11/23/2010

Menjadi Haji Mabrur

Tidak terasa pelaksanaan ritual rukun Islam kelima telah usai, satu per satu jemaah haji pulang ke negara asal masing-masing dengan membawa oleh-oleh khas negara dimana Nabi Muhammad saw. dilahirkan. Tidak lupa titel haji pun mereka sandang.
Akan tetapi pekerjaan seorang haji tidak bebas tugas begitu saja, implementasi yang diharapkan dari pelajaran selama di tanah haram dapat diterapkan di lingkungannya paling tidak pada dirinya sendiri. Haji Mabrur, itulah inti pengharapan seorang hamba yang telah melaksanakan panggilan mulia tersebut.
Bagaimana tidak, karena haji diwajibkan bagi orang muslim yang mampu dan membutuhkan persiapan yang sangat matang. Pembiayaan yang cukup baik untuk orang rumah, di perjalanan, maupun saat tiba di tanah suci. Sesuai dengan firman Allah “mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”(QS:3:97).
Kata mabarur merupakan bentuk Isim Maf’ul dari kata dasar barro, yabirru artinya baik. Raghib Al Asfahani menerangkan dalam Al-mufradat fi gharibil qur’an, kata barro jika disandarkan kepada tuhan maka hasilnya adalah pahala artinya pahala tuhan untuk hambanya, sedangkan jika disandarkan kepada hamba maka artinya ketaatan yang mencakup pada dua dimensi yaitu i’tiqadi (niat) dan a’mali (perbuatan).
Isim maf’ul adalah objek, artinya seorang yang telah melaksanakan ibadah haji dituntut untuk menjadi agen penyebar kebaikan, dengan itu maka timbal baliknya adalah pahala dari Allah. Itulah sebabnya haji tidak hanya maqbul (diterima), tetapi juga mabrur yaitu mampu memeberikan implementasi kepada masyarakat sekitar.
Rasulullah saw. bersabda dari Abu Hurairah ra., ia berkata Nabi saw. pernah ditanya, amal perbuatan apakah yang paling utama? Beliau menjawab: “Iman kepada Allah dan Rasulnya.” Ia bertanya: “kemudian apa?” beliau menjawab: “jihad di jalan Allah.”ia bertanya lagi. “kemudian apa?” beliau menjawab: “haji yang mabrur.” (HR. Bukhori Muslim).

Mengukur Haji Mabrur

Dalam menentukan kualitas haji seseorang hingga mencapai tingkatan mabrur, tidak bisa diukur dengan parameter wujud fisik, misalnya sekembali dari tanah suci lantas orang tersebut rajin pergi ke masjid, atau dengan pendekatan keseharian yang tidak biasa dari sebelumnya.
Tidak semua haji akan maqbul, akan tetapi setiap haji mabrur akan maqbul. Karena itu gelar mabrur adalah gelar khsus yang diberikan Allah kepada seorang haji yang telah siap dan mendapatkan mandat untuk menyebarkan kebaikan dan mencegah segala kemungkaran di muka bumi ini.
Para ulama telah banyak berbicara tentang kriteria haji mabrur, hal ini juga berkaitan dengan cara pelaksanaan haji semasa di tanah suci. Pertama, ibadah haji itu dilandasi dengan niat yang ikhlas semata-mata mencari keridhoan Allah. Di dalam al qur’an Allah menyebutkan ada 2 ayat yang merintahkan kepada kita untuk melaksanakan ibadah haji karena Allah.
Ayat pertama “hanya karena Allah kita melaksanakan ibadah haji ke Baitullah“.
Ayat kedua “tunaikan haji dan umroh karena Allah dan hanya mencari keridhoan
Allah“
.
Kedua ayat tersebut merupakan gambaran sekaligus bentuk penegasan kepada kita, bahwa haji merupakan ibadah yang sangat vital dan bisa saja dilakukan tidak hanya karena Allah tetapi mengharapkan sesuatu yang lain dari itu, misalkan mendapat pujian dari masyarakat atau karena mendapat gelar “pak haji” atau “bu haji” belaka. Dari ayat itu pula kita bisa melihat bagaimana Allah menampakkan kasih sayangnya kepada manusia sebagai makhluk pemegang amanah sebagai khalifah, jangan sampai kita bersusah payah mengumpulkan uang bertahun-tahun untuk melaksanakan ibadah haji, kemudian kita sendiri yang merusak tujuan baik itu dengan niat yang tidak baik.
Kedua, ibadah haji itu dilaksanakan dengan Ittiba. Melaksanakan ibadah haji seperti yang dicontohkan oleh nabi. Ada saja ketika ibadah haji kita seperti yang dicontohkan seperti nabi kemudian ada orang yang berkomentar, “kalau begitu kita pakai unta“. Padahal yang diperintahkan ibadahnya bukan fasilitasnya. Nabi mengatakan “ambillah cara ibadah haji ku” di dalam hadits lain “barangsiapa yang melakukan satu amal yang tidak ada contohnya dari aku maka amal itu akan ditolak“.
Ketiga, ibadah haji dilakukan dengan kesabaran. Seperti yang kita saksikan, bagaimana beratnya perjuangan seorang hajj ketika umrah, thawaf, atau prosesi lainnya, ketika harus berdempetan antara haji satu dengan yang lainnya, belum lagi cerita yang keinjak-injak dan masih banyak kisah-kisah lainnya. Ibadah haji adalah ritual yang sungguh luar biasa dan bukan pekerjaan ringan, karena itu sudah pasti cobaan dan godaannya pun yang luar biasa pula.
Keempat, menjaga syarat dan rukun yang telah ditetapkan oleh syariat. Pelaksanaan manasik dengan benar, jangan sampai merusak tatanan yang berlaku. Bila terdapat pelanggaran maka harus membayar tebusan yang telah ditetapkan pula.
Kelima, pelaksanaan sunnah-sunnah dalam ibadah haji adalah bentuk pengembangan dari yang rukun dan yang wajib, sekalipun tidak mengganggu keabsahan haji. Pemanfaatan peluang yang Allah berikan kepada kita untuk melipat gandakan pahala amal kita. Shalat di Masjid Nabawi nilainya sama dengan sepuluh ribu kali shalat di masjid yang lain. Keutamaan-keutamaan seperti itu hanya bisa didapat oleh orang yang berhaji.
Dengan berbagai pertimbangan dan kriteria di atas, implementasi terhadap jiwa dan kepribadian seorang haji akan kuat, dan begitu pula Allah akan senantiasa memberikan gelar kepadanya sebagai haji mabrur dan sesuai dengan janjinya, yaitu mengampuni segala dosa yang telah diperbuat dan memasukkannya ke dalam surga.


oleh Zakaria Anshori

Tidak ada komentar: