9/23/2010

Gus Mus: Selesaikanlah Kebencian dengan Pencerahan

Semakin hari arus kebencian dan ancaman terhadap Islam kian deras, terutama yang digembor-gemborkan oleh negara-negara Eropa. Kasus demi kasus terus bergulir, dari pembakaran al- Qur’an hingga pelarangan membangun masjid Ground Zero di New York serta kasus penusukan pendeta di Bekasi. Kasus-kasus tersebut seolah mengundang kegundahan mereka terhadap watak Islam yang sebenarnya.

KH. A. Mustofa Bisri atau sering disapa Gus Mus memandang dunia ini seperti rumput kering yang mudah terbakar karena adanya kebencian, kebencian dari dua pihak yang sama sama phobi yang satu phobi islam dan yang satu phobi Barat. Hal ini disampaikannya dalam konferensi pers di gedung Pengurus Besar NU pada Kamis, 23 September 2010.

pemahaman terhadap Islam rahmatan lil alamin adalah bukan sesuatu yang baru, hal ini sudah jelas dalam al Qur’an bahkan Allah SWT memberikan redaksi yang khusus tentang itu, dan tidaklah kami mengutusmu (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam (surat al Anbiya: 107). Ayat tersebut menegaskan bahwa Islam tidak diutus untuk yang lain, melainkan hanya untuk merahmati alam semesta. Oleh karena itu, kalau Islam diperlakukan secara benar akan mendatangkan rahmat, rahmat tersebut tidak hanya bagi orang muslim melainkan untuk seluruh alam.

Pemahaman terhadap Islam rahmatan lil alamin tersebut akan terasa aneh bila Islam dipandang sebaliknya, bukan rahmatan lil alamin sebagai penyebar kasih sayang terhadap alam semesta tapi justru laknatan lil alamin atau penyebar bencana bagi alam semesta.

Akhir-akhir ini kejadian atas nama Islam yang tidak mencerminkan rahmatan lil alamin terus terjadi, menurut Gus Mus fenomena tersebut menandakan ada letak kesalahan dalam memandang Islam. Ini terlihat bahwa Islam adalah agama kasih sayang bukan agama yang menyebarkan kebencian, sehingga jika Islam dipandang sebagai agama kebencian itu salah.

Kebencian tersebut lahir dari kurangnya pemahaman terhadap Islam. Setiap individu berbeda beda dalam menyikapi kekurangfahaman tersebut, ada yang kurang faham tapi mau terus belajar sampai faham, juga ada yang kurang faham tapi tidak mau belajar karena merasa sudah faham dan ini juga menjadi masalah. Karena orang yang menggebu-gebu membeci Islam dan orang yang membela Islam itu dalilnya sama, tergantung tingkat pemahaman mereka terhadap dalil tersebut.

“Orang yang menggebu-gebu membenci Islam dan orang yang membela Islam itu dalilnya sama, tapi keduanya masih belum sempurna memahami Islam dan berlaga mengerti Islam” kata pengasuh Pondok Pesantren Roudlotul Tholibin, Rembang Jawa Tengah ini.
Oleh karenanya, kebodohan adalah penyebab utama kesalahfahaman tentang Islam dewasa ini. Krisis ini semakin berbahaya karena disertai kebencian dan ekslusivisme yang bersumber dari mentalistik fanatik, kaku, dan supremasis yang membuat pemaham dan praktik keagamaan menjadi tidak konstektual dan supremasis. Untuk mengatasi masalah seperti ini, lebih lanjut Gus Mus mengatakan ketika kebencian sudah merajalela dan terus merebak di alam semesta ini, maka tidak ada jalan lain untuk memeranginya kecuali dengan kasih sayang. Seperti halnya kebobohan hanya bisa kita lawan dengan pengetahuan dan pencerahan.

“Api tidak bisa digunakan untuk memadamkan api, tapi airlah yang bisa memadamkan api, kebodohan tidak mungkin bisa diatasi oleh sikap yang bodoh dan kebencian tidak mungkin bisa diselesaikan dengan kebencian pula, melainkan dengan pencerahan” tutur Gus Mus yang juga sebaga wakil Rais Syuriah PBNU.

Dengan hadirnya kelompok Islam garis keras di Indonesia, telah menyulutkan konflik sosial yang mengancam ketahanan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Sedangkan di Eropa, krisis serupa telah memicu reaksi public yang menjadi kehawatiran yang pada akhirnya membenci Islam. Baik aktivis garis keras maupun Islamophobia sama-sama tidak sepenuhnya mengerti islam. Karena itu, kurangnya pemahaman terhadap Islam merupakan suatu kebodohan dan kebodohan adalah sumber dari segala masalah. Maka, kebodohan harus diselesaikan dengan pencerahan dan kasih sayang.

Selain faktor individu, faktor lain yang memegang kunci dalam menyebarkan kedamaian dan kasih sayang ini adalah pemerintah. Sikap pemerintah yang tegas, adil, arif dan bijaksana akan terbentuk Negara yang aman dan damai. Dalam hal ini, Gus Mus mencontohkan dengan sebuah keluarga yang memiliki banyak anak. Jika salah satu anak tersakiti oleh sikap orang tuanya yang tidak adil kemudian anak tersebut melempari rumahnya, maka bocornya rumah akan dirasakan oleh semua anggota keluarga termasuk anaknya yang melempari rumah itu. Begitu juga sebuah Negara, ketidak adilan akan melahirkan kebencian dan kebencian akan melahirkan terror. Kita bisa mendengar suara yang digembor-gemborkan oleh kelompok garis keras adalah Amerika, karena Amerika tidak adil dalam menyikapi masalah Palestina dengan Israel selalu membela Israel dan sebagainya.

Ketegasan pemerintah dalam menyikapi setiap permasalahan juga akan mempengaruhi tatanan hidup sebuah Negara. Terkait dengan Kekerasan dan penganiayaan terhadap jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Bekasi, Jawa Barat, 12 September silam, Gus Mus berpesan agar seyogianya pemerintah turut diimbau untuk bertindak tegas, jangan rakyatnya terus yang diimbau karena rakyat sudah sering diimbau.
"Sebetulnya baik saja kalau kita imbau kepada rakyat. Tapi lebih efektif kita imbau pemerintahnya. Pemerintah harus lindungi rakyat, apakah itu HKBP, Islam, yang lebih bertanggung jawab adalah pemerintah," jelasnya

Dengan kondisi yang seperti itu, yang bisa kita upayakan adalah mencoba dengan berani menyebarkan cinta kasih kepada sesama manusia, dan mendorong orang untuk meningkatkan pengetahuannya dalam hal ini Islam kalau memang ingin tau Islam dengan belajar Islam dengan sungguh-sungguh, tidak hanya bersemangat membelanya saja atau untuk menghancurkannya saja.


Oleh: Zakaria Anshori
diterbitkan di Majalah Risalah NU edisi 20

9/21/2010

Bahasa Indonesia, Antara Jati Diri dan Gengsi

Kami bangsa Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia…

Itulah penggalan teks sumpah pemuda yang digagas oleh para pemuda Indonesia pada 28 Oktober 1928. Teks yang lahir dari semangat juang para pemuda dalam mempertahankan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu, kini seakan tidak ada artinya lagi. Kita bisa melihat dikehidupan yang serba globish ini, para pemuda yang semestinya sebagai orang terdepan dalam memelihara bahasa Indonesia, keadaan malah terbalik.

Kita akui, bahwa dari segi bahasa sendiri, kita dikepung oleh arus peredaran bahasa asing yang kian deras, terutama bahasa Inggris. Newsweek, Majalah dari Amerika Serikat, menyebut dua per tiga penduduk dunia yang ditaksir mencapai enam miliar lebih, kini sudah terjerat bahasa Inggris melalui berbagai sarana, terutama komunikasi. Tempat-tempat terpencilpun termasuk yang paling terpencil di Indonesia, kini sudah dimasuki bahasa Inggris. Melihat penomena seperti itu, seorang pakar bahasa Indonesia, TD Asmadi, menyebutnya sebagai penomena Globish, Global English.

Sering dikatakan bahwa Indonesia kaya SDA. Tapi bila melihat potensi SDM bangsa ini, kesempatan dalam memelihara bahasa Indonesia ini semakin sempit. Sejarah umat manusia meriwayatkan bahwa perkembangan bahasa berkorelasi dengan perkembangan kecerdasan. Sekarang kita bayangkan, angkatan kerja Indonesia 65% tamatan SD, 20% lulusan SL, dan 10% lulusan PT. sedangkan 5% atau sekitar 11,5 juta jiwa adalah niraksarawan atau buta aksara. Kekayaan SDA tak ada gunanya jika tidak didukung oleh SDM yang memadai. Jangankan memikirkan bahasa, dapat makan untuk sehari saja sudah untung.

Dalam hal kebahasaan ini, pemerintah berusaha mengatur peredaran bahasa melalui Undang Undang kebahasaan. Akan tetapi mengatur penggunaan bahasa adalah hal yang sulit dikarenakan beberapa faktor, disamping pengaruh dialek daerah masing-masing yang sangat melekat tiap individu, juga yang sekarang tengah menghantui bahasa Indonesia adalah penggunaan bahasa gaul.

Lagi-lagi pemuda yang memgang kunci kesuksesan berbahasa Indonesia yang baik dan benar, hal ini bisa diciptakan misalnya memulai penggunaan bahasa Indonesia yang baku ini dalam lingkungan pendidikan formal dimulai dari tingkat pendidikan yang rendah. Saya maksudkan di sini, kita melihat bahwa dalam lingkungan kampus mahasiswa yang menggunakan bahasa Indonesia yang baku sangat jarang bahkan tidak ada.

Pengaruh globish dalam berkomunikasi ini, seringkali bahkan banyak bahasa Inggris secara sekilas memang kelihatan benar, akan tetapi bila mengikuti kebahasaan dalam penerjemahan tersebut banyak yang salah kaprah. Misal dalam bahasa Inggris kata “to the point”, sering diartikan “langsung saja”, atau “langsung pada inti”. Tetapi arti sebenarnya adalah “lugas, relevan dan wajar”. Inilah salah satu contoh kesalahan nalar yang tidak disadari.

Ada beberapa indikator yang menentukan mengapa seseorang dalam hal ini para siswa sangat kuat dan erat dengan bahasa ibu atau pergaulannya. Pertama, sejak dini atau lahir, anak sudah diperbiasakan dengan bahasa pergaulan. Proses pembiasaan ini akan sangat mempengaruhi perkembangan anak terutama dalam berbahasa. Bagi mereka, kesan atau pengalaman awal inilah yang sangat mempengaruhi proses perkembangannya ke depan. Sesuatu yang sudah dibiasakan akan sangat sulit untuk ditinggalkan atau diperbaharui. Kalau pun mungkin, proses itu butuh waktu yang cukup.

Kedua, lingkungan yang ada. Faktor lingkungan pun turut mempengaruhi perkembangan bahasa pada anak. Lingkungan tidak saja menjadi obyek atau tempat namun turut mempengaruhinya. Anak yang sudah dibiasakan dengan bahasa ibu atau pergaulan yang demikian dan berada di lingkungan yang sama dalam bahasa maka akan memunculkan daya ingat dan daya serap yang sangat kuat.

Kedua indikator inilah yang menimbulkan mengapa seorang anak akan sangat sulit melupakan bahasa ibu atau pergaulan. Pengaruh bahasa pergaulan ini akan jelas terlihat dalam pendidikan di sekolah sebagai proses lanjut dari pendidikan di rumah. Masalah kedekatan atau kekentalan bahasa pergaulan siswa di atas akan membawa kesulitan tersendiri pada kemampuan berbahasa siswa terutama dalam kemampuan berbahasa secara baku yakni sesuai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).

Disini, saya tidak mempermasalahkan bahasa ibu. Yang saya hawatirkan adalah bila bahasa Indonesia yang baku dan sudah ditetapkan sebagai bahasa pemersatu bangsa, dirusak oleh bahasa-bahasa yang tidak jelas pangkalnya. Kita tengok bahasa yang dianggap gaul, misal kata “lebai” (menurut orang lain) artinya berlebih-lebihan. Jika dilihat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka 2005, jika berfungsi sebagai kata benda atau nomina, lebai berarti pegawai masjid atau orang yang mengurus suatu pekerjaan yang bertalian dengan agama Islam, diserap ke bahasa sunda menjadi lebe (penghulu). Dalam kesusastraan klasik lebai brarti orang yang selalu bernasib sial.

Adanya era globalisasi bukan menjadi hambatan untuk mencintai bahasanya sendiri sebab bahasa Indonesia sudah menjadi bagian dari hidup kita seperti bahasa Indonesia merupakan alat pemersatu bangsa atau bahasa Nasional, bahasa Indonesia merupakan jati diri kita atau ciri khas sebagai bangsa Indonesia. Itulah sebabnya ada pepatah yang mengatakan Bahasa Menunjukkan Bangsa. Permasalahannya adalah, mental bangsa Indonesia masih dikatakan sebagai mental bangsa yang terjajah, lebih mengutamakan gengsi dari pada jati diri.

Memang mempertahankan penggunaan bahasa Indonesia baku sangat sulit, tetapi jangan psimis dulu. Banyak negara yang sukses mempertahankan bahasanya sebagai bahasa nasional. Sejarah Islam mencatat kerajaan Abbasiyah (750M-1258M) menghasilkan tokoh-tokoh ilmu pengetahuan dibidang filsafat, kedokteran, kimia, aljabar, falaq, dan botani, menjadikan bahasa Arab berdaya ungkap yang sempurna pada masa itu.
Filipina, Jepang, dan Perancis merupakan negara yang mencintai bahasanya sendiri. Sangat berbeda jauh sekali dengan negara Indonesia, walaupun adanya era globalisasi mereka tidak terpengaruh karena mereka mempunyai kredibilitas yang sangat tinggi.
Kini kita lihat Iran, untuk sekarang negara Iran bisa dikatakan sebagai negara Islam yang maju. Sebagai negara yang bertahan dengan bahasa Arab Persia-nya, Iran semakin percaya diri menjadikan negaranya sebagai negara maju, dan menjadi satu-satunya negara yang sukses mengelabui Amerika dan sekutunya.

Akhir kata, bangsa Indonesia adalah bangsa yang unik. Berawal dari satu rumpun melayu tetapi lebih memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional bukan bahasa melayu. Ketahanan bahasa Indonesia yang baku sebagai bahasa pemersatu tidak akan kuat selain kita sendiri yang mempertahankannya.



oleh: Zakaria Anshori