dan jika keduanya berjihad terhadapmu agar mempersekutukan aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentangnya, maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergaulilah mereka di dunia dengan ma’ruf (kebaikan sesuai tradis)”. Dari ayat tersebut terdapat kata jihad dengan arti bukan perang dengan kekuatan senjata. Hal ini juga dapat terlihat dalam surat Al Ankabut ayat 8.
Jihad dalam pengertian dengan sungguh-sungguh pernah disampaikan oleh Nabi saw kepada para sahabatnya. Ketika mereka berangkat perang, mereka melihat seorang pemuda yang kekar sedang bekerja di sawah. Melihat kekekaran tubuhnya. Para sahabat berharap agar dia ikut berperang bersama mereka. Nabi terusik sambil berkata: “Orang-orang yang bekerja untuk menghidupi keluarganya juga sama denga jihad fi sabilillah”. Jihad dengan arti yang sama juga berlaku bagi ibu-ibu yang bekerja untuk menghidupi, mengurus keluarganya dan bekerja sama saling menghargai antara dia dan suaminya. Nabi mengatakan: “Sampaikan kepadamu kaum perempuan yang kamu jumpai, bahwa ketaatannya pada suami dan pengakuan atas hak-haknya adalah sama dengan jihad”.

Uraian singkat di atas menunjukkan bahwa jihad dalam al Quran mengandung makna perjuangan moral, spiritual, intelektual dan kerja keras untuk sebuah tanggung jawab kehidupan publik maupun domestik. Pada masa awal perjalanan islam pemaknaan seperti ini masih sangat populer. Kebesaran, kemenangan, dan kemajuan luar biasa yang pernah dicapai islam justeru lahir dari semangat jihad dengan makna-makna terakhir ini. Para pemikir muslim post tradisional juga memperkenalkan kembali makna jihad ini melalui karya-karyanya yang luar biasa.


Zakaria Anshori
Mahasiswa Fak. Ushuluddin III
Diolah dari berbagai sumber

7/05/2009

Makom dalam Tasawuf

Penting untuk dipaparkan di sini, tasawuf itu bukan akhlakul karimah, bukan juga ilmu hikmah. Jadi kalau ada orang yang sehari-harinya berlaku sopan, sering menolong pada sesama atau yang lainnya itu belum tentu ahli tasawuf. Ada lagi orang yang sering menolong atau mengobati orang dengan ilmu hikmah yang ia miliki, itu juga belum tentu orang sufi. Ada juga orang yang rajin ibadahnya baik itu wajib atau sunat, salat malam tidak pernah terlewatkan, puasa sunat selalu dilaksanakan, dan sebagainya itu juga belum tentu ahli tawawuf atau orang sufi. Jadi yang bagaimana sufi itu ?.

Sufi adalah ilmu maqomatil qulub wa ahwaliha yaitu ilmu yang memberikan jalan agar hati atau ruhani mempunyai makom atau status. Dalam istilah tasawuf ada tujuh makom yang dapat memberikan status pada ruhani yang terdiri dari taubat, wara’, zuhud, sabar, fakr, tawakkal, ridha, mahabbah dan ma’rifat. Kesemua sifat tersebut dibagi menjadi tiga greate yaitu takhalli, tahalli, dan tajalli.

Takhalli. sebagai tahapan pertama dalam mengurus hati, adalah membersihkan hati dari keterikatan pada dunia. Hati sebagai langkah pertama harus dikosongkan. Ia disyaratkan terbebas dari kecintaan terhadap dunia, anak, istri, harta dan segala keinginan duniawi. Yang termasuk pada takhalli adalah taubat, wara’, dan zuhud.
Taubat merupakan tiket pertama ketika akan memasuki wilaya sufi. Setiap orang yang akan memperkaya hati dengan makom-makom kesufian maka harus diawali dengan taubat. Sikap dalam taubat ini harus diucapkan dalam hati yang tulus dan penuh keikhlasan, pengucapan secara lisan boleh-boleh saja, tapi taubat yang sebenarnya adalah dalam hati. Bertekad untuk berhenti dari perbuatan dosa, bertekad tidak mengulangi kembali dosa-dosa yang telah dilakukan, baik itu bersifat disengaja, khotoya, atau dosa-dosa lain yang tidak terasa, bertekad untuk memperbaiki diri dan sebagainya. Kemudian setelah mendapat makom taubat orang tersebut akan memasuki makom yang selanjutnya yaitu wara’. Adalah sikap selektif dalam segala tindakan yang akan dilakukan. Kalau orang sudah selektif, tidak asal makan, tidak asal pakai, tidak asal ngambil, atau dalam istilah jawa tidak sembrono. Itu berarti dirinya sudah dimasuki sifat wara’ atau selektif. Dalam pepatah disebutkan tinggalkan yang kamu ragu, ambil yang kamu tidak ragu, dan tinggalkanlah sesuatu yang tidak berguna atau tidak ada manfaatnya. Al Quran menyebutkan:

ولا تكف ما ليس لك به علم, إن السمع والبصروالفئد كل اولئك كان مسئولا

Jangalah kamu masuk ke wilayah yang kamu tidak ketahui....

Sikap selektif tersebut harus di lakukan dalam segala hal, berucap, bergaul, bersikap ataupun apa saja yang memberikan manfaat. Bukan berarti kita gak boleh berbisnis atau cari uang, carilah apa saja tapi harus selektif.

Setelah wara’nya melekat, maka akan timbul zuhud(asketis). Yaitu memandang rendah dan tidak terikat pada dunia. Dalam hal ini para sufi melihat dunia bukan hakekat tujuan manusia, ketika hati ini sibuk dengan kehidupan dunia, saat ditinggalkan akan dihinggapi kesedihan, kekecewaan, dan penderitaan. Untuk melepaskan diri dari segala bentuk kesedihan, maka manusia harus melepaskan terlebih dahulu hatinya dari kecintaan pada dunia. Zuhud ini bukan berarti kita dituntut untuk miskin dan tidak mencari nafkah untuk kebutuhan sehari-hari, tetapi tidak ada keterikatan hati pada kekayaan tersebut. Boleh saja mobilnya banyak, rumah dimana-mana, tanah melimpah, istri banyak ataupun bentuknya, ketika ditinggal tidak merasa kecewa, gelisah, ataupun sedih.

Tahapan yang kedua adalah tahalli. Merupakan upaya pengisian hati yang telah dikosongkan. Hati yang telah kosong ini kemudia di isi dengan sabar, fakr, tawakkal, dan ridha. Sabar yaitu menerima atau menjalankan segala tindakan dengan hati ikhlas. Termasuk sabar juga kekuatan dan ketangguhan hati dalam mencegah terjerumusnya pada perbuatan dosa. Dalam al quran disebut kalau kamu mau membalas, tahanlah, dan memberikan maaf kepada manusia, kemudian orang yang menyakiti harus disikapi dengan baik atau ajak berdamai.

Setelah sabar, kemudian masuk ke makom fakr. Yaitu sikap perasaan hati yang tidak meyakini bahwa dalah hidup ini tidak ada satupun yang dimilikinya, semuah hanyalah titipan Allah. Pada hakikatnya semua harta yang kita miliki itu milik Allah. Siapa tau sekarang mengatakan rumah ini milik saya, besok sudah tidak bisa lagi mengatakan yang demikian. Allah mengatakan dalam al Quran wahai sekalian manusia kamu semua adalah fakir, dan yang kaya hanyalah Allah. Dan disebutkan juga dalam al Quran segala sesuatu akan mengalami kerusakan, dan yang kekal hanyalah Allah. Setelah sabar dan fakr melekat pada hati maka akan timbul ridha dan syukur.

Setelah tahap pengosongan dan pengisian, sebagai tahap ketiga adalah Tajalli. Yaitu, tahapan dimana kebahagian sejati telah datang. Ia lenyap dalam wilayah Jalla Jalaluh, Allah subhanahu wata’ala. Ia lebur bersama Allah dalam kenikmatan yang tidak bisa dilukiskan. Ia bahagia dalam keridhoan-Nya. Pada tahap ini, para sufi menyebutnya sebagai ma’rifah, orang yang sempurna sebagai manusia luhur. Dalam tahapan yang ke tiga ini akan melahirkan mahabbah dan ma’rifat. Tradisi sufi menyebut orang yang telah masuk pada tahap ketiga ini sebagai waliyullah, kekasih Allah. Orang-orang yang telah memasuki tahapan Tajalli ini, ia telah mencapai derajat tertinggi kerohanian manusia.

Jadi tasawuf adalah upaya agar ruhani kita mendapatkan status di hadapan Allah. Kalau melihat prosedur tersebut memang berat, tapi kalau diikuti dengan hati ikhlas atas dasar kesadaran, itu semua terasa ringan. Untuk berlatih menuju makom sufi tersebut kita berupaya dalam sehari semalam ada pekerjaan yang diikuti dengan hati ikhlas. Biasanya selalu dendam dengan orang lain, coba upayakan untuk menahan kedendaman yang ditimbulkan oleh hawa nafsu. Bukan berarti hawa nafsu itu jelek, tapi kita harus berupaya menahan dan mengendalikannya sehingga tidak terjerumus pada prilaku yang negatif.

Dengan keadaan zaman sekarang yang semakin tidak karuan, tasawuf ini lebih dibutuhkan terutama di kalangan masyarakat perkotaan yang lebih mempunyai beban berat, banyaknya orang-orang stres, tidak bisa mengendalikan hawa nafsunya, dan lain sebagainya. Bagaimana nafsu kita tidak capek, tiap hari melihat barang bagus di iklan-iklan atau di tempat-tempat lain. Berbeda dengan keadaan di daerah yang suasananya masih alami bisa terukur dan dapat dikendalikan. Satu hal yang perlu di ingat adalah sikap yang diwanti-wanti oleh tasawuf itu adalah rasa syukur terhadap nikmat yang diberikan Allah, apabila sudah tidak mau bersyukur kata Allah uruslah dirimu sendiri.

6/16/2009

Indonesia, Antara Harapan dan Impian

Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak dibawah garis khatulistiwa, letak geografis yang strategis ini dapat mempengaruhi pada kondisi daratan maupun lautan. Keberadaan indonesia ini dipandang oleh negara-negara di dunia sebagai negara penyumbang oksigen terbesar di dunia. Tapi kini tinggal cerita.

Saat ini pulau Kalimantan yang disebut sebagai paru-paru dunia sudah tiada lagi. Eksploitasi hutan secara besar-besaran yang dilakukan oleh kaum pribumi yang diakibatkan oleh minimnya pengetahuan dan hampanya spritual, yang akhirnya menjadikan pulau tersebu gersang dan bahkan flora dan pauna yang di merupakan kekayaan asli pulau tersebut sudah punah entah kemana.

Kekayaan Indonesia bukan hanya dari hasil alamnya yang melimpah, melainkan aneka budaya yang menjadikan daya tarik negara asing untuk mempelajari keberagaman yang dimiliki Indonesia. Namun jangan senang dulu, sudah banyak kasus kekayaan budaya kita dipatenkan oleh negara asing. Misalnya bahan makanan yang berasal dari jenis jamur seperti tempe yang merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa leluhur kita dipatenkan oleh negara Jepang sebagai bagian dari hasil kebudayaan mereka. Belum lama tari Reog Ponorogo yang merupakan kekayaan masyarakat Ponorogo, dipatenkan oleh negeri Jiran sebagai hasil kreasi mereka.

Ada sebuah kejutan yang datang dari negara tetangga, entah ini berupa kabar gembira atau musibah yang melanda negeri kita yang datang secara diam-diam. Dalam salah satu surat kabar online yang terbit pada Minggu, 14 Juni 2009 /11:54 WIB disebutkan bahwa ratusan sekolah dasar di Singapura dan Malaysia memiliki dan mempelajari alat musik tradisional asal Indonesia, yakni angklung dan gamelan. Lebih dari itu sekitar 175 sekolah dasar negeri di negeri tersebut menyimpan alat musik asal jawa itu, bahkan dijadikan sebagai mata pelajaran muatan local.

Bagi saya, ini menjadikan sebuah kekhawatiran bagi bangsa ini yang terus dilecehkan oleh orang asing yang telah jauh melangkah kedepan. Sudah terlalu banyak kasus yang melanda negeri kita akibat kecerobohan dan sikap cuek terhadap prilaku negara tetangga yang terus menggerogoti dan melecehkan martabat bangsa ini. Dan ini seharusnya dijadikan sebuah i’tibar dan menggugah kesadaran kita yang terlalu lama tertidur lelap, sehingga mereka yang sudah lama bangun dengan tenangnya menghipnotis dan membius bangsa ini yang akhirnya mereka mengambil alih posisi kita sebagai bangsa yang mempunyai kekayaan yang melimpah, kebudayaan yang beragam, dan potensi-potensi lainnya yang masih dijadikan sebagai alat untuk menghancurkan kedaulatan bangsa.

Disaat para elit politik sedang sibuk dengan pekerjaannya terkait pilpres delapan Juli nanti, kini seluruh rakyat Indonesia diuji untuk memilih pemimpin yang akan menentukan nasib bangsa kedepannya. Sudah saatnya kita menjadi negara yang bangga dengan bangsanya, memanfaatkan kekayaan yang dimiliki, menjadikan keberagama dan kebersamaan sebagai modal untuk mempererat tali persaudaraan. Atas dasar itulah kita mampu menjadi bangsa yang mandiri tanpa adanya ketergantungan kepada pihak asing yang akhirnya akan menyengsarakan.

5/22/2009

Hakikat Do'a


Tidak semata-mata Allah menciptakan jin dan manusia hanya untuk beribadah. Itulah sebagian ayat yang terlintas dalam al Quran. Rotasi kehidupan di jagat ini tidak akan luput dari kekurangan baik yang dirasa maupun tidak dirasa, sehingga semua saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Manusia diciptakan untuk memimpin seluruh makhluk, sehingga mau tidak mau apapun yang terjadi pada alam akan menimpanya. Jika dikelola dengan baik, maka alam akan memberikan yang baik pula. Tetapi jika yang dilakukannya berupa tindakan kasar terhadap alam dengan adanya eksploitasi besar-besaran didarat dan di laut bahkan sampai pada alam luar angkasa, maka manusia akan merasakan akibat dari tindakan yang buruk itu.

Dengan kekurangan yang dimilikinya, mustahil manusia tidak membutuhkan bantuan baik dari sesama makhluk yang berupa hal-hal material, maupun memintak kepada sang khalik yang dijadikan sebagai sandaran utama dalam menjalankan proses kehidupannya. Allah memberikan tawaran kepada manusia dengan wahyu yang diturunkannya melalui Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:

اُدعُونىِ اَسْتَجِبْ لَكُمْ
“Berdoalah engkau kepadaku, niscaya aku akan mengabulkannya”
Dengan sifat rahman dan rahim yang dimilikinya, Allah memberikan peluang kepada manusia supaya terus meminta kepadanya atas kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya. Sikap ketawadluan seorang hamba bisa dilihat dari seberapa banyak dia meminta dan bermunajat kepada tuhannya, sehingga dia mengakui adanya kekurangan yang tertanam dalam dirinya. Begitu juga seorang hamba bisa dikatakan sombong apabila tidak lagi meminta kepada Allah yang merupakan pencipta segala-galanya.
Dalam Surah Yasin (82) dikatakan:

انماامره اذااراد شيئ ان يقول له كن فيكون
“Sesungguhnya urursannya apabila dia mengkhendaki sesuatu, dia hanya berkata “Jadilah, maka terjadilah sesuatu itu”.

Sempurna, itulah yang bisa saya ungkapkan dalam memahami ayat ini. Namun masalahnya kebanyakan orang tidak memahami hakikat doa yang terkandung dalam kedua ayat tersebut. Berdoa terus-terusan tapi tidak dikabulkan juga.

Dalam kedua ayat tersebut ada beberapa kata yang saya garis bawahi. Kata astajib dalam kaidah tata bahasa arab adalah Fi’il Mudhari yang maknanya menunjukkan waktu sekarang atau yang akan datang, sedangkan pada ayat yang kedua adalah fayakunu terdapat kata sambung yaitu “fa” yang mempunyai makna tartib infishol atau merupakan sebuah perbuatan yang membutuhkan waktu atau proses untuk mencapai tujuan, dan kata yakunu terbuat dari Fi’il Mudhari. Sudah sangat jelas benang merah yang bisa kita dapatkan dari ayat ini, dengan struktur kalimat yang indah tersebut bisa menghasilkan makna yang indah pula dan dapat dimengerti dengan baik.

Berdoa bagaikan anak panah yang dilepaskan oleh seorang pemburu dalam hutan yang akan menembak buruannya, ada yang langsung mencapai sasaran tanpa halangan ada pula yang tidak, sehingga ruang antara pemburu dan buruannya terdapat sesutu yang dikena oleh anak panah itu baik berupa ranting pohon, daun, dan sebagainya. Begitu juga dengan doa ada yang langsung adapula yang tidak. Sebelum mencapai tujuan, pasti akan menyambar sesuatu yang menghalanginya baik berupa dosa, hal hal yang akan membahayakan kita atau sebagainya sehingga doa itu tidak langsung mencapai sasaran yang merupakan tujuan akhir.

Selain itu, berkaitan dengan ayat di atas. Ada beberapa kesimpulan yang muncul diantaranya: a) doa seorang hamba pasti akan dikabulkan tergantung seberapa banyak halangan yang dimilikinya b) terkabulnya doa pasti melalui proses yang harus dilalui sehingga tidak langsung dikabulkan c) terkabulnya doa bisa saja secara cepat atau langsung, bisa juga membutuhkan waktu dan jarak yang cukup sampai doa itu terasa terkabulnya.

Satu hal yang ingin saya sampaikan PERBANYAKLAH BERDOA DAN YAKINILAH BAHWA DOA ITU AKAN DIKABULKAN.

4/10/2009

AGAMA DAN INDIVIDU

PENDAHULUAN

Al Hamdulillah kami ucapkan sebagai tanda rasa syukur kehadirat Allah yang telah mengkaruniakan nikmat kepada hambanya dengan tidak memilah-milah, mengkaruniakan agama sebagai alat menyatukan ummat dalam satu kesatuan yang berbeda.

Salawat dan salam kami panjatkan kepada Rosulullah Saw. Yang telah membawa risalah kepada ummatnya, sebagai conto tauladan dan panutan ummat. Kegigihan beliau dalam menyebarkan cahaya ilahi guna mempersatukan ummat dengan akhlak mulia sebagai sebuah pembentukkan nilai dan moral dan mengajak manusia ke jalan tauhid yang diridloi oleh tuhannya.

Agama merupakan sebagai alat pemersatu manusia, hal ini ditunjukkan dengan munculnya berbagai organisasi organisasi atas dasar agama, dan itu semua mempunyai visi dan misi yang sesuai dengan agamanya tersebut. Selain sebagai bentuk pemersatu juga bisa dijadikan sebagai bentuk kehancuran suatu agama tertentu yang didasarkan pada perbedaan-perbedaan yang muncul akibat adanya pemikiran berbeda baik internal maupun eksternal.

Manusia menjadikan agama sebagai harapan terakhir atau jalan akhir dari semua harapan yang mampu menjawab seluruh persoalan yang muncul dan tidak dapat dijawab oleh siapapun. Harapan-harapan itu mereka tumpahkan kepada agama yang dipercaya bisa memecahkan masalah yang menimbulkan kegelisahan dan ketakutan sehingga mereka merasa yakin terhadap jawaban yang dikeluarkan.

PEMBAHASAN
AGAMA DAN INDIVIDU


Agama sebagai Harapan

Karl Mark adalah seorang filosofis yang tidak begitu banyak menyinggung agama. Tetapi Mark pernah mengatakan dalam sebuah buku yang merupakan kumpulan tulisannya Mark Tentang Agama, mengatakan bahwa "agama adalah candu dari masyarakat" (It [Religion] is the opium of the people), ia melihat dari perspektif sosio-historiografis masyarakat yang menjadikan agama sebagai praktik pembenaran sepihak tanpa implementasi lebih lanjut dalam praktik kehidupan.

Mark berpendapat bahwa agama adalah hasil dari produksi manusia, Tuhan tidak lain dari refleksi kekuatan misterius di dalam alam yang mengontrol kehidupan. Kekafiran materialsme versi Mark lebih menitik beraktkan refleksi kekuatan misterius itu pada kekuatan ragam produksi kelas borjuis. Sistem ekonomi kelas borjuis tidak mampu mengatasi krisis pada umumnya, seperti tidak dapat melindungi kelas atas yaitu individu-individu pemodal dari kerugian dan kebangkrutan, juga tidak dapat menghilangkan pengangguran dari kelas bawah.

Umumnya sangatlah jarang perencanaan sesuai dengan hasil yang diharapkan. Ada kekuatan misterius yang menghalangi manusia, sehingga manusia tidak dapat mencapai hasil yang diinginkannya. Lalu timbullah kepercayaan bahwa manusia berencana Tuhan yang menentukan. Maka demikianlah, Tuhan menurut pandangan marxisme tidak lain dari refleksi kekuatan misterius di belakang sistem sosial-ekonomi kelas borjuis, yaitu kekuatan ragam produksi.

Pandangan marxisme terhadap agama berdasar atas data historis Eropa menjelang akhir Abad Pertengahan. Ia melihat di Eropa bagaimana kaum bangsawan dan pendeta sebagai kelas atas bekerja sama membius kelas bawah supaya sabar menderita menerima nasibnya dengan iming-iming kebahagiaan di akhirat. Demikianlah agama diperalat, yaitu dijadikan obat bius oleh kelas atas untuk mengisap kelas bawah. Itulah sebabnya Marx memberikan karakteristik agama sebagai candu bagi rakyat.

Selain Mark yang memberikan penafsiran terhadap agama dengan pendapatnya yang ektrim, Durkheim juga mengeluarkan afoismenya yang sama tentang agama dengan nada yang tidak terlalu ekstrim. Dalam pandangannya, kepercayaan terhadap agama yang mendukung masyarakat berkelas pada dasarnya merupakan bukti penyerahan ketika menghadapi penindasan. Pada saat peyerahan mulai berubah menjadi kesadaran dan perjuangan menentang para penindas hal ini bisa mengambil bentuk bukan merupakan penolakan terhadap semua agama, melainkan pembentukkan agama baru dimana nilai-nilai agama yang lama diputarbalikkan.

Gambaran yang diberikan Durkheim terhadap fungsi agama dalam masyarakat, bahwa sarana-sarana keagamaan adalah lambang masyarakat, kesakralan bersumber pada kekuatan yang dinyatakan berlaku oleh masyarakat secara keseluruhan bagi setiap anggotanya, dan fungisnya adalah mempertahankan dan memperkuat rasa solidaritas dan kewajiban social.

Pendapat Durkheim diperkuat oleh Engels dengan menunjuk kelompok proletarian di perkotaan krajaan romawi mengikuti agama Kristen yang baru sebagai agama yang bercorak protes terhadap para pemilik budak dan kelompok politik mereka yaitu kaisar dan para pemerintahnya .

Data historis yang diambil oleh kaum Markxisme hanya Eropa pada abad-abad menjelang akhir periode Abad Pertengahan. Data historis ini sangatlah tidak lengkap untuk membuat generalisasi. Inilah kecerobohan emosional dari Karl Marx. Bahwa karena di Eropa pada penghujung Abad Pertengahan penguasa yang terdiri atas kaum bangsawan yang berkerja sama dengan pendeta memperalat agama untuk menghisap rakyat jelata, lalu semua pada bagian dunia yang lain dari dahulu hingga yang akan datang berlaku karakteristik agama itu candu bagi rakyat. Karl Marx tidak melihat pada revolusi para petani dalam abad ke-14 (di Perancis tahun 1351 M, di Inggris pada tahun 1381 M.), dengan semangat keagamaan menyerang tirani pemerintahan raja dan kaum bangsawan, serta gerakan keagamaan puritan di Inggris dalam abad ke-17, menunjukkan bahwa agama itu bukanlah candu bagi rakyat.

Sikap sentimen keagamaan mereka yang menyebabkan ia tidak mengkaji bagaimana para Nabi pembawa agama-agama wahyu menentang tirani, yaitu Nabi Musa AS, Nabi 'Isa AS dan Nabi Muhammad SAW. Bagaimana Nabi Muhammad SAW bersama ummatnya menumbangkan sistem sosial-ekonomi Arab jahiliyah yang diskriminatif, kemudian mendirikan Negara Islam Madinah di atas landasan kesamaan sosial dan keadilan ekonomi.

Perlunya agama bagi manusia tampaknya agama-agama itu harusi dianggap sebagai perkumpulan berbagai kesetiaan kelompok yang diekspresikan sebagai simbolik dan sebagai jawaban terhadap masalah-masalah etnik metafisik yang dikemukakan oleh tiap-tiap individu dan merupakan jawaban yang meyakinkan. Tentu saja bahwa keyakinan keagamaan bisa meredam berbagai sikap permusuhan yang muncul dalam kelompok orang seagama meskipun hal ini juga bisa terjadi disetiap jenis kesetiaan kelompok pada segala jenis kelompok.

Dalam kehidupan masyarakat masa sekarang ini atau sering kita sebut juga sebagai masyarakat modern, yang didukung oleh dinamika teknologi yang semakin berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan, sebagian besar penyesuaian-penyesuaian terhadap alam fisik, tapi yang penting ialah penyesuaian dalam hubungan kemanusiaan mereka sendiri. Pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap masyarakat juga mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting bagi agama. Pengaruh inilah yang merupakan salah satu sebab mengapa aggota masyarakat tersebut semakin lama semakin terbiasa menggunakan metode empirik berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam menanggapi berbagai masalah kemanusiaan.

Akibatnya kehidupan yang dianggap sakral sering dikesampingkan akibat semakin meluasnya kehidupan sekuler, dan masayarakat pada umumnya sudah mulai menghilangkan atau melupakan kehidupan sakral tersebut. Oleh karena itu para pemimpin agama mencoba memasukkan kehidupan agama ke dalam urursan duniawi meskipun harus bersaing dengan beberapa organisasi-organisasi yang bersifat sekuler. Kehidupan ini yang membedakan dengan masyarakat tradisional, dimana aktifitas sakral lebih banyak dan lebih diutamakan.

Selain itu, agama juga berfungsi sebagai pemersatu dan pembentuk nilai-nilai moral yang dianggap bersumber dari zat ilahiyah dan diharapkan dapat menyelamatkan pemeluknya keluar dari berbagai permasalahan yang membelenggunya yang tidak bisa di jawab oleh alam pikiran manusia.

Untuk menilai tinggi rendahnya fungsi-fungsi agama sebagai pemersatu dan pembentuk nilai, serta mencari keseimbangan di antara fungsi ini dengan kemampuannya untuk menghancurkan merupakan suatu hal yang rumit. Berbeda dengan pengaruh organisasi-organisasi keagamaan yang semakin melemah, bisa dikemukakan bahwa nilai-nilai keagamaan dari masa-masa terdahulu ternyata sedikit banyaknya tetap bertahan dalam masyarakat sebagai bagian dari tradisinya yang mendasar. Dalam bentuk ini nlai-nilai tersebut tetap memberikan sumbangan, sampai batas yang sangat sukar diukur terhadap keterpaduan masyarakat. Buktinya adalah, khususnya pada masa-masa penuh ketegangan, sering muncul himbauan masyarakat untuk menerapkan warisan tradisi keagamaan dengan memohon pertolongan tuhan dan dilakukan secara khidmat dan bersama-sama.

Tingkah laku sejumlah orang dalam masyarakat modern dibentuk semata-mata atau bahkan terutama, sesuai dengan nilai-nilai keagamaan. Kelemahan nilai-nilai keagamaan sebagai suatu fokus pengintegrasian, tentu saja antara lain disebabkan oleh keanekaragaman system niali dari berbagai organisasi keagamaan yang seringkali berusaha mendapatkan kesetiaan setiap individu anggotanya. Tetapi saingan utama bagi semua system nilai keagamaan adalah system nilai sekuler tersebut yang berkembang semakin dominan. Nilai-nilai sekuler tersebut berkembang di sekitar nasionalisme, ilmu pengetahuan, masalah-masalah ekonomi dan pekerjaan, serta perebutan jabatan.

Tapi, walau bagaimanapun juga manusia menurut fitrahnya mesti beragama. Dalam tafsir Al Maraaghi diterangkan bahwa andaikata seorang bayi dilahirkan di suatu pulau yang terpencil, tidak ada orang yang mendidik dan yang menuntunnya. Namun, menurut fitrahnya ia akan mencari tuhan dan meyakini akan adanya tuhan .

Oleh karena itu Lathief Rusyidy memberikan pendapat tentang fungsi agama dan peranannya, yaitu:

a. Mendidik manusia supaya memiliki akidah yang tepat, benar dan pasif baik secara uluhiyyah maupun rububiyyah.

b. Membedakan manusia dari belenggu perbudakan, membina dan mendidik manusia supaya hanya tunduk dan mengabdi kepada Allah.

c. Mendidik manusia berani menegakkan kebenaran, keadilan dan kebaikan demi kebahagiaan dan keselamatan manusia di dunia dan akhirat.

d. Dapat memperbaiki akhlak manusia, dapat mendidik manusia supaya berakhlak yang mulia dan menjauhkan diri dari sifat-sifat tercela.

e. Menyuruh manusia mengabdi kepada Allah.

f. Dapat mengangkat derajat manusian yang lebih tinggi .

Agama sebagai Cara Penyesuaian Diri

Kasus Kematian

Kematian selain tidak dapat diramalkan juga berada di luar kekuasaan manusia. Meskipun kita semua mengetahui pasti mati, namun tak seorang pun mengetahui kapan kematian menjemputnya. Atas dasar ketidak pastian inilah kita menemukan interpretasi-interpretasi keagamaan tentang kematian dalam setiap masyarakat. Meskipun oreintasi-orientasi keagamaan tentang kemtian ini mengandung beberapa perbedaan kecil mengenai kepercayaan tentang adanya kehidupan sesudah mati, namun unsur pokok dari kepercayaan-kepercayaan ini bagi ilmu sosial, sebagaimana ditafsirkan oleh sementara orang, bukanlah bukti-bukti yang menunjukkan bahwa kepercayaan-kepercayaan ini merupakan apa yang mereka sebut sebagai isapan jempol belaka. Adapun yang mungkin dianggap kebenaran tertinggi mengenai persoalan-persoalan semacam itu, jika dilihat dari kacamata sosiologi, kepercayaan-kepercayaan keagamaan menampilkan seperangkat mekanisme yang dengannya orang-orang yang hampir meninggal dan orang yang akan ditinggal mati dapat menyesuaikan diri dengan realitas yang menimbulkan ketegangan .

Berbagai peristiwa yang menimbulkan tekanan batin dan perasaan takut, yang secara teratur menimbulkan kemunduran pada alam pikiran, dan karena itu akan muncul raktivitas kesadara-kesadaran kompleks. Menurut Freud kesadaran ini mencakup dua hal: pertama ada perasaan takut kepada kekuatan-kekuatan alam, yang menjadi gantungan bagi kehidupan manusia tetapi manusia tidak dapat mengendalikannya, dan kedua adalah adanya kebencian atau kemarahan terhadap berbagai frustasi instinktif secara terus menerus yang ditimbulkan oleh kehidupan sosial terhadap setiap individu.

Peristiwa-peristiwa yang menimbulkan persasaan takut dan frustasi semacam itu bukan sekedar insiden-insiden yang terjadi dalam sejarah individual, melainkan suatu saat mempengaruhi banyak orang. Karena itulah timbullah tanggapan-tanggapan kolektif terhadap peristiwa-peristiwa itu, dan berbagai fantasi individual serta prilaku seperti orang yang mengidap penyakit jiwa menyatu dalam fantasi dan peribadatan keagamaan kolektif. Meskipun berbagai peristiwa pada prilaku anak-anak yang timbul karena berbagai hubungan manusia dengan alam bisa benar-benar dikurangi dengan kemajuan-kemajuan dalam kekayaan dan teknologi, namun pristiwa yang timbul akibat frustasi individual dalam masyarakat hampir tidak dapat dikurangi. Sikap kemanusiaan seperti itulah muncul pikiran Freud bahwa tatanan-tatanan yang lebih rendah memiliki kepentingan paling besar terhadap agama, karena mereka lebih banyak mengalami penderitaan lebih besar dari frustasi naluriah dibandingkan dengan kelas yang berkuasa .

Kemungkinan-kemungkinan terhadap kematian terus muncul dan ini tidak bisa kita tebak. Bisa saja bayi yang baru lahir tidak lama kemudian ajal menjemputnya, atau mungkin saja nenek-nenek berusia 100 tahun masih kelihatan segar dan belum kelihatan tanda-tanda kematiannya.

Orang yang ditinggal kematian pastinya meninggalkan kekecewaan atau kenangan indah, yang kemudian akan ada anggapan antara bahagia dan celaka. Karena kekecewaan akibat kematian tidak dapat dihindarkan, maka manusia selalu berusaha menyesuaikan diri dengan kematian itu baik dengan menggunakan kepercayaan dengan memperhatikan kehidupan sehari-harinya atau sikap saat-saat nyawa berpisah dengan jasadnya, atau upacara keagamaan yang dipercaya bisa mengantarkan arwah yang mati ke tempat yang lebih baik. Kepercayaan terhadap kematian dan kehidupan akhirat tentu saja tidak dapat menghapuskan kematian itu, namun ia dapat membantu orang menghadapinya, dan melayani masyarakat mereka dengan baik ketika mereka sedang menghadapi kematian tersebut. Maka tidak menutup kemungkinan orang yang ikut dalam peperangan itu beragama, sekalipun ia tidak percaya pada tuhan. Dan agama pada umumnya dijadikan sebagai tempat berlindung.

Fenomena-fenomena kematian terus bermunculan, hal ini menimbulkan sejumlah pertanyaan tentang kematian dan orang yang mati. Karena adanya kepercayaan-kepercayaan inilah menjelaskan kepada orang yang mati dalam skema makhluk-makhluk sosial dan suprasosial. Penegasan-penegasan ini tidak hanya berfungsi menentramkan hati orang yang masih hidup, yang mungkin akan merasa takut akan hubungan mereka dengan orang yang sudah meninggal, karena kepercayaan-kepercayaan orang yang beragama terhadap orang yang sudah meninggal justru menakutkan dan bukannya menentramkan hati. Tapi seandainya hal itu betul, paling tidak ada ketentraman hati dalam menghadapi ketakutan tersebut.

Oleh Karena itu dari satu sisi, agama dapat dianggap meskipun sama sekali tidak berarti bahwa ini adalah gambara yang tuntas sebagai salah satu cara yang paling penting bagi manusia untuk menyesuaikan diri dengan situasi-situasi yang penuh ketegangan itu. Situasi-situasi ketegangan bisa dibagi dalam dua katagori utama. Kedua tipe tersebut mengandung keterlibatan-keterlibatan di mana umat manusia mempunyai invesatasi emosional yang besar dalam hasil yang diperolehnya. Dalam dua hal tersebut hasilnya sama sekali berada di luar kekuasaan manusia. Kategori pertama mencakup situasi-situasi di mana individu atau kelompok-kelompok dihadapkan dengan hilangnya orang lain yang penting bagi mereka, kehilangan tersebut mungkin untuk selama-lamanya seperti kematian atau kehilangan yang bersifat sementara. Di dalam semua situasi inilah frustasi-frustasi yang bersifat emosional atau pun yang bersifat praktis ikut terlibat.

Sama pentingnya bagi masyarakat adalah ritualisasi kematian. Makna apapun yang diberikan kepada kematian oleh orang yang terlibat secara langsung, namun bagi orang-orang yang ditinggalkan mati, ia jelas memutuskan seluruh jaringan hubungan sosial dan kewajiban-kewajiban bersama. Dengan demikian ritus keagamaan dalam hubungannya dengan kematian membantu memperkuat kembali solidaritas sosial dari kelompok masyarakat yang lebih besar dan mengarakan dukungan kelompok masyarakat tersebut kepada penyelesaian persoalan yang dianggap oleh orang yang ditinggal mati itu. Fungsi ritus keagamaan ini telah dilaksanakan dalam masyarakat purba dan modern, masyarakat primitive dan juga masyarakat beradab.

Magi sebagai Cara Lain dalam Penyesuaian diri

Walaupun perbandingannya sangat jauh antara agama dan magi, akan tetapi fenomena yang beredar di masyarakat baik masyarakat primitif atau modern magi selalu disejajarkan dengan agama. Di samping itu, kandungan magi berbeda dengan kandungan yang ada dalam agama. System-sistem keagamaan, khususnya dalam perkembangannya yang lebih tinggi bisa menjangkau seluruh kehidupan, system tersebut bisa memberikan teori yang lengkap mengenai yang gaib maupun masyarakat nyata. Sebaliknya isi magi tidak merupakan teori inklusif yang terpadu tetapi cenderung bersifat mistik.

Salah satu cara untuk melihat perbedaan antara agama dan magi adalah dengan menempatkan masing-masing pada kutub yang berlawanan dari suatu garis lurus. Berdasarkan sudut pandang ini, manifestasi-manifestasi yang paling murni dan gaib dari agama-agama yang lebih tinggi menempati kutub yang paling tinggi dan pada kutub yang lain adalah magi hitam.

Dalam prakteknya, kita sering keliru dan hampir tidak bisa membedakan tingkah laku keagamaan, tapi setelah di teliti lebih jauh ternyata kegiatan tersebut merupakan tindakan magi. Seperti orang yang bisa menghadirkan arwah-arwah leluhurnya dengan tujuan meminta pertologan agar terhindar dari bahaya musuh, dengan menggunakan mantra-mantra yang berisi dari ayat-ayat al Quran dan doa-doa lain yang sama dengan doa mereka ketika solat.

Praktek magi sebagai cara penyesuaian diri ini, bukan tidak mungkin akan menghasilkan sikap negatif dan berpengaruh pada tingkah laku sosial masyarakat. Diantaranya apabila praktek-praktek magi tersebut telah diterima sebagai adat kebiasaan, maka praktek tersebut akan menghalangi penerapan cara-cara yang secara teknik lebih unggul dalam mengatasi situasi ketegangan.

Agama dan Sains sebagai Cara Penyesuaian Diri

Sains atau ilmu pengetahuan memberi manusia cara empirik dan praktis untuk menyesuaikan diri dengan situasi-situasi empirik dan praktis pula. Sedangkan dalam agama baik tujuan yang hendak dicapai maupun cara-cara yang dipergunakan kedua-duanya bersifat nonempirik. Di samping itu sains, yang jelas berbeda dengan magi, meskipun sains dan magi sama-sama menghendaki tercapainya tujuan-tujuan yang empiric dan praktis.

Dalam sains, cara-cara yang sangat sederhana pun pada prinsipnya dapat bersifat ilmiah. Sebenarnya sains itu sama tuanya dengan masyarakat dan sebenarnya kebudayaan manusia tidak dapat berkembang tanpa cara-cara ilmiah sampai batas minimal sekalipun. Di zaman modern ini sains perupakan metode pokok yang dipakai orang untuk mencapai banyak tujuannya dan untuk menyesuaikan diri dengan berbagai macam ketegangan.

Perkembagan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat, sains dapat menimbulkan dua sisi dimensi yang selalu berlawanan, yaitu sisi positif dan sisi negatif. Ketika berada pada sisi negatif, peran agama menjadi sangat penting. Hal ini ditunjukkan dengan lahirnya hukum-hukum atau undang-undang yang memberikan batasan terhadap ruang gerak manusia supaya tidak terjerumus pada hal-hal yang dapat merugikan.

Lagi pula dengan meningkatnya penggunaan sains dan hasil-hasilnya mendorong terciptanya situasi-situasi ketegangan baru sehingga kadang-kadang magi diminta untuk menghilangkannya. Disinilah tampak adanya kesamaan fungsi dari agama dan magi, yaitu sebagai harapan dapat mengeluarkan manusia dari kemalut masalah yang sedang menimpa dirinya.

KESIMPULAN

Ada berbagai cara yang digunakan manusia untuk keluar dari masalah yang sedang melandanya. Mulai dari berpegang kepada agama, selanjutnya ditelaah melalui ilmu pengetahuan atau sains, dan kalaupun tidak menemukan hasil yang memuaskan, bagi sebagian orang akan lari pada magi yang dipercaya mampu menjawab setiap permasalah tersebut.

Perlunya agama bagi manusia tampaknya agama-agama itu harusi dianggap sebagai perkumpulan berbagai kesetiaan kelompok yang diekspresikan sebagai simbolik dan sebagai jawaban terhadap masalah-masalah etnik metafisik yang dikemukakan oleh tiap-tiap individu dan merupakan jawaban yang meyakinkan. Tentu saja bahwa keyakinan keagamaan bisa meredam berbagai sikap permusuhan yang muncul dalam kelompok orang seagama meskipun hal ini juga bisa terjadi disetiap jenis kesetiaan kelompok pada segala jenis kelompok.

Selain itu, agama juga berfungsi sebagai pemersatu dan pembentuk nilai-nilai moral yang dianggap bersumber dari zat ilahiyah dan diharapkan dapat menyelamatkan pemeluknya keluar dari berbagai permasalahan yang membelenggunya yang tidak bisa di jawab oleh alam pikiran manusia.

Dalam kehidupan sehari-hari, antara agama, sains dan magi terus hidup berdampingan dan tidak bisa dihilangkan salah satunya sekalipun pada masyarakat industri yang lebih cenderung pada hal-hal yang bersifat ilmiah yang membutuhkan sebuah observasi.

DAFTAR PUSTAKA

K. Notingham, Eilzabeth. Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama. (Rajawali: Jakarta, 1985)

Betty R. Scharf. Kajian Sosiologi Agama (Tiara Wacana Yogya: Yogyakarta, 1995) Cetakan pertama.

Rousyidy, T.A. Latief. Agama dalam Kehidupan Manusia. (Rimbow Medan: Jakarta, 1986)

Mustafa, Ahmad Al Maraaghy. Tafsir Al Maraaghi Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Mustafa Al Baaby al Halaby. Mesir: 1946.

Malinowski, Bronislau. Magic, Science and Religion. Glencoe, Illinois, The Free Press 1948.

Trevor Repor Tr. Religious Reformation and Social Change. London. 1967.



makalah ini disampaikan pada mata kuliah Sosiologi Agama

4/04/2009

ISLAM DAN DEMOKRASI MENURUT PEMIKIRAN MOH. NATSIR

PENDAHULUAN
Mohammad Natsir adalah sosok seorang negarawan dan agamawan teladan ummat. Selain sebagai teladan ummat Natsir juga sebagai teladan bangsa. Keteladanan Natsir dapat dirumuskan dalam sebutan tiga K, yaitu Keikhlasan, Kejujuran, dan Kesederhanaan. Disaat jadi perdana mentri, beliau tidak pernah melakukan penyalahgunaan kekuasaan, keikhlasannya dalam mengemban amanat selalu tertanam dalam jiwanya, ketekunan dalam mengurusi ummat tiada henti.
Selain itu juga Natsir dikenal sebagai pemimpin ummat yang sederhana dalam arti materi. Namun, warisan yang diberikan kepada bangsa dan Negara tidak bisa bisa kita kumpulkan dalam sebuah catatan kecil. Masih banyak hal yang perlu kita pelajari dari sosok seorang Natsir.
Kecemerlangan Ulama kelahiran Sumatra Barat tersebut, banyak menghasilkan pemikiran-pemikiran yang mendorong ditegakkannya Negara yang beradab dan menjadi teladan bagi Negara-negara lainnya. Sebagai seorang ulama, Muhammad Natsir merupakan sosok yang teguh pendirian dan berani menyampaikan kritik bila penguasa menyampaikan ktitikan bila penguasa melakukan penyelewengan jabatan, komitmen inilah yang dipegang erat olehnya hingga ajal menjemputnya.

PEMBAHASAN
ISLAM DAN DEMOKRASI
MENURUT PEMIKIRAN MOHAMMAD NATSIR


Sekilas Tentang Mohammad Natsir
Nama lengkapnya adalah Mohammad Natsir, lahir di Alahan Panjang, Solok, Sumatra Barat, 17 Juli 1908. Ia mempunyai daya intlektual yang lebih dari teman teman sebayanya, diusia 8 tahun ia masuk HIS (Holland Inlandse School) di Kota Padang. Dengan kecerdasannya yang lebih, kemudian dipindahkan oleh ayahnya ke Sekolah HIS Pemerintah yang mempunyai system pendidikan murni barat.
Pada tahun 1923, Natsir Lulus dari HIS. Ia lalu pergi ke kota Padang dan melanjutkan ke MULO. Adalah sebuah lembanga pendidikan yang didirikan oleh pemerintah belanda pada waktu itu. Ketika di MULO, Natsir Jong Islamieten Bond adalah sebuah organisasi perkumpulan pelajar islam cabang Padang diketuai oleh Sanusi Pane yang selanjutnya dikenal sebagai seorang sastrawan.
Usai di MULO, pada tahun 1927 Natsir pergi ke Bandung dan melanjutkan pendidikan formalnya di AMS. Disini mulailah berkenalan dengan pergaulan yang lebih meluas, baik pergaulan fisik dengan multi etnis maupun secara intelektual dengan beragam pemikiran yang berkembang pada waktu itu. Ketika di AMS, Natsir mengenal Ahmad Hassan, seorang tokoh Islam yang giat di PERSIS, dan juga tokoh lain seperti Haji Agus Salim, dan Ahmad Soorkati.
Di PERSIS Natsir menjadi staff redaksi majalah tengah bulanan Pembela Islam. Majalah tersebut terbit sejak 1929 itu akhirnya di larang oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1935 karena dianggap menyerang misi Kristen di Indonesia.
Natsir belajar politik pada Haji Agus Salim sedangkan pada Ahmad Hassan belajar menulis dan berargumentasi. Tapi, Natsir sebenarnya adalah seorang pendidik. Dalam pandangannya untuk mendidik bangsa ini, tidak ada jalan lain kecuali dengan cara mendidik dan memberi keteladanan. Karena itu, tulisan-tulisannya tentang pendidikan tak sedikit jumlahnya.
Pada Juni 1945 surat dilayangkan oleh Mohammad Hatta kepadanya yang beralamat di Bandung. Ia langsung menanggapi isi surat tersebut dan pada hari itu juga langsung pergi ke Jakarta untuk memenuhi panggilan pak Hatta. Pada Agustus 1945, Jepang menyerah dan pada 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Disitulah Natsir terlibat aktif dalam perjuangan mencapai dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Ketika Sutan Syahrir menduduki sebagai Perdana Mentri, ia memerlukan figur Islam yang bisa menyosialisasikan program-program kabinetnya. Maka dipilihlah Mohammad Natsir sebagai mentri penerangan dan merupakan mentri penerangan pertama di republik ini. Natsir menjabat sebagai mentri penerangan lama tiga kali: dua kali dalam kabinet Syahrir, dan satu kali dalam kabinet Hatta.

Agama dan Negara dalam Pandangan Natsir
Terdapat sebuah pedebatan heboh antara Mohammad Natsir dan Bung Karno tentang agama dan negara . Menurut Soekarno, agama mesti dipisahkan dari negara. Ia berpendapat dengan mengutip diantaranya adalah Syekh Ali Abdur Raziq, seorang ulama dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Mengatakan bahwa al Quran dan Sunnah maupaun ijma ulama, tidak ada keharusan bersatunya agama dan negara. Soekarno lalu menengok ke Turki, dimana Mustafa Kamal Attaturk memisahkan agama dari negara. Dan menurut Soekarno karena itulah Turki bisa maju.
Tapi bagi Natsir, pemikiran soekarno itu keliru. Baginya agama dalam hal ini Islam, tidak dapat dipisahkan dari negara. Karena menjalankan kenegaraan merupakan perintah dari Allah dan merupakan amanat yang harus dilaksanakan. Kemudian Natsir mengutip surah Ad Dzariyat ayat 56 “Tidakkah aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepadaKu.” Bagi Natsir, negara bukanlah segala-galanya. Ia hanya merupakan alat untuk mencapai mencapai kesejahteraan masyarakatnya.
Kemudian Natsir mengatakan dalam sebuah tulisannya, “Bagi kita kaum muslimin, negara bukanlah suatu badan yang tersendiri yang menjadi tujuan. Dengan persatuan agama dengan negara yang kita maksudkan, bukanlah bahwa agama itu cukup sekedar dimasukkan saja disana sini kepada negara itu. Bukan begitu! Negara bagi kita, bukan tujuan, tetapi alat. Urusan kenegaraan pada pokoknya dan pada dasarnya adalah satu bagian yang tak dapat dipisahkan dari Islam. Yang menjadi tujuan ialah; Kesempurnaan berlakunya undang-undang ilahi, baik yang berkenaan dengan prikehidupan manusia sendiri sebagai individu ataupun sebagai anggota dari masyarakat.”
Mohammad Natsir bisa dikatakan sebagai seorang ulama sekaligus politikus. Dalam pandangannya ia selalu berfikiran Islamis, sementara Soekarno lebih berpegang dengan sekulernya. Natsir berpendapat tentang sekuler bahwa sekulerisme adalah suatu cara hidup yang mengandung faham, tujuan, dan sikap, hanya di dalam batas-batas keduniaan. Sesuati dalam penghidupan sekuler tidak ditunjukkan kepada apa yang melebihi batas keduniaan dan tidak mengenal akhirat, tuhan dan sebagainya.
Bersatunya agama dan negara menurut Natsir, adalah buah dari sejarah. Ia memberi contoh, sejak pertama kali Islam datang ke nusantara, islam adalah sebuah kekuatan politik di bumi pertiwi ini, dan ini dibuktikan dengan kenyataan sejarah bahwa islam dipakai sebagai dasar dan sumber kekuatan dari kerajaan-kerajaan islam di nusantara ini. Adapun Islam dipilih sebagai dasar negara, karena agama islam adalah agama mayoritas masyarakat Indonesia. Jika islam tidak mayoritas, maka tidak ada alasan untuk dijadikan sebagai dasar negara.

Sikap Demokrasi Natsir
Banyak yang harus kita pelajari demokrasi dari angkatan Natsir. Tidaklah lengkap jika dimensi demokrasi hanya ditinjau dari hubungan antara masyarakat dan pemerintah, antara infrastruktur dan suprastruktur. Dimensi itu ada dan sangatlah strategis peranannya. Selain itu, demokrasi juga berdimensi pada kemasyarakatan. Artinya, perkembangan dan makna demokrasi ditentukan oleh hubungan-hubungan demokratis secara horizontal, di antara sesama kelompok masyarakat. Dimensi masyarakat itu berlakunya bagi masyarakat bangsa yang majemuk seperti bangsa Indonesia.
Nilai dan sikap serta perlakuan demokrasi tidak hanya berlaku dalam hubungannya dengan suprastruktur. Nilai itu berlakupula dalam hubungannya dengan kelompok-kelompok masyarakat, dengan sesama organisasi sosial politik dan kekuatan sosial politik. Demokrasi dibangun dan dikembangkan di atas basis fundamental yakni martabat manusia.
Refleksi dan penghayatan yang kuat dari dimensi kemasyarakatan itu, seperti yang ditunjukkan oleh angatan Natsir adalah saling menghormati pendapat, menghormati perbedaan, baik perbedaan pendapat maupun perbedaan pandangan dan kepentingan tidak merangsang serta tidak pula menghasilkan konflik fisik, tidak pula menimbulkan permusuhan dan hubungan pribadi.
Ada sebuah ungkapa Natsir yang kemudia dijadikan sebagai barometer demokrasi dimasa sekarang. Salah satu nilai demokrasi yang digunakan dan kemudian menjadi ciri khas prinsip demokrasi M. Nastsir adalah “sepakat untuk tidak sepakat”, dan cara berargumentasi dengan cara lembut tapi penuh argumen dan cara menyampaikan sanggahan atau kritikan kepada lawan politiknya dengan menggunakan kata-kata yang tidak menyakiti hati. Lawan bicaranya didorong untuk berfikir secara rasional dan dihantarkan untuk mempertimbangkan putusan yang objektif dan arif.
Dalam kehidupan bermasyarakat dimana Indonesia yang heterogen terdiri dari berbagai suku, dan etnis atau masyarakat bhineka, namun mayoritas beragama Islam, dan untuk memperjuangkan rakyat menuju kehidupan yang adil dan sejahtera, maka M. Natsir mengeluarkan konsep “politik dengan jalur dakwah atau dakwah melalui jalur politik”. Hal ini dibuktikan dengan masa gemilangnya prestasi parlemen dalam sejarah penegakkan demokrasi pada awal kemerdekaan, tepatnya tanggal 3 April 1950 dengan Mosi Integralnya, M. Natsir berhasil mempersatukan indonesia dari pemerintahan negara-negara bagian atau federal pada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sering disebut dengan NKRI.
Dalam suasana seperti itu, keterbukaan lantas bisa lebih terselenggara oleh rasa tanggung jawab masyarakat sendiri dan dalam keterbukaan itulah, segala sesuatau yang peka tidak bertambah kental dan sensitif, melainkan secara relatif lenggar dan besar toleransinya. Amatlah terkemuka kegigihan Mohammad Natsir dalam memeperjuangkan kepentingan partainya. Namun tetap juga terbuka untuk perbedaan dan tetap dihormati pandangan dan pendapat yang berbeda dari kelompok-kelompok lain, dari organisasi-organisasi politik lain .
Pada hakekatnya demokrasi itu bersandar pada kesadaran rakyat yang dilandasi dengan cinta kebenaran dan rasa keadilan yang kuat. Cinta kebenaran dan rasa keadilan tersebut muncul dalam wujudnya yang nyata dan dalam bentuk moral yang kuat serta kita dapat melawan apa yang dianggap tidak benar dan tidak adil. Bagi Natsir demokrasi adalah way of lifeI , jadi merupakan suatu dasar hidup .
Peran M. Natsir dalam memperjuangkan konstitusional Indonesia yang dimulai dengan bersatunya bangsa Indonesia dan membuahkan hasil yang menakjubkan yaitu berawal dari sistem Republik Indonesia Serikat (RIS) yang merupakan hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) di Denhaag-Belanda, dileburkan dan beralih menjadi sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini merupakan berkat kegigihan dan keberanian Natsir, dan dibekali dengan kemahiran berdiplomasi yang dimilikinya.
Indonesia dan Kolonialisme
Lama kita mengenal bahwa indonesia dijajah oleh koloni belanda selama tiga setengah abad, dan dijajah oleh jepang selama tiga tahun setengah, dan masih banyak penjajah-penjajah lain yang menyerang bangsa Indonesia. Banyak hal yang harus kita pelajari dari adanya penjajah di Indischen-Archiple sebelum disebut Indonesia.
Sampai saat sekarang ini, Indonesia masih belum lepas dari jajahan negara-negara maju dengan pesatnya persaingan pemikiran dan keilmuan yang bersumber dari barat, yang berorientasi pada pemikiran yang liberal. Sehingga tidak ada bedanya dengan penjajahan di masa belanda. Atau mungkin ada sebagian teori kolonial liberal yang bisa ditemukan di abad ke 21 ini. Yakni, ada harapan untuk membawa sesuatu yang lebih baik bagi kaum pribumi. Inilah perbedaannya dengan Amerika. Dalam posisi masa kini, Amerika sedang mendakwahkan tanggung jawabnya terhadap negara-negara yang terbelakang sehingga perlu disebarkan budaya melek huruf, pemilihan umum, dan bantuan keuangan dalam bentuk hubah atau hadiah. Sementara itu, mereka orang-orang Belanda ini, dilain pihak berorientasi ke masa lalu dengan tidak mungkin lagi mengemban misi kemanusiaan untuk mendakwahkan misi pemberadaban.
Dengan adanya teori kolonial inilah semuanya kaum pribumi diperlakukan seperti boneka yang selalu patuh pada pengasuhnya sehingga semuanya terasa serba romantis, serba manusiawi, padahal mereka semua sedikit demi sedikit terus membodohi kaum pribumi, dan pada akhirnya muncul pujian terhadap terhadap sistem tanam paksa, dan anggapan kemerdekaan Indonesia adalah berkat kolonialisme Belanda.
Ada tiga kekuatan pokok yang menyebabkan suksesnya kolonialisme diterima masyarakat pribumi Indonesia: yang pertama adalah hukum. Hukum menjamin hak-hak semua orang terpenuhi; Kemudian kedua adalah politik liberal, ini ditunjukkan dengan adanya jaminan kebebasan penduduk; dan yang ketiga yaitu pengetahuan yang menjamin kemajuan peradaban penduduk pribumi.
Namun dalam hal ini Mohammad Natsir berpendapat bahwa Islam adalah sumber penentangan setiap penjajah, penentangan eksploitasi manusia atas manusia, sumber pemberantasan kebodohan, kejahilan; sumber pemberantasan pendewaan, juga sumber pemberantasan kemelaratan dan kemiskinan. Islam tidak memisahkan antara kegamaan dan kenegaraan. Islam itu adalah primair. Maka Islam itu adalah : االد ين و الدولة ( al-din wa al-daulah) agama dan negara.
Walaupun demikian, Mohammad Natsir beranggapan bahwa sistem kenegaraan dan politik Islam tidak harus sama dan sebangun dengan apa yang terjadi di masa Rasulullah dan Khulafa al-Rasyidin. Juga tidak harus sama dengan kekhalifahan sesudahnya seperti masa Bani Umayah dan Bani Abbasiah, bahkan tidak pula sama dengan apa yang terjadi di masa Safawi, Mughal atau Turki Usmani. Bagi Natsir, Islam menjadi sumber kehidupan negara modern sesuai dengan keadaan zaman, waktu dan tantangan yang dihadapi.

HAM dan Cita-cita Politik Moh. Natsir
Isyu HAM mulai muncul setelah majlis mumu PBB pada tahun 1948 yang kemudian dikenal dengan Universal Deklaration of Human Rights (UDHR) atau lebih dikenal dengan sebutan pernyataan sementara tentang hak asasi manusia. Hal ini kemudia dijadikan sebagai pedoman standar ditegakkannya HAM di Negara-negara anggota PBB termasuk Indonesia.
Ketika kita berbicara mengenai HAM yang sebenarnya kita maksudkan adalah bahwa hak-hak itu diberikan oleh Tuhan. Ia bukanlah pemberian siapa-siapa atau bahkan seorang raja sekalipun. Karena itu menurut Maududi, hak-hak yang diberikan raja atau perlemen akan ditarik kembali dengan cara yang sama seperti hak itu diberikan. Hak-hak asasi dalam pandangan Islam adalah diberikan oleh tuhan, tak satupun majelis ataupun parlemen di dunia atau pemerintah punya hak atau kewajiban untuk membuat suatu amandemen ataupun merubahnya dan tak seorangpun berhak mencabutnya kembali buat membatalkannya .
Perbedaan pandangan tentang HAM antara dunia barat dan dunia timur memang sangat mendasar. Di barat, perhatian pandangan terhadap individu-individu timbul dari pandangan yang bersifat anthroposentris, dimana manusia merupakan ukuran terhadap segala sesuatu. Sedangkan di timur, dalam hal ini Islam, menganut pandangan yang bersifat theosentris. Yaitu Tuhan Yang Maha Tinggi dan manusia hanya untuk mengabdi kepada-Nya. Berdasarkan pandangan yang bersifat antheosentris tersebut maka, nilai-nilai utama dari kebudayaan barat seperti demokrasi, institusi social dan kesejahteraan ekonomi sebagai perangkat yang mendukung tegaknya HAM itu berorientasi kepada penghargaan terhadap manusia. Dengan kala lain, manusia menjadi sasaran akhir dari pelaksanaan HAM tersebut.
Dengan kata lain, HAM adalah sebagai anugrah tuhan kepada manusia sebagai khalifahnya di bumi. Hal itu menunjukkan kelebihan manusia di atas makhluk-makhluk lain. Kemerdekaan hak asasi ini diberikan agar manusia dapat menjalankan fungsi kekhalifahannya tanpa memahami hak-hak tersebut mustahil manusia daapat menjalankan tugas kewajibannya sebagai khalifah. Karena itulah dalam menjalankan dan menegakkan hak-haknya, manusia harus bersandar pada ajaran tuhan disamping itu HAM dalam Islam mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Kembali kepada pandangan Mohammad Natsir, beliau seorang yang islamis tentu sangat menghargai adanya Hak Asasi Manusia tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan adanya cita-cita politik beliau yang meliputi:
Pertama, membebaska manusia dari segala bentuk supertisi (takhayul dan khaurafat), memerdekakannya dari segala rasa takut kecuali kepada Allah Sang Maha Pencipta serta memegang perintah-perintah-Nya agar kebebasan ruhani manusia dapat dimenangkan.
Kedua, segala macam tirani harus dilenyapkan, eksploitasi manusia diakhiri, dan kemiskinan diberantas untuk mencapai maksud-maksud tersebut. Tirani dan eksploitasi manusia dilenyapkan bilamana penderitaan dan penyakit masyarakat dapat dihilangkan, yang kesemuanya bersumber pada kemusyrikan dan kekufuran.
Ketiga, chauvinisme yang merupakan akar intoleransi dan permusuhan di antara manusia wajib diperangi. Secara demikian, kita semua wajib membangun masyarakat di mana martabat manusia diakui secara penuh, seluruh anggota masyarakat satu sama lain tolong-menolong dan menolak anggapan yang kuatlah yang menang (the survival of the fittest).
Keempat, Natsir yakin bahwa Islam mengajarkan cita-cita politik yang sangat luhur, dan dalam kenyataan umat Islam Indonesia telah memperjuangkan cita-cita untuk membangun masyarakat yang bebas dari chauvinisme, tirani, dan eksploitasi. Tauhid adalah modal perjuangan kaum Muslimin. Oleh karena dengan Tauhid, perjuangan tersebut tidak akan pernah menyimpang. Seluruh perjuangan para pemimpin Islam pada hakikatnya bergerak untuk mencapai cita-cita itu, sebagaimana telah dilakukan oleh Imam Bonjol, Tengku Cik Di Tiro, Diponegaro, Hasanuddin dan lain-lain.
Kelima, untuk mencapai tujuan politik tersebut di atas, konteks situasional dan kondisional yang dihadapi harus diperhatikan, berhubung cara-cara perjuangan harus selalu disesuaikan dengan tantangan dan masalah yang dihadapi.
Berdasarkan cita-cita politik yang demikian, maka M. Natsir dengan jelas menolak paham sekularisme dalam bernegara. Ia mengatakan bahwa sekularisme adalah way of life yang berpikirnya, tujuannya, dan karakteristiknya dibatasi oleh tujuan-tujuan keduniaan semata-mata. Tidak ada tujuan kaum sekularis yang lebih jauh dari perkara-perkara keduniaan.
Sekalipun kaum sekularis kadangkala mengakui eksistensi Tuhan, dalam kehidupan sehari-harinya mereka tidak mengakui pentingnya hubungan antara jiwa manusia dengan Tuhan. Apakah hubungan itu dinyatakan dalam tingkah laku keseharian yang menyangkut berbagai dimensi kehidupan ataupun hubungan kemasyarakatan dalam arti kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kaum sekularis menurut Natsir, menganggap konsep ketuhanan dan agama hanyalah kreasi manusia yang ditentukan oleh kondisi sosialnya dan bukan oleh kebenaran wahyu. Bagi mereka, agama dan doktrin-doktrin mengenai eksistensi Tuhan adalah relatif, selalu berubah sesuai dengan pertumbuhan masyarkat manusia.
Dalam konteks kenegaraan di Indonesia, penting dicatat bahwa pandangan Natsir terhadap Pancasila. Bagi Natsir, Pancasila adalah sejumlah prinsip yang luhur yang dapat mengatasi keabstrakannya bila Pancasila tidak ditafsirkan secara sekularistis, namun dilandasi pada ajaran agama.
Di dalam Pidatonya di hadapan The Institute of International Affairs 2 April 1952 di Pakistan, salah satu isinya adalah bahwa Pancasila merupakan hasil pemikiran terbaik kaum muslimin Indonesia sambil menegaskan bahwa Ilam tidak mungkin bertabrakan dengan Pancasila karean Islam pada hakikatnya adalah serba sila.
Artinya, Pancasila dalam pemikiran Natsir bukanlah sekularistik, tetapi mengandung aspek Tauhidi. Terutama pada silanya yang pertama yang akan memberi semangat dan jiwa ke dalam sila-sila yang lain. Oleh karena itu bagi Natsir harus ditolak pemahaman sebagian kalangan Indonesia yang salah menafsirkan tentang toleransi keagamaan dalam Islam. Bagi Natsir, dalam naungan Islam semua agama akan dapat menikmati kebebasannya secara penuh. Di dalam Capita Selecta II, Natsir mengemukakan amat pentingnya memelihara kemerdekaan beragama dan menerima sepenuhnya pluralisme agama.

KESIMPULAN
Kegigihan Mohammad Natsir terus menggelora sehingga dalam perjalanan hidupnya terutama memperjuangkan bersatunya bersatunya bumi pertiwi yang terpecah belah yang dibentuk oleh pemerintah koloni belanda menjadi Negara-negara bagian, melalui Mosi Intergral dan beliau sebagai tokoh kuncinya, kini berubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, bagi Natsir kehidupan manusia berbangsa dan bernegara itu menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan keagamaan.
Walau demikian beliau tidak menyangkal negaranya menganut pada Pancasila, melainkan muncul penilaian baik terhadap Pancasila itu sendiri. Bagi Natsir, Pancasila adalah sejumlah prinsip yang luhur yang dapat mengatasi keabstrakannya bila Pancasila tidak ditafsirkan secara sekularistis, namun dilandasi pada ajaran agama.
Mohammad Natsir juga merupakan Ulama yang arif dan bijaksana dalam memutuskan segala hal tetapi tepat sasaran. Pemikirannya yang bersifat luas sehingga selalu menjadi tolak ukur generasi penerusnya. Selain itu pemikirannya yang begitu gemilang, banyak menghasilkan ide-ide yang cemerlang bagi kemaslahatan ummat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya. Beliau menyebarkan syiar Islam dengan santun, bijak, damai dan penuh toleransi, dengan demikian syiar agama yang dilakukan akan membawa kehidupan agama berbangsa dan bernegara kearah yang lebih terhormat dan beradab.

DAFTAR PUSTAKA
Natsir, Mohammad. Capita Selecta, (Jakarta:Yayasan Bintang Abadi dan Yayasan Media Dakwah, 2008) Jilid I Cetakan Ke-2
Natsir, Mohammad. Capita Selecta, (Jakarta: PT. Abadi dan Yayasan Bulan Bintang, 2008) Jilid 2 Cetakan Ke-2
Natsir, Mohammad. Capita Selecta, (Jakarta: PT Abadi kerjasama dengan Panitia Peringatan Refleksi Seabad M. Natsir Pemikiran dan Perjuangannya dan Yayasan Capita Selecta, 2008)
Penerbit Republika. 100 Tahun Mohammad Natsir Berdamai dengan Sejarah. (Jakarta: Percetakan Gramedia, 2008)
Hakiem, Lukman (ed) dan Penerbit Republika. M. Natsir di Panggung Sejarah Republik. (Jakarta: Percetakan Tamaprinting, 2008)
Taher, Tarmidzi. Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir. 1996
Kosasih, Ahmad. HAM dalam Refleksi Islam. 2003
Baso, Ahamad DKK. Islam Pasca Kolonial. 2005
Mohammad, Herry. DKK. Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. (Jakarta: Gema Insani, 2006) Cetakan pertama
http://shofwankarim.blog.friendster.com/
Artikel seminar memperingati 100 tahun pahlawan nasional Bapak. Mohammad Natsir. Yang diadakan oleh Wadah Pencerdasan Ummat Malaysia (WADAH) dan Kolej University Islam Antar Bangsa Selangor (KUIS) pada Sabtu, 10 Januari 2009


Makalah Ini disampaikan Pada Presentasi Mata Kuliah Agama dan Modernitas