5/22/2009

Hakikat Do'a


Tidak semata-mata Allah menciptakan jin dan manusia hanya untuk beribadah. Itulah sebagian ayat yang terlintas dalam al Quran. Rotasi kehidupan di jagat ini tidak akan luput dari kekurangan baik yang dirasa maupun tidak dirasa, sehingga semua saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Manusia diciptakan untuk memimpin seluruh makhluk, sehingga mau tidak mau apapun yang terjadi pada alam akan menimpanya. Jika dikelola dengan baik, maka alam akan memberikan yang baik pula. Tetapi jika yang dilakukannya berupa tindakan kasar terhadap alam dengan adanya eksploitasi besar-besaran didarat dan di laut bahkan sampai pada alam luar angkasa, maka manusia akan merasakan akibat dari tindakan yang buruk itu.

Dengan kekurangan yang dimilikinya, mustahil manusia tidak membutuhkan bantuan baik dari sesama makhluk yang berupa hal-hal material, maupun memintak kepada sang khalik yang dijadikan sebagai sandaran utama dalam menjalankan proses kehidupannya. Allah memberikan tawaran kepada manusia dengan wahyu yang diturunkannya melalui Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:

اُدعُونىِ اَسْتَجِبْ لَكُمْ
“Berdoalah engkau kepadaku, niscaya aku akan mengabulkannya”
Dengan sifat rahman dan rahim yang dimilikinya, Allah memberikan peluang kepada manusia supaya terus meminta kepadanya atas kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya. Sikap ketawadluan seorang hamba bisa dilihat dari seberapa banyak dia meminta dan bermunajat kepada tuhannya, sehingga dia mengakui adanya kekurangan yang tertanam dalam dirinya. Begitu juga seorang hamba bisa dikatakan sombong apabila tidak lagi meminta kepada Allah yang merupakan pencipta segala-galanya.
Dalam Surah Yasin (82) dikatakan:

انماامره اذااراد شيئ ان يقول له كن فيكون
“Sesungguhnya urursannya apabila dia mengkhendaki sesuatu, dia hanya berkata “Jadilah, maka terjadilah sesuatu itu”.

Sempurna, itulah yang bisa saya ungkapkan dalam memahami ayat ini. Namun masalahnya kebanyakan orang tidak memahami hakikat doa yang terkandung dalam kedua ayat tersebut. Berdoa terus-terusan tapi tidak dikabulkan juga.

Dalam kedua ayat tersebut ada beberapa kata yang saya garis bawahi. Kata astajib dalam kaidah tata bahasa arab adalah Fi’il Mudhari yang maknanya menunjukkan waktu sekarang atau yang akan datang, sedangkan pada ayat yang kedua adalah fayakunu terdapat kata sambung yaitu “fa” yang mempunyai makna tartib infishol atau merupakan sebuah perbuatan yang membutuhkan waktu atau proses untuk mencapai tujuan, dan kata yakunu terbuat dari Fi’il Mudhari. Sudah sangat jelas benang merah yang bisa kita dapatkan dari ayat ini, dengan struktur kalimat yang indah tersebut bisa menghasilkan makna yang indah pula dan dapat dimengerti dengan baik.

Berdoa bagaikan anak panah yang dilepaskan oleh seorang pemburu dalam hutan yang akan menembak buruannya, ada yang langsung mencapai sasaran tanpa halangan ada pula yang tidak, sehingga ruang antara pemburu dan buruannya terdapat sesutu yang dikena oleh anak panah itu baik berupa ranting pohon, daun, dan sebagainya. Begitu juga dengan doa ada yang langsung adapula yang tidak. Sebelum mencapai tujuan, pasti akan menyambar sesuatu yang menghalanginya baik berupa dosa, hal hal yang akan membahayakan kita atau sebagainya sehingga doa itu tidak langsung mencapai sasaran yang merupakan tujuan akhir.

Selain itu, berkaitan dengan ayat di atas. Ada beberapa kesimpulan yang muncul diantaranya: a) doa seorang hamba pasti akan dikabulkan tergantung seberapa banyak halangan yang dimilikinya b) terkabulnya doa pasti melalui proses yang harus dilalui sehingga tidak langsung dikabulkan c) terkabulnya doa bisa saja secara cepat atau langsung, bisa juga membutuhkan waktu dan jarak yang cukup sampai doa itu terasa terkabulnya.

Satu hal yang ingin saya sampaikan PERBANYAKLAH BERDOA DAN YAKINILAH BAHWA DOA ITU AKAN DIKABULKAN.