9/21/2010

Bahasa Indonesia, Antara Jati Diri dan Gengsi

Kami bangsa Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia…

Itulah penggalan teks sumpah pemuda yang digagas oleh para pemuda Indonesia pada 28 Oktober 1928. Teks yang lahir dari semangat juang para pemuda dalam mempertahankan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu, kini seakan tidak ada artinya lagi. Kita bisa melihat dikehidupan yang serba globish ini, para pemuda yang semestinya sebagai orang terdepan dalam memelihara bahasa Indonesia, keadaan malah terbalik.

Kita akui, bahwa dari segi bahasa sendiri, kita dikepung oleh arus peredaran bahasa asing yang kian deras, terutama bahasa Inggris. Newsweek, Majalah dari Amerika Serikat, menyebut dua per tiga penduduk dunia yang ditaksir mencapai enam miliar lebih, kini sudah terjerat bahasa Inggris melalui berbagai sarana, terutama komunikasi. Tempat-tempat terpencilpun termasuk yang paling terpencil di Indonesia, kini sudah dimasuki bahasa Inggris. Melihat penomena seperti itu, seorang pakar bahasa Indonesia, TD Asmadi, menyebutnya sebagai penomena Globish, Global English.

Sering dikatakan bahwa Indonesia kaya SDA. Tapi bila melihat potensi SDM bangsa ini, kesempatan dalam memelihara bahasa Indonesia ini semakin sempit. Sejarah umat manusia meriwayatkan bahwa perkembangan bahasa berkorelasi dengan perkembangan kecerdasan. Sekarang kita bayangkan, angkatan kerja Indonesia 65% tamatan SD, 20% lulusan SL, dan 10% lulusan PT. sedangkan 5% atau sekitar 11,5 juta jiwa adalah niraksarawan atau buta aksara. Kekayaan SDA tak ada gunanya jika tidak didukung oleh SDM yang memadai. Jangankan memikirkan bahasa, dapat makan untuk sehari saja sudah untung.

Dalam hal kebahasaan ini, pemerintah berusaha mengatur peredaran bahasa melalui Undang Undang kebahasaan. Akan tetapi mengatur penggunaan bahasa adalah hal yang sulit dikarenakan beberapa faktor, disamping pengaruh dialek daerah masing-masing yang sangat melekat tiap individu, juga yang sekarang tengah menghantui bahasa Indonesia adalah penggunaan bahasa gaul.

Lagi-lagi pemuda yang memgang kunci kesuksesan berbahasa Indonesia yang baik dan benar, hal ini bisa diciptakan misalnya memulai penggunaan bahasa Indonesia yang baku ini dalam lingkungan pendidikan formal dimulai dari tingkat pendidikan yang rendah. Saya maksudkan di sini, kita melihat bahwa dalam lingkungan kampus mahasiswa yang menggunakan bahasa Indonesia yang baku sangat jarang bahkan tidak ada.

Pengaruh globish dalam berkomunikasi ini, seringkali bahkan banyak bahasa Inggris secara sekilas memang kelihatan benar, akan tetapi bila mengikuti kebahasaan dalam penerjemahan tersebut banyak yang salah kaprah. Misal dalam bahasa Inggris kata “to the point”, sering diartikan “langsung saja”, atau “langsung pada inti”. Tetapi arti sebenarnya adalah “lugas, relevan dan wajar”. Inilah salah satu contoh kesalahan nalar yang tidak disadari.

Ada beberapa indikator yang menentukan mengapa seseorang dalam hal ini para siswa sangat kuat dan erat dengan bahasa ibu atau pergaulannya. Pertama, sejak dini atau lahir, anak sudah diperbiasakan dengan bahasa pergaulan. Proses pembiasaan ini akan sangat mempengaruhi perkembangan anak terutama dalam berbahasa. Bagi mereka, kesan atau pengalaman awal inilah yang sangat mempengaruhi proses perkembangannya ke depan. Sesuatu yang sudah dibiasakan akan sangat sulit untuk ditinggalkan atau diperbaharui. Kalau pun mungkin, proses itu butuh waktu yang cukup.

Kedua, lingkungan yang ada. Faktor lingkungan pun turut mempengaruhi perkembangan bahasa pada anak. Lingkungan tidak saja menjadi obyek atau tempat namun turut mempengaruhinya. Anak yang sudah dibiasakan dengan bahasa ibu atau pergaulan yang demikian dan berada di lingkungan yang sama dalam bahasa maka akan memunculkan daya ingat dan daya serap yang sangat kuat.

Kedua indikator inilah yang menimbulkan mengapa seorang anak akan sangat sulit melupakan bahasa ibu atau pergaulan. Pengaruh bahasa pergaulan ini akan jelas terlihat dalam pendidikan di sekolah sebagai proses lanjut dari pendidikan di rumah. Masalah kedekatan atau kekentalan bahasa pergaulan siswa di atas akan membawa kesulitan tersendiri pada kemampuan berbahasa siswa terutama dalam kemampuan berbahasa secara baku yakni sesuai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).

Disini, saya tidak mempermasalahkan bahasa ibu. Yang saya hawatirkan adalah bila bahasa Indonesia yang baku dan sudah ditetapkan sebagai bahasa pemersatu bangsa, dirusak oleh bahasa-bahasa yang tidak jelas pangkalnya. Kita tengok bahasa yang dianggap gaul, misal kata “lebai” (menurut orang lain) artinya berlebih-lebihan. Jika dilihat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka 2005, jika berfungsi sebagai kata benda atau nomina, lebai berarti pegawai masjid atau orang yang mengurus suatu pekerjaan yang bertalian dengan agama Islam, diserap ke bahasa sunda menjadi lebe (penghulu). Dalam kesusastraan klasik lebai brarti orang yang selalu bernasib sial.

Adanya era globalisasi bukan menjadi hambatan untuk mencintai bahasanya sendiri sebab bahasa Indonesia sudah menjadi bagian dari hidup kita seperti bahasa Indonesia merupakan alat pemersatu bangsa atau bahasa Nasional, bahasa Indonesia merupakan jati diri kita atau ciri khas sebagai bangsa Indonesia. Itulah sebabnya ada pepatah yang mengatakan Bahasa Menunjukkan Bangsa. Permasalahannya adalah, mental bangsa Indonesia masih dikatakan sebagai mental bangsa yang terjajah, lebih mengutamakan gengsi dari pada jati diri.

Memang mempertahankan penggunaan bahasa Indonesia baku sangat sulit, tetapi jangan psimis dulu. Banyak negara yang sukses mempertahankan bahasanya sebagai bahasa nasional. Sejarah Islam mencatat kerajaan Abbasiyah (750M-1258M) menghasilkan tokoh-tokoh ilmu pengetahuan dibidang filsafat, kedokteran, kimia, aljabar, falaq, dan botani, menjadikan bahasa Arab berdaya ungkap yang sempurna pada masa itu.
Filipina, Jepang, dan Perancis merupakan negara yang mencintai bahasanya sendiri. Sangat berbeda jauh sekali dengan negara Indonesia, walaupun adanya era globalisasi mereka tidak terpengaruh karena mereka mempunyai kredibilitas yang sangat tinggi.
Kini kita lihat Iran, untuk sekarang negara Iran bisa dikatakan sebagai negara Islam yang maju. Sebagai negara yang bertahan dengan bahasa Arab Persia-nya, Iran semakin percaya diri menjadikan negaranya sebagai negara maju, dan menjadi satu-satunya negara yang sukses mengelabui Amerika dan sekutunya.

Akhir kata, bangsa Indonesia adalah bangsa yang unik. Berawal dari satu rumpun melayu tetapi lebih memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional bukan bahasa melayu. Ketahanan bahasa Indonesia yang baku sebagai bahasa pemersatu tidak akan kuat selain kita sendiri yang mempertahankannya.



oleh: Zakaria Anshori

Tidak ada komentar: