4/04/2009

ISLAM DAN DEMOKRASI MENURUT PEMIKIRAN MOH. NATSIR

PENDAHULUAN
Mohammad Natsir adalah sosok seorang negarawan dan agamawan teladan ummat. Selain sebagai teladan ummat Natsir juga sebagai teladan bangsa. Keteladanan Natsir dapat dirumuskan dalam sebutan tiga K, yaitu Keikhlasan, Kejujuran, dan Kesederhanaan. Disaat jadi perdana mentri, beliau tidak pernah melakukan penyalahgunaan kekuasaan, keikhlasannya dalam mengemban amanat selalu tertanam dalam jiwanya, ketekunan dalam mengurusi ummat tiada henti.
Selain itu juga Natsir dikenal sebagai pemimpin ummat yang sederhana dalam arti materi. Namun, warisan yang diberikan kepada bangsa dan Negara tidak bisa bisa kita kumpulkan dalam sebuah catatan kecil. Masih banyak hal yang perlu kita pelajari dari sosok seorang Natsir.
Kecemerlangan Ulama kelahiran Sumatra Barat tersebut, banyak menghasilkan pemikiran-pemikiran yang mendorong ditegakkannya Negara yang beradab dan menjadi teladan bagi Negara-negara lainnya. Sebagai seorang ulama, Muhammad Natsir merupakan sosok yang teguh pendirian dan berani menyampaikan kritik bila penguasa menyampaikan ktitikan bila penguasa melakukan penyelewengan jabatan, komitmen inilah yang dipegang erat olehnya hingga ajal menjemputnya.

PEMBAHASAN
ISLAM DAN DEMOKRASI
MENURUT PEMIKIRAN MOHAMMAD NATSIR


Sekilas Tentang Mohammad Natsir
Nama lengkapnya adalah Mohammad Natsir, lahir di Alahan Panjang, Solok, Sumatra Barat, 17 Juli 1908. Ia mempunyai daya intlektual yang lebih dari teman teman sebayanya, diusia 8 tahun ia masuk HIS (Holland Inlandse School) di Kota Padang. Dengan kecerdasannya yang lebih, kemudian dipindahkan oleh ayahnya ke Sekolah HIS Pemerintah yang mempunyai system pendidikan murni barat.
Pada tahun 1923, Natsir Lulus dari HIS. Ia lalu pergi ke kota Padang dan melanjutkan ke MULO. Adalah sebuah lembanga pendidikan yang didirikan oleh pemerintah belanda pada waktu itu. Ketika di MULO, Natsir Jong Islamieten Bond adalah sebuah organisasi perkumpulan pelajar islam cabang Padang diketuai oleh Sanusi Pane yang selanjutnya dikenal sebagai seorang sastrawan.
Usai di MULO, pada tahun 1927 Natsir pergi ke Bandung dan melanjutkan pendidikan formalnya di AMS. Disini mulailah berkenalan dengan pergaulan yang lebih meluas, baik pergaulan fisik dengan multi etnis maupun secara intelektual dengan beragam pemikiran yang berkembang pada waktu itu. Ketika di AMS, Natsir mengenal Ahmad Hassan, seorang tokoh Islam yang giat di PERSIS, dan juga tokoh lain seperti Haji Agus Salim, dan Ahmad Soorkati.
Di PERSIS Natsir menjadi staff redaksi majalah tengah bulanan Pembela Islam. Majalah tersebut terbit sejak 1929 itu akhirnya di larang oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1935 karena dianggap menyerang misi Kristen di Indonesia.
Natsir belajar politik pada Haji Agus Salim sedangkan pada Ahmad Hassan belajar menulis dan berargumentasi. Tapi, Natsir sebenarnya adalah seorang pendidik. Dalam pandangannya untuk mendidik bangsa ini, tidak ada jalan lain kecuali dengan cara mendidik dan memberi keteladanan. Karena itu, tulisan-tulisannya tentang pendidikan tak sedikit jumlahnya.
Pada Juni 1945 surat dilayangkan oleh Mohammad Hatta kepadanya yang beralamat di Bandung. Ia langsung menanggapi isi surat tersebut dan pada hari itu juga langsung pergi ke Jakarta untuk memenuhi panggilan pak Hatta. Pada Agustus 1945, Jepang menyerah dan pada 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Disitulah Natsir terlibat aktif dalam perjuangan mencapai dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Ketika Sutan Syahrir menduduki sebagai Perdana Mentri, ia memerlukan figur Islam yang bisa menyosialisasikan program-program kabinetnya. Maka dipilihlah Mohammad Natsir sebagai mentri penerangan dan merupakan mentri penerangan pertama di republik ini. Natsir menjabat sebagai mentri penerangan lama tiga kali: dua kali dalam kabinet Syahrir, dan satu kali dalam kabinet Hatta.

Agama dan Negara dalam Pandangan Natsir
Terdapat sebuah pedebatan heboh antara Mohammad Natsir dan Bung Karno tentang agama dan negara . Menurut Soekarno, agama mesti dipisahkan dari negara. Ia berpendapat dengan mengutip diantaranya adalah Syekh Ali Abdur Raziq, seorang ulama dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Mengatakan bahwa al Quran dan Sunnah maupaun ijma ulama, tidak ada keharusan bersatunya agama dan negara. Soekarno lalu menengok ke Turki, dimana Mustafa Kamal Attaturk memisahkan agama dari negara. Dan menurut Soekarno karena itulah Turki bisa maju.
Tapi bagi Natsir, pemikiran soekarno itu keliru. Baginya agama dalam hal ini Islam, tidak dapat dipisahkan dari negara. Karena menjalankan kenegaraan merupakan perintah dari Allah dan merupakan amanat yang harus dilaksanakan. Kemudian Natsir mengutip surah Ad Dzariyat ayat 56 “Tidakkah aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepadaKu.” Bagi Natsir, negara bukanlah segala-galanya. Ia hanya merupakan alat untuk mencapai mencapai kesejahteraan masyarakatnya.
Kemudian Natsir mengatakan dalam sebuah tulisannya, “Bagi kita kaum muslimin, negara bukanlah suatu badan yang tersendiri yang menjadi tujuan. Dengan persatuan agama dengan negara yang kita maksudkan, bukanlah bahwa agama itu cukup sekedar dimasukkan saja disana sini kepada negara itu. Bukan begitu! Negara bagi kita, bukan tujuan, tetapi alat. Urusan kenegaraan pada pokoknya dan pada dasarnya adalah satu bagian yang tak dapat dipisahkan dari Islam. Yang menjadi tujuan ialah; Kesempurnaan berlakunya undang-undang ilahi, baik yang berkenaan dengan prikehidupan manusia sendiri sebagai individu ataupun sebagai anggota dari masyarakat.”
Mohammad Natsir bisa dikatakan sebagai seorang ulama sekaligus politikus. Dalam pandangannya ia selalu berfikiran Islamis, sementara Soekarno lebih berpegang dengan sekulernya. Natsir berpendapat tentang sekuler bahwa sekulerisme adalah suatu cara hidup yang mengandung faham, tujuan, dan sikap, hanya di dalam batas-batas keduniaan. Sesuati dalam penghidupan sekuler tidak ditunjukkan kepada apa yang melebihi batas keduniaan dan tidak mengenal akhirat, tuhan dan sebagainya.
Bersatunya agama dan negara menurut Natsir, adalah buah dari sejarah. Ia memberi contoh, sejak pertama kali Islam datang ke nusantara, islam adalah sebuah kekuatan politik di bumi pertiwi ini, dan ini dibuktikan dengan kenyataan sejarah bahwa islam dipakai sebagai dasar dan sumber kekuatan dari kerajaan-kerajaan islam di nusantara ini. Adapun Islam dipilih sebagai dasar negara, karena agama islam adalah agama mayoritas masyarakat Indonesia. Jika islam tidak mayoritas, maka tidak ada alasan untuk dijadikan sebagai dasar negara.

Sikap Demokrasi Natsir
Banyak yang harus kita pelajari demokrasi dari angkatan Natsir. Tidaklah lengkap jika dimensi demokrasi hanya ditinjau dari hubungan antara masyarakat dan pemerintah, antara infrastruktur dan suprastruktur. Dimensi itu ada dan sangatlah strategis peranannya. Selain itu, demokrasi juga berdimensi pada kemasyarakatan. Artinya, perkembangan dan makna demokrasi ditentukan oleh hubungan-hubungan demokratis secara horizontal, di antara sesama kelompok masyarakat. Dimensi masyarakat itu berlakunya bagi masyarakat bangsa yang majemuk seperti bangsa Indonesia.
Nilai dan sikap serta perlakuan demokrasi tidak hanya berlaku dalam hubungannya dengan suprastruktur. Nilai itu berlakupula dalam hubungannya dengan kelompok-kelompok masyarakat, dengan sesama organisasi sosial politik dan kekuatan sosial politik. Demokrasi dibangun dan dikembangkan di atas basis fundamental yakni martabat manusia.
Refleksi dan penghayatan yang kuat dari dimensi kemasyarakatan itu, seperti yang ditunjukkan oleh angatan Natsir adalah saling menghormati pendapat, menghormati perbedaan, baik perbedaan pendapat maupun perbedaan pandangan dan kepentingan tidak merangsang serta tidak pula menghasilkan konflik fisik, tidak pula menimbulkan permusuhan dan hubungan pribadi.
Ada sebuah ungkapa Natsir yang kemudia dijadikan sebagai barometer demokrasi dimasa sekarang. Salah satu nilai demokrasi yang digunakan dan kemudian menjadi ciri khas prinsip demokrasi M. Nastsir adalah “sepakat untuk tidak sepakat”, dan cara berargumentasi dengan cara lembut tapi penuh argumen dan cara menyampaikan sanggahan atau kritikan kepada lawan politiknya dengan menggunakan kata-kata yang tidak menyakiti hati. Lawan bicaranya didorong untuk berfikir secara rasional dan dihantarkan untuk mempertimbangkan putusan yang objektif dan arif.
Dalam kehidupan bermasyarakat dimana Indonesia yang heterogen terdiri dari berbagai suku, dan etnis atau masyarakat bhineka, namun mayoritas beragama Islam, dan untuk memperjuangkan rakyat menuju kehidupan yang adil dan sejahtera, maka M. Natsir mengeluarkan konsep “politik dengan jalur dakwah atau dakwah melalui jalur politik”. Hal ini dibuktikan dengan masa gemilangnya prestasi parlemen dalam sejarah penegakkan demokrasi pada awal kemerdekaan, tepatnya tanggal 3 April 1950 dengan Mosi Integralnya, M. Natsir berhasil mempersatukan indonesia dari pemerintahan negara-negara bagian atau federal pada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sering disebut dengan NKRI.
Dalam suasana seperti itu, keterbukaan lantas bisa lebih terselenggara oleh rasa tanggung jawab masyarakat sendiri dan dalam keterbukaan itulah, segala sesuatau yang peka tidak bertambah kental dan sensitif, melainkan secara relatif lenggar dan besar toleransinya. Amatlah terkemuka kegigihan Mohammad Natsir dalam memeperjuangkan kepentingan partainya. Namun tetap juga terbuka untuk perbedaan dan tetap dihormati pandangan dan pendapat yang berbeda dari kelompok-kelompok lain, dari organisasi-organisasi politik lain .
Pada hakekatnya demokrasi itu bersandar pada kesadaran rakyat yang dilandasi dengan cinta kebenaran dan rasa keadilan yang kuat. Cinta kebenaran dan rasa keadilan tersebut muncul dalam wujudnya yang nyata dan dalam bentuk moral yang kuat serta kita dapat melawan apa yang dianggap tidak benar dan tidak adil. Bagi Natsir demokrasi adalah way of lifeI , jadi merupakan suatu dasar hidup .
Peran M. Natsir dalam memperjuangkan konstitusional Indonesia yang dimulai dengan bersatunya bangsa Indonesia dan membuahkan hasil yang menakjubkan yaitu berawal dari sistem Republik Indonesia Serikat (RIS) yang merupakan hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) di Denhaag-Belanda, dileburkan dan beralih menjadi sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini merupakan berkat kegigihan dan keberanian Natsir, dan dibekali dengan kemahiran berdiplomasi yang dimilikinya.
Indonesia dan Kolonialisme
Lama kita mengenal bahwa indonesia dijajah oleh koloni belanda selama tiga setengah abad, dan dijajah oleh jepang selama tiga tahun setengah, dan masih banyak penjajah-penjajah lain yang menyerang bangsa Indonesia. Banyak hal yang harus kita pelajari dari adanya penjajah di Indischen-Archiple sebelum disebut Indonesia.
Sampai saat sekarang ini, Indonesia masih belum lepas dari jajahan negara-negara maju dengan pesatnya persaingan pemikiran dan keilmuan yang bersumber dari barat, yang berorientasi pada pemikiran yang liberal. Sehingga tidak ada bedanya dengan penjajahan di masa belanda. Atau mungkin ada sebagian teori kolonial liberal yang bisa ditemukan di abad ke 21 ini. Yakni, ada harapan untuk membawa sesuatu yang lebih baik bagi kaum pribumi. Inilah perbedaannya dengan Amerika. Dalam posisi masa kini, Amerika sedang mendakwahkan tanggung jawabnya terhadap negara-negara yang terbelakang sehingga perlu disebarkan budaya melek huruf, pemilihan umum, dan bantuan keuangan dalam bentuk hubah atau hadiah. Sementara itu, mereka orang-orang Belanda ini, dilain pihak berorientasi ke masa lalu dengan tidak mungkin lagi mengemban misi kemanusiaan untuk mendakwahkan misi pemberadaban.
Dengan adanya teori kolonial inilah semuanya kaum pribumi diperlakukan seperti boneka yang selalu patuh pada pengasuhnya sehingga semuanya terasa serba romantis, serba manusiawi, padahal mereka semua sedikit demi sedikit terus membodohi kaum pribumi, dan pada akhirnya muncul pujian terhadap terhadap sistem tanam paksa, dan anggapan kemerdekaan Indonesia adalah berkat kolonialisme Belanda.
Ada tiga kekuatan pokok yang menyebabkan suksesnya kolonialisme diterima masyarakat pribumi Indonesia: yang pertama adalah hukum. Hukum menjamin hak-hak semua orang terpenuhi; Kemudian kedua adalah politik liberal, ini ditunjukkan dengan adanya jaminan kebebasan penduduk; dan yang ketiga yaitu pengetahuan yang menjamin kemajuan peradaban penduduk pribumi.
Namun dalam hal ini Mohammad Natsir berpendapat bahwa Islam adalah sumber penentangan setiap penjajah, penentangan eksploitasi manusia atas manusia, sumber pemberantasan kebodohan, kejahilan; sumber pemberantasan pendewaan, juga sumber pemberantasan kemelaratan dan kemiskinan. Islam tidak memisahkan antara kegamaan dan kenegaraan. Islam itu adalah primair. Maka Islam itu adalah : االد ين و الدولة ( al-din wa al-daulah) agama dan negara.
Walaupun demikian, Mohammad Natsir beranggapan bahwa sistem kenegaraan dan politik Islam tidak harus sama dan sebangun dengan apa yang terjadi di masa Rasulullah dan Khulafa al-Rasyidin. Juga tidak harus sama dengan kekhalifahan sesudahnya seperti masa Bani Umayah dan Bani Abbasiah, bahkan tidak pula sama dengan apa yang terjadi di masa Safawi, Mughal atau Turki Usmani. Bagi Natsir, Islam menjadi sumber kehidupan negara modern sesuai dengan keadaan zaman, waktu dan tantangan yang dihadapi.

HAM dan Cita-cita Politik Moh. Natsir
Isyu HAM mulai muncul setelah majlis mumu PBB pada tahun 1948 yang kemudian dikenal dengan Universal Deklaration of Human Rights (UDHR) atau lebih dikenal dengan sebutan pernyataan sementara tentang hak asasi manusia. Hal ini kemudia dijadikan sebagai pedoman standar ditegakkannya HAM di Negara-negara anggota PBB termasuk Indonesia.
Ketika kita berbicara mengenai HAM yang sebenarnya kita maksudkan adalah bahwa hak-hak itu diberikan oleh Tuhan. Ia bukanlah pemberian siapa-siapa atau bahkan seorang raja sekalipun. Karena itu menurut Maududi, hak-hak yang diberikan raja atau perlemen akan ditarik kembali dengan cara yang sama seperti hak itu diberikan. Hak-hak asasi dalam pandangan Islam adalah diberikan oleh tuhan, tak satupun majelis ataupun parlemen di dunia atau pemerintah punya hak atau kewajiban untuk membuat suatu amandemen ataupun merubahnya dan tak seorangpun berhak mencabutnya kembali buat membatalkannya .
Perbedaan pandangan tentang HAM antara dunia barat dan dunia timur memang sangat mendasar. Di barat, perhatian pandangan terhadap individu-individu timbul dari pandangan yang bersifat anthroposentris, dimana manusia merupakan ukuran terhadap segala sesuatu. Sedangkan di timur, dalam hal ini Islam, menganut pandangan yang bersifat theosentris. Yaitu Tuhan Yang Maha Tinggi dan manusia hanya untuk mengabdi kepada-Nya. Berdasarkan pandangan yang bersifat antheosentris tersebut maka, nilai-nilai utama dari kebudayaan barat seperti demokrasi, institusi social dan kesejahteraan ekonomi sebagai perangkat yang mendukung tegaknya HAM itu berorientasi kepada penghargaan terhadap manusia. Dengan kala lain, manusia menjadi sasaran akhir dari pelaksanaan HAM tersebut.
Dengan kata lain, HAM adalah sebagai anugrah tuhan kepada manusia sebagai khalifahnya di bumi. Hal itu menunjukkan kelebihan manusia di atas makhluk-makhluk lain. Kemerdekaan hak asasi ini diberikan agar manusia dapat menjalankan fungsi kekhalifahannya tanpa memahami hak-hak tersebut mustahil manusia daapat menjalankan tugas kewajibannya sebagai khalifah. Karena itulah dalam menjalankan dan menegakkan hak-haknya, manusia harus bersandar pada ajaran tuhan disamping itu HAM dalam Islam mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Kembali kepada pandangan Mohammad Natsir, beliau seorang yang islamis tentu sangat menghargai adanya Hak Asasi Manusia tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan adanya cita-cita politik beliau yang meliputi:
Pertama, membebaska manusia dari segala bentuk supertisi (takhayul dan khaurafat), memerdekakannya dari segala rasa takut kecuali kepada Allah Sang Maha Pencipta serta memegang perintah-perintah-Nya agar kebebasan ruhani manusia dapat dimenangkan.
Kedua, segala macam tirani harus dilenyapkan, eksploitasi manusia diakhiri, dan kemiskinan diberantas untuk mencapai maksud-maksud tersebut. Tirani dan eksploitasi manusia dilenyapkan bilamana penderitaan dan penyakit masyarakat dapat dihilangkan, yang kesemuanya bersumber pada kemusyrikan dan kekufuran.
Ketiga, chauvinisme yang merupakan akar intoleransi dan permusuhan di antara manusia wajib diperangi. Secara demikian, kita semua wajib membangun masyarakat di mana martabat manusia diakui secara penuh, seluruh anggota masyarakat satu sama lain tolong-menolong dan menolak anggapan yang kuatlah yang menang (the survival of the fittest).
Keempat, Natsir yakin bahwa Islam mengajarkan cita-cita politik yang sangat luhur, dan dalam kenyataan umat Islam Indonesia telah memperjuangkan cita-cita untuk membangun masyarakat yang bebas dari chauvinisme, tirani, dan eksploitasi. Tauhid adalah modal perjuangan kaum Muslimin. Oleh karena dengan Tauhid, perjuangan tersebut tidak akan pernah menyimpang. Seluruh perjuangan para pemimpin Islam pada hakikatnya bergerak untuk mencapai cita-cita itu, sebagaimana telah dilakukan oleh Imam Bonjol, Tengku Cik Di Tiro, Diponegaro, Hasanuddin dan lain-lain.
Kelima, untuk mencapai tujuan politik tersebut di atas, konteks situasional dan kondisional yang dihadapi harus diperhatikan, berhubung cara-cara perjuangan harus selalu disesuaikan dengan tantangan dan masalah yang dihadapi.
Berdasarkan cita-cita politik yang demikian, maka M. Natsir dengan jelas menolak paham sekularisme dalam bernegara. Ia mengatakan bahwa sekularisme adalah way of life yang berpikirnya, tujuannya, dan karakteristiknya dibatasi oleh tujuan-tujuan keduniaan semata-mata. Tidak ada tujuan kaum sekularis yang lebih jauh dari perkara-perkara keduniaan.
Sekalipun kaum sekularis kadangkala mengakui eksistensi Tuhan, dalam kehidupan sehari-harinya mereka tidak mengakui pentingnya hubungan antara jiwa manusia dengan Tuhan. Apakah hubungan itu dinyatakan dalam tingkah laku keseharian yang menyangkut berbagai dimensi kehidupan ataupun hubungan kemasyarakatan dalam arti kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kaum sekularis menurut Natsir, menganggap konsep ketuhanan dan agama hanyalah kreasi manusia yang ditentukan oleh kondisi sosialnya dan bukan oleh kebenaran wahyu. Bagi mereka, agama dan doktrin-doktrin mengenai eksistensi Tuhan adalah relatif, selalu berubah sesuai dengan pertumbuhan masyarkat manusia.
Dalam konteks kenegaraan di Indonesia, penting dicatat bahwa pandangan Natsir terhadap Pancasila. Bagi Natsir, Pancasila adalah sejumlah prinsip yang luhur yang dapat mengatasi keabstrakannya bila Pancasila tidak ditafsirkan secara sekularistis, namun dilandasi pada ajaran agama.
Di dalam Pidatonya di hadapan The Institute of International Affairs 2 April 1952 di Pakistan, salah satu isinya adalah bahwa Pancasila merupakan hasil pemikiran terbaik kaum muslimin Indonesia sambil menegaskan bahwa Ilam tidak mungkin bertabrakan dengan Pancasila karean Islam pada hakikatnya adalah serba sila.
Artinya, Pancasila dalam pemikiran Natsir bukanlah sekularistik, tetapi mengandung aspek Tauhidi. Terutama pada silanya yang pertama yang akan memberi semangat dan jiwa ke dalam sila-sila yang lain. Oleh karena itu bagi Natsir harus ditolak pemahaman sebagian kalangan Indonesia yang salah menafsirkan tentang toleransi keagamaan dalam Islam. Bagi Natsir, dalam naungan Islam semua agama akan dapat menikmati kebebasannya secara penuh. Di dalam Capita Selecta II, Natsir mengemukakan amat pentingnya memelihara kemerdekaan beragama dan menerima sepenuhnya pluralisme agama.

KESIMPULAN
Kegigihan Mohammad Natsir terus menggelora sehingga dalam perjalanan hidupnya terutama memperjuangkan bersatunya bersatunya bumi pertiwi yang terpecah belah yang dibentuk oleh pemerintah koloni belanda menjadi Negara-negara bagian, melalui Mosi Intergral dan beliau sebagai tokoh kuncinya, kini berubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, bagi Natsir kehidupan manusia berbangsa dan bernegara itu menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan keagamaan.
Walau demikian beliau tidak menyangkal negaranya menganut pada Pancasila, melainkan muncul penilaian baik terhadap Pancasila itu sendiri. Bagi Natsir, Pancasila adalah sejumlah prinsip yang luhur yang dapat mengatasi keabstrakannya bila Pancasila tidak ditafsirkan secara sekularistis, namun dilandasi pada ajaran agama.
Mohammad Natsir juga merupakan Ulama yang arif dan bijaksana dalam memutuskan segala hal tetapi tepat sasaran. Pemikirannya yang bersifat luas sehingga selalu menjadi tolak ukur generasi penerusnya. Selain itu pemikirannya yang begitu gemilang, banyak menghasilkan ide-ide yang cemerlang bagi kemaslahatan ummat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya. Beliau menyebarkan syiar Islam dengan santun, bijak, damai dan penuh toleransi, dengan demikian syiar agama yang dilakukan akan membawa kehidupan agama berbangsa dan bernegara kearah yang lebih terhormat dan beradab.

DAFTAR PUSTAKA
Natsir, Mohammad. Capita Selecta, (Jakarta:Yayasan Bintang Abadi dan Yayasan Media Dakwah, 2008) Jilid I Cetakan Ke-2
Natsir, Mohammad. Capita Selecta, (Jakarta: PT. Abadi dan Yayasan Bulan Bintang, 2008) Jilid 2 Cetakan Ke-2
Natsir, Mohammad. Capita Selecta, (Jakarta: PT Abadi kerjasama dengan Panitia Peringatan Refleksi Seabad M. Natsir Pemikiran dan Perjuangannya dan Yayasan Capita Selecta, 2008)
Penerbit Republika. 100 Tahun Mohammad Natsir Berdamai dengan Sejarah. (Jakarta: Percetakan Gramedia, 2008)
Hakiem, Lukman (ed) dan Penerbit Republika. M. Natsir di Panggung Sejarah Republik. (Jakarta: Percetakan Tamaprinting, 2008)
Taher, Tarmidzi. Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir. 1996
Kosasih, Ahmad. HAM dalam Refleksi Islam. 2003
Baso, Ahamad DKK. Islam Pasca Kolonial. 2005
Mohammad, Herry. DKK. Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. (Jakarta: Gema Insani, 2006) Cetakan pertama
http://shofwankarim.blog.friendster.com/
Artikel seminar memperingati 100 tahun pahlawan nasional Bapak. Mohammad Natsir. Yang diadakan oleh Wadah Pencerdasan Ummat Malaysia (WADAH) dan Kolej University Islam Antar Bangsa Selangor (KUIS) pada Sabtu, 10 Januari 2009


Makalah Ini disampaikan Pada Presentasi Mata Kuliah Agama dan Modernitas

Tidak ada komentar: