12/12/2009

Perkembangan Kajian Hadis dan Setelah Mengalami Kemunduran

Oleh: Zakaria Anhorie



Awal Perkembangan Hadis dan Kajiannya

Pada awal perkembangan Islam, Nabi melarang para sahabat untuk menuliskan hadis, hal ini karena dikhawatirkan terjadi percampuran dengan al Qur’an yang pada waktu itu memang para sahabat mencatatnya di berbagai media. Namun setelah peta penyebaran Islam meluas ke berbagai pelosok dan didukung dengan semakin banyaknya orang atau sahabat yang hafal al Qur’an, maka perintah larangan tersebut telah dinasakh oleh perintah yang membolehkannya. Dengan demikian larangan tersebut menjadi boleh[1].

Sistem penyebaran atau penyampaian hadis yang dilakukan para sahabat berbeda-beda. Ada yang menyampaikan sesuai dengan lafadz yang masih asli dari Rasulullah saw., sedangkan ada pula yang dengan maknanya saja dan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkannya, hal ini terjadi karena mereka sudah tidak ingat betul lafadh aslinya di samping mereka hanya mementingkan isinya saja. Hal ini dibolehkan oleh Rasulullah, berbeda dengan al Qur’an yang harus disampaikan secara mutlak kebenarannya dan tidak boleh ditambahkan sedikitpun[2].

Masa khalifah Umar bin Abdul Ajiz (99-110 H) adalah masa awal dilakukannya pentadwinan hadis. Hal ini didasari dengan adanya kekhawatiran akan hilangnya perbendaharaan hadis di hadapan masyarakat. Selain itu juga dikhawatirkan akan bercampur dengan hadis palsu yang semakin marak beredar di masyarakat, karena pada masa ini adalah puncak semangat para sahabat dalam mengumpulkan hadis, oleh karena itu tidak menutup kemungkinan terjadi interpensi dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Kualitas kitab-kitab hadis karya ulama abad kedua ini masih bercampur antara hadis Rasulullah dengan fatwa-fatwa sahabat atau tabiin, hal ini disebabkan oleh kemauan keras dalam mengumpulkan hadis sehingga belum sempat meneliti dan menyeleksi mana yang termasuk hadis dan mana yang bukan hadis. Walhasil bahwa kitab-kitab hadis karya ulama-ulama tersebut belum bisa ditapis antara hadis yang marfu’, mauquf, dan maqhtu’, shahih, hasan dan dhaif.

Setelah itu kemudian beralih ke masa penyaringan hadis yang telah dibukukan tadi, masa penyaringan ini terjadi di abad III. Mulai pertengahan abad III, bermunculan ulama-ulama hadis seperti Muhammad bin Ismail al Bukhari (194-256), Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy (204-261) dan lainnya, yang meneliti tentang keshahihan suatu hadis. Tidak hanya matan dan sanadnya, melainkan perawinya juga ikut diselidiki sehingga kualitas hadis tersebut bisa diketahui secara tepat. Periode berjalan lama sampai banyak menghasilkan kitab-kitab yang mengkaji tentang hadis. Abad IV merupakan periode (Marhalah al Istikmal) Periode ini merupakan tahap lanjutan dan penyempurnaan terhadap karya-karya periode sebelumnya.

Pada abad IV H, para ulama umumnya mengikuti manhaj pendahulunya (generasi III). Dalam penulisan sunnah. Di antara mereka ada yang mengikuti manhaj Ash Shahihain dengan mengeluarkan hadits-hadits shahih saja dalam kitab mereka, adapun yang mengikuti manhaj kitab-kitab sunan dengan mengeluarkan hadist-hadits yang berkaitan dengan hukum-hukum dan adab-adab dan adapula yang mengarahkan karyanya pada masalah ikhtilaf al hadits.

Periode Pasca Abad IX hingga awal abad XIV (Marhalah aljumud) Pada periode ini gerakan ilmiah dalam alam islami mengalami kemunduran, termasuk dan terutama dalam ilmu-ilmu Sunnah nabawiyah.Namun,hal ini bukan berarti sama sekali tidak ada produksi para ulama hadits hanya saja adanya kreasi-kresai baru menjadi sesuatu yang langka dan hanya peran muhadtstsin tidak lagi sebesar sebagaimana sebelumnya. Di antara tokoh besar ulama hadits yang hidup di zaman ini adalah Al Imam Jalaluddin As Suyuthi, Al Hafizh As Sakhawi, Al Hafizh Zakariya Al Anshari, Muhammad Al Baiquni, Imam Waliyyullah Ad Dahlawi, Al ‘Ajluni, As Saffaarini, Az Zabidi, Muhammad bin Ali Asy Syukani dan lain-lain.

Masa Kebangkitan Kembali

Setelah mengalami kejumudan, abad XIV kajian terhadap hadis mulai bangkit lagi (marhalah an nuhdh wal inbi’ats), Pada periode ini, khidmatus sunnah mengalami suasana perkembangan baru, dengan adanya peran percetakan, di awali dengan masuknya ke percetakan Alam Islami mulai dari Mesir, kemudian Syam, Iraq, Palestina. Libanon, India dan seterusnya. Maka perhatian diarahkan kepada percetakan kitab-kitab agama terutama yang berkaitan dengan Al Quran ,Hadis, dan Fiqh ,mulailah diadakan pengumpulan karya-karya agung para ulama dalam ulum As Sunnah dalam berbagai disiplinnya, termasuk tadwinus sunnah di mana kitab-kitab induk mulai dicetak begitu pula kitab-kitab yang berhubungan dengannya.

Pada pertengahan abad 20 M, gerakan ilmiah ini makin luas dan gencar, terutama setelah kaum muslimin memahami tujuan-tujuan busuk yang terselubung dalam kedok imperialisme Barat yang berupaya memadamkan islam dengan jalan memadamkan Sunnah. Di antara ulama muhaditsin yang hidup di zaman ini adalah Syamsulhaq Azhim Abadi, Abul ‘Ala Al Mubarakfuri, Ahmad Syakir, Muhammad Nashiruddin Al Albani dan lain-lain.

Usaha kaum orientalis dalam memadamkan sunnah ini terus dihalangi oleh ulama-ulama hadis yang peduli terhadap keaslian hadis sebagai sumber pengambilan hukum islam. Terdapat banyak metode yang digunakan oleh kaum orientalis dalam mengkaji hadis. Ignaz Goladziher, orientalis terkemuka yang telah melakukan kajian yang intens terhadap hadis. Metode yang digunakan Goladziher adalah historis-fenomenologis yang hanya ditujukan terhadap unsur matan hadits (teks), yang cakupannya adalah aspek politik, sains, maupun sosio kultural, tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan unsur sanad sampai kepada Nabi.

Ignaz Goldziher terlahir dari keluarga Yahudi di kota Hongaria tanggal 22 Juni 1850. Pendidikannya mulai dari Budhaphes, dilanjutkan ke Berlin dan Liepziq pada tahun 1869. Dalam kajiannya terhadap dunia timur, Goldziher mencoba mendalami kajiannya di Syiria pada tahun 1870 kepada syekh Tahir al Jazairi, Kemudian pindah ke Palestina, lalu melanjutkan studinya ke Mesir, dimana dia sempat belajar pada beberapa ulama al-Azhar. Sepulangnya dari Mesir, tahun 1873, dia diangkat menjadi guru besar di Universitas Budhapes. Sebagai seorang orientalis, Goldziher tentu tidak tinggal diam atas kemajuan Islam. Dia berusaha menghancurkan Islam dari arah kajianya terhadap hadis, yang mampu menyebarkan berita kebohongan hadis.

Selain Ignaz Goldziher, juga Joseph Schact seorang tokoh orientalis yang sudah lama meneliti tentang hadis sehingga melahirkan sebuah karnyanya yang berjudul The Origin of Muhammadan Jurisprudence. Buku karya Schat ini kemudian dijadikan rujukan di kalangan orientalis. Meskipun keduanya tokoh sentral orientalis, mereka mempunyai perbedaan pandangan yang mendasar tentang hadis ini. Schat meyakini bahwa tidak ada yang otentik satu pun dari hadis Rasulullah, khususnya yang berkaitang dengan hukum Islam, sedangkan Goldziher hanya sampai pada meragukan keotentikan hadis Rasulullah saw.

Kesamaan motivasi yang dimiliki tokoh orientalis, Goldziher dan Schat tentu tidak sendirian dalam menyebarkan misinya untuk menghacurkan islam dari arah kajian hadis ini atau sering disebut juga penghancuran tradisi (destructio of the tradition)[3]. Banyak pengikut yang sama-sama menyebarkan kebohongan hadis Rasulullah saw. yang oleh umat Islam sebagai kitab rujukan kedua setelah al Qur’an. Kajian yang dilakukan oleh pengikut orientalis ini hanya sebatasa pada pengutipan-pengutipan pada kitab rujukan mereka, namun ada juga yang melakukan penelitian tapi kualitas kajian mereka tidak memiliki bobot ilmiah yang signifikan.

Ada banyak contoh yang dilakukan kaum orientalis dalam meyesatkan pemahaman terhadap hadis, di antaranya:

1. Goldziher menganggap bahwa hadith merupakan produk kreasi kaum muslimin belakangan, karena kodifikasi hadith baru terjadi setelah beberapa abad dari masa hidup Nabi[4]. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa hadith yang membolehkan penulisan (proses pengkodifikasian) lebih banyak dari pada pelarangan hadith yang lebih mengandalkan pada hapalan.

2. Mengubah teks-teks sejarah, di antara tokoh-tokoh ulama hadis yang menjadi incaran pelecehan Goldziher adalah Ibn Syihab al Zuhri. Goldziher mengubah teks-teks sejarah yang berkaitan dengan Ibn Syihab al Zuhri, sehingga timbul kesan bahwa al Zuhri sebagai seorang pemalsu hadis.

3. Membuat teori rekayasa untuk memperkuat tuduhannya bahwa apa yang dikenal sebagai hadis adalah bukan berasal dari Rasulullah, akan tetapi hasil karya ulama abad ke I dan II hijriah. Teori Projecting Back adalah teori hasil Schacht sebagai teori tentang rekonstruksi terjadinya sanad hadis[5].

4. Ignaz Goldziher menyatakan bahwa redaksi/matan hadith yang diriwayatkan oleh perawi-perawi hadith dinilai tidak akurat, karena mereka lebih menitikberatkan pada aspek makna hadis sehingga para ahli bahasa merasa enggan menerima periwayatan hadith disebabkan susunan bahasanya tergantung pada pendapat perawinya.

Analisa Kritis Terhadap Pendapat Orientalis

Sebagai jawaban terhadap kaum orientalis, terdapat para ulama kontemporer yang mencoba mengkaji ulang kesalahan-kesalahan yang dimiliki orientlis dalam memahami dan menyangkal terhadap pendapat yang diungkapkan oleh kaum orientalis ini. Sebut saja Dr. Mustafa al Siba’i (w 1945 M), Dr. Muhammad ’Ajjaj al Khatib (w 1363 M), dan tidak kalah penting adalah Dr. Muhammad Mustafa Azami yang pernah belajar di kandang orientalis.

Sebagai sebuah perbandingan, penting untuk diungkap dalam makalah ini adalah profil Mustafa Azami. Lahir di India Utara tahun 1932. Pengalaman panjang Mustafa Azami dalam mempelajari hadis berawal dari College of Science di Deoband, adalah sebuah perguruan terbesar di India yang juga mengajarkan studi Islam. Lulus dari India beliau melanjutkan pendidikannya di Universitas Al Azhar, kairo dan lulus tahun 1955. di tahun 1966, Azami mendapat gelar doktor di Universitas Cambridge, Inggris. Di Universitas Cambridge-lah Mustafa Azami melakukan pembelaan terhadap hadis Nabawi dengan meng-counter pendapat para orientalis serta membongkar kepalsuan-kepalsuan mereka secara kritis, lebih objektif, dan lebih argumentatif.

Beberapa sangkalan yang diungkapkan para ulama hadis dalam menjawab pendapat orientalis:

1. Di bagian awal telah saya singgung bahwa pada abad ke dua para ulama hanya sampai pada pengumpulan hadis, belum pada tahap penyeleksian atau pemisahan antara hadis dan fatwa sahabat atau tabi’in.

Muhammad ‘Ajjad al-Khatib menunjukan beberapa faktor yang menjamin kemurnian hadis. Pertama, adanya ikatan emosional umat Islam untuk berpegang teguh kepada segala sesuatu yang datang dari Nabi. Kedua, adanya tradisi hapalan dalam proses transmisi hadis. Ketiga, sikap kehati-hatian para muhaddith dari masuknya hadith palsu, ditunjang sikap selektifitas para muhaddis dalam tradisi periwayatan. Keempat, terdapatnya beberapa manuskrip yang berisi tentang hadis-hadis. Kelima, adanya majlis-majlis ulama dalam tradisi transformasi hadith. Keenam, adanya ekspedisi ke berbagai wilayah untuk menyebarkan hadith. Dan ketujuh, sikap komitmen para muhaddis dalam meriwayatkan hadis dengan didukung keimanan dan jiwa religiusitas yang tinggi[6].

2. Muhammad ‘Ajjad al-Khatib menawarkan solusinya dengan metode sebagai berikut: Larangan penulisan hadith ini bersifat umum, akan tetapi ada kekhususan bagi mereka yang mahir dengan tradisi membaca dan menulis, sehingga tidak ada kesalahan dalam menulis, seperti kasusnya Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash. Jadi, penulisan hadith itu sebenarnya sudah ada sejak abad 1 H dan bahkan tidak ada perselisihan (kontradiksi) sampai akhir abad itu.

Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab sudah dalam keadaan maju dan berkebudayaan. Ketika para sahabat lebih mengandalkan hapalan mereka, bukan berarti tradisi tulis-menulis tidak ada sama sekali di lingkungan mereka, karena banyak bukti-bukti sejarah yang mendukung adanya tradisi tulis-menulis di awal Islam ini[7]. Bukti lain adanya tradisi tulis menulis ini adalah bahwa di sekitar Nabi Muhammad Saw terdapat 40 penulis wahyu yang setiap saat siaga dalam melakukan penulisan. Ada juga Sa’ad Ibn ‘Abdullah Ibn ‘Auf yang memiliki kumpulan hadith dari tulisan tangan sendiri.

3. Ignaz Goldziher dalam menuduh perawi hadis sungguh tidak masuk akal, karena pada kenyataannya tradisi periwayatan hadith terbagi menjadi dua, yaitu periwayatan bil lafdzi dan periwayatan bil ma’na. Jenis periwayatan yang kedua yang telah disorot oleh Ignaz Goldziher dengan argumennya bahwa perawi hadis yang menggunakan tradisi periwayatan bil ma’na dicurigai telah meriwayatkan lafadz-lafadz yang dengan sengaja disembunyikan, sehingga redaksinya menjadi tidak akurat. Padahal, adanya tradisi periwayatan bil ma’na ini dikarenakan sahabat Nabi Muhammad Saw tidak ingat betul lafadz aslinya. Dan yang terpenting bagi sahabat Nabi adalah mengetahui isinya atau matan yang terkandung di dalamnya. Hadis berbeda dengan al Qur’an yang tidak boleh dirubah baik makna maupun lafadz[8].

4. Dalam membantah teori projecting back. Mustafa ‘Azami mengatakan bahwa sangat mustahil menurut ukuran situasi dan kondisi pada saat itu mereka pernah berkumpul untuk membuat Hadis palsu sehingga redaksinya sama. Dan sangat mustahil pula bila mereka masing-masing membuat Hadis, kemudian oleh generasi berikutnya diketahui bahwa redaksi hadis yang mereka buat itu sama. Kesimpulan A’zami ini bertolak belakang dengan kesimpulan Schacht, baik tentang rekontruksi terbentuknya sanad hadis, maupun bunyi teks (matan) Hadis tersebut. Sebagai contoh, A’zami mengemukakan sebuah hadis Nabi saw. yang berbunyi: “ Apabila salah seorang di antara kamu bangun dari tidurnya, maka hendaknya ia mencuci tangannya, karena ia tidak tahu semalam tangannya berada di mana “. Hadis ini dalam naskah Suhail bin Abi Shaleh berada pada urutan nomor tujuh, dan pada jenjang pertama (generasi shahabat) diriwayatkan oleh lima orang, yaitu Abu Hurairah, Ibn Umar, Jabir, Aisyah, dan Ali bin Abi Thalib.


Kesimpulan


Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Memang tiada henti orang-orang dalam mengkajinya, meskipun terdapat masa yang kosong dari peroses pengkajian tersebut, hal itu bukan berarti tidak ada kajian sama sekali melainkan sikap para ulama pada masa itu hanya melengkapi apa yang telah dilakukan oleh ulama-ulama abad sebelumnya dan menjadikan kitab-kitab terdahulu sebagai rujukan.

Muncul tantangan baru bagi umat Islam khususnya para muhaddisin untuk mengkaji kembali hadis yang telah disalah gunakan oleh kelompok orientalis yang sengaja mengkaji hadis. Akan tetapi mereka mengkaji bukan untuk memajukan Islam melainkan menghancurkan Islam melalui jalur hadis yang dipercaya oleh kaum muslimin sebagai kitab rujukan kedua setelah al Qur’an.

Perjalanan pentadwinan terhadap hadis cukup lama dan mengalami pasang surut. Dalam prosesnya para ulama sangat hati-hati sekali dalam menyeleksi hadis, sehingga kecil kemungkinan terjadi ketidak shahihan dalam meriwayatkan sebuah hadis. Oleh karena itu sangat tidak masuk akal apabila hadis dikatakan sebagai hasil karya ulama abad I dan II H.

Keseriusan para ulama menghasilkan pemikiran baru dalam membantah teori-teori yang dikeluarkan oleh kaum orientalis, sehingga keoutentikan hadis akan tetap terjaga meskipun terdapat sekelompok atau banyak di kalangan muslim sengaja membelokkan fungsi dan makna hadis hal ini dengan permasalahan sederhana yaitu adanya kepentingan kelompok demi mempertahankan hujjah-hujjah yang mereka lontarkan.



Endnote

[1] DR. Mustafa al Siba’i. Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, Sebuah Pembelaan Kaum Sunni Penerjemah. DR. Nurcholis Madjid, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007)

[2] Drs. Fathurrahman. Ikhtisar Mustalahul hadis. (Bandung: PT. Alma’arif, 1974)

[3] Hendro Prasetyo, “Pembenaran Orientalisme Kemungkinan dan Batas-batasnya,” dalam ISLAMIKA Jurnal Dialog Pemikiran Islam (Bandung: Mizan, 1994), h. 101

[4] M.M. Azami, Hadith Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustofa Yaquf (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 3

[5] Prof. KH. Ali Mustafa Ya’qub. Kritik Hadis. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004)

[6] Muhammad ‘Ajjad al-Khatib, al-Sunnah Qabla al-Tadwin. (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 122.

[7] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahhuh (Beirut: Dar al-Fikr, 1989)

[8] Fatur Rahman, Ikhtisar Mushthalah al-Hadith, h. 50.



Daftar Pustaka


Al Siba’I, Mustafa. Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam. Terj. DR. Nurcholis Madjid, {Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007).

Fathurrahman. Ikhtisar Mustalahul hadis. (Bandung: PT. Alma’arif, 1974).

‘Ajjaj al-Khatib, Muhammad. Ushul al-Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahhuh (Beirut: Dar al-Fikr, 1989)

‘Ajjad al-Khatib, Muhammad. al-Sunnah Qabla al-Tadwin. (Beirut: Dar al-Fikr, 1989)

Prasetyo, Hendro. Pembenaran Orientalisme Kemungkinan dan Batas-batasnya dalam ISLAMIKA Jurnal Dialog Pemikiran Islam (Bandung: Mizan, 1994)

M.M. Azami, Hadith Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustofa Yaquf (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994)

Prof. KH. Ali Mustafa Ya’qub. Kritik Hadis. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004)




makalah ini telah dipresentasikan di Fakultas Ushuluddin smester III, Institut PTIQ Jakarta

Tidak ada komentar: