4/10/2009

AGAMA DAN INDIVIDU

PENDAHULUAN

Al Hamdulillah kami ucapkan sebagai tanda rasa syukur kehadirat Allah yang telah mengkaruniakan nikmat kepada hambanya dengan tidak memilah-milah, mengkaruniakan agama sebagai alat menyatukan ummat dalam satu kesatuan yang berbeda.

Salawat dan salam kami panjatkan kepada Rosulullah Saw. Yang telah membawa risalah kepada ummatnya, sebagai conto tauladan dan panutan ummat. Kegigihan beliau dalam menyebarkan cahaya ilahi guna mempersatukan ummat dengan akhlak mulia sebagai sebuah pembentukkan nilai dan moral dan mengajak manusia ke jalan tauhid yang diridloi oleh tuhannya.

Agama merupakan sebagai alat pemersatu manusia, hal ini ditunjukkan dengan munculnya berbagai organisasi organisasi atas dasar agama, dan itu semua mempunyai visi dan misi yang sesuai dengan agamanya tersebut. Selain sebagai bentuk pemersatu juga bisa dijadikan sebagai bentuk kehancuran suatu agama tertentu yang didasarkan pada perbedaan-perbedaan yang muncul akibat adanya pemikiran berbeda baik internal maupun eksternal.

Manusia menjadikan agama sebagai harapan terakhir atau jalan akhir dari semua harapan yang mampu menjawab seluruh persoalan yang muncul dan tidak dapat dijawab oleh siapapun. Harapan-harapan itu mereka tumpahkan kepada agama yang dipercaya bisa memecahkan masalah yang menimbulkan kegelisahan dan ketakutan sehingga mereka merasa yakin terhadap jawaban yang dikeluarkan.

PEMBAHASAN
AGAMA DAN INDIVIDU


Agama sebagai Harapan

Karl Mark adalah seorang filosofis yang tidak begitu banyak menyinggung agama. Tetapi Mark pernah mengatakan dalam sebuah buku yang merupakan kumpulan tulisannya Mark Tentang Agama, mengatakan bahwa "agama adalah candu dari masyarakat" (It [Religion] is the opium of the people), ia melihat dari perspektif sosio-historiografis masyarakat yang menjadikan agama sebagai praktik pembenaran sepihak tanpa implementasi lebih lanjut dalam praktik kehidupan.

Mark berpendapat bahwa agama adalah hasil dari produksi manusia, Tuhan tidak lain dari refleksi kekuatan misterius di dalam alam yang mengontrol kehidupan. Kekafiran materialsme versi Mark lebih menitik beraktkan refleksi kekuatan misterius itu pada kekuatan ragam produksi kelas borjuis. Sistem ekonomi kelas borjuis tidak mampu mengatasi krisis pada umumnya, seperti tidak dapat melindungi kelas atas yaitu individu-individu pemodal dari kerugian dan kebangkrutan, juga tidak dapat menghilangkan pengangguran dari kelas bawah.

Umumnya sangatlah jarang perencanaan sesuai dengan hasil yang diharapkan. Ada kekuatan misterius yang menghalangi manusia, sehingga manusia tidak dapat mencapai hasil yang diinginkannya. Lalu timbullah kepercayaan bahwa manusia berencana Tuhan yang menentukan. Maka demikianlah, Tuhan menurut pandangan marxisme tidak lain dari refleksi kekuatan misterius di belakang sistem sosial-ekonomi kelas borjuis, yaitu kekuatan ragam produksi.

Pandangan marxisme terhadap agama berdasar atas data historis Eropa menjelang akhir Abad Pertengahan. Ia melihat di Eropa bagaimana kaum bangsawan dan pendeta sebagai kelas atas bekerja sama membius kelas bawah supaya sabar menderita menerima nasibnya dengan iming-iming kebahagiaan di akhirat. Demikianlah agama diperalat, yaitu dijadikan obat bius oleh kelas atas untuk mengisap kelas bawah. Itulah sebabnya Marx memberikan karakteristik agama sebagai candu bagi rakyat.

Selain Mark yang memberikan penafsiran terhadap agama dengan pendapatnya yang ektrim, Durkheim juga mengeluarkan afoismenya yang sama tentang agama dengan nada yang tidak terlalu ekstrim. Dalam pandangannya, kepercayaan terhadap agama yang mendukung masyarakat berkelas pada dasarnya merupakan bukti penyerahan ketika menghadapi penindasan. Pada saat peyerahan mulai berubah menjadi kesadaran dan perjuangan menentang para penindas hal ini bisa mengambil bentuk bukan merupakan penolakan terhadap semua agama, melainkan pembentukkan agama baru dimana nilai-nilai agama yang lama diputarbalikkan.

Gambaran yang diberikan Durkheim terhadap fungsi agama dalam masyarakat, bahwa sarana-sarana keagamaan adalah lambang masyarakat, kesakralan bersumber pada kekuatan yang dinyatakan berlaku oleh masyarakat secara keseluruhan bagi setiap anggotanya, dan fungisnya adalah mempertahankan dan memperkuat rasa solidaritas dan kewajiban social.

Pendapat Durkheim diperkuat oleh Engels dengan menunjuk kelompok proletarian di perkotaan krajaan romawi mengikuti agama Kristen yang baru sebagai agama yang bercorak protes terhadap para pemilik budak dan kelompok politik mereka yaitu kaisar dan para pemerintahnya .

Data historis yang diambil oleh kaum Markxisme hanya Eropa pada abad-abad menjelang akhir periode Abad Pertengahan. Data historis ini sangatlah tidak lengkap untuk membuat generalisasi. Inilah kecerobohan emosional dari Karl Marx. Bahwa karena di Eropa pada penghujung Abad Pertengahan penguasa yang terdiri atas kaum bangsawan yang berkerja sama dengan pendeta memperalat agama untuk menghisap rakyat jelata, lalu semua pada bagian dunia yang lain dari dahulu hingga yang akan datang berlaku karakteristik agama itu candu bagi rakyat. Karl Marx tidak melihat pada revolusi para petani dalam abad ke-14 (di Perancis tahun 1351 M, di Inggris pada tahun 1381 M.), dengan semangat keagamaan menyerang tirani pemerintahan raja dan kaum bangsawan, serta gerakan keagamaan puritan di Inggris dalam abad ke-17, menunjukkan bahwa agama itu bukanlah candu bagi rakyat.

Sikap sentimen keagamaan mereka yang menyebabkan ia tidak mengkaji bagaimana para Nabi pembawa agama-agama wahyu menentang tirani, yaitu Nabi Musa AS, Nabi 'Isa AS dan Nabi Muhammad SAW. Bagaimana Nabi Muhammad SAW bersama ummatnya menumbangkan sistem sosial-ekonomi Arab jahiliyah yang diskriminatif, kemudian mendirikan Negara Islam Madinah di atas landasan kesamaan sosial dan keadilan ekonomi.

Perlunya agama bagi manusia tampaknya agama-agama itu harusi dianggap sebagai perkumpulan berbagai kesetiaan kelompok yang diekspresikan sebagai simbolik dan sebagai jawaban terhadap masalah-masalah etnik metafisik yang dikemukakan oleh tiap-tiap individu dan merupakan jawaban yang meyakinkan. Tentu saja bahwa keyakinan keagamaan bisa meredam berbagai sikap permusuhan yang muncul dalam kelompok orang seagama meskipun hal ini juga bisa terjadi disetiap jenis kesetiaan kelompok pada segala jenis kelompok.

Dalam kehidupan masyarakat masa sekarang ini atau sering kita sebut juga sebagai masyarakat modern, yang didukung oleh dinamika teknologi yang semakin berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan, sebagian besar penyesuaian-penyesuaian terhadap alam fisik, tapi yang penting ialah penyesuaian dalam hubungan kemanusiaan mereka sendiri. Pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap masyarakat juga mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting bagi agama. Pengaruh inilah yang merupakan salah satu sebab mengapa aggota masyarakat tersebut semakin lama semakin terbiasa menggunakan metode empirik berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam menanggapi berbagai masalah kemanusiaan.

Akibatnya kehidupan yang dianggap sakral sering dikesampingkan akibat semakin meluasnya kehidupan sekuler, dan masayarakat pada umumnya sudah mulai menghilangkan atau melupakan kehidupan sakral tersebut. Oleh karena itu para pemimpin agama mencoba memasukkan kehidupan agama ke dalam urursan duniawi meskipun harus bersaing dengan beberapa organisasi-organisasi yang bersifat sekuler. Kehidupan ini yang membedakan dengan masyarakat tradisional, dimana aktifitas sakral lebih banyak dan lebih diutamakan.

Selain itu, agama juga berfungsi sebagai pemersatu dan pembentuk nilai-nilai moral yang dianggap bersumber dari zat ilahiyah dan diharapkan dapat menyelamatkan pemeluknya keluar dari berbagai permasalahan yang membelenggunya yang tidak bisa di jawab oleh alam pikiran manusia.

Untuk menilai tinggi rendahnya fungsi-fungsi agama sebagai pemersatu dan pembentuk nilai, serta mencari keseimbangan di antara fungsi ini dengan kemampuannya untuk menghancurkan merupakan suatu hal yang rumit. Berbeda dengan pengaruh organisasi-organisasi keagamaan yang semakin melemah, bisa dikemukakan bahwa nilai-nilai keagamaan dari masa-masa terdahulu ternyata sedikit banyaknya tetap bertahan dalam masyarakat sebagai bagian dari tradisinya yang mendasar. Dalam bentuk ini nlai-nilai tersebut tetap memberikan sumbangan, sampai batas yang sangat sukar diukur terhadap keterpaduan masyarakat. Buktinya adalah, khususnya pada masa-masa penuh ketegangan, sering muncul himbauan masyarakat untuk menerapkan warisan tradisi keagamaan dengan memohon pertolongan tuhan dan dilakukan secara khidmat dan bersama-sama.

Tingkah laku sejumlah orang dalam masyarakat modern dibentuk semata-mata atau bahkan terutama, sesuai dengan nilai-nilai keagamaan. Kelemahan nilai-nilai keagamaan sebagai suatu fokus pengintegrasian, tentu saja antara lain disebabkan oleh keanekaragaman system niali dari berbagai organisasi keagamaan yang seringkali berusaha mendapatkan kesetiaan setiap individu anggotanya. Tetapi saingan utama bagi semua system nilai keagamaan adalah system nilai sekuler tersebut yang berkembang semakin dominan. Nilai-nilai sekuler tersebut berkembang di sekitar nasionalisme, ilmu pengetahuan, masalah-masalah ekonomi dan pekerjaan, serta perebutan jabatan.

Tapi, walau bagaimanapun juga manusia menurut fitrahnya mesti beragama. Dalam tafsir Al Maraaghi diterangkan bahwa andaikata seorang bayi dilahirkan di suatu pulau yang terpencil, tidak ada orang yang mendidik dan yang menuntunnya. Namun, menurut fitrahnya ia akan mencari tuhan dan meyakini akan adanya tuhan .

Oleh karena itu Lathief Rusyidy memberikan pendapat tentang fungsi agama dan peranannya, yaitu:

a. Mendidik manusia supaya memiliki akidah yang tepat, benar dan pasif baik secara uluhiyyah maupun rububiyyah.

b. Membedakan manusia dari belenggu perbudakan, membina dan mendidik manusia supaya hanya tunduk dan mengabdi kepada Allah.

c. Mendidik manusia berani menegakkan kebenaran, keadilan dan kebaikan demi kebahagiaan dan keselamatan manusia di dunia dan akhirat.

d. Dapat memperbaiki akhlak manusia, dapat mendidik manusia supaya berakhlak yang mulia dan menjauhkan diri dari sifat-sifat tercela.

e. Menyuruh manusia mengabdi kepada Allah.

f. Dapat mengangkat derajat manusian yang lebih tinggi .

Agama sebagai Cara Penyesuaian Diri

Kasus Kematian

Kematian selain tidak dapat diramalkan juga berada di luar kekuasaan manusia. Meskipun kita semua mengetahui pasti mati, namun tak seorang pun mengetahui kapan kematian menjemputnya. Atas dasar ketidak pastian inilah kita menemukan interpretasi-interpretasi keagamaan tentang kematian dalam setiap masyarakat. Meskipun oreintasi-orientasi keagamaan tentang kemtian ini mengandung beberapa perbedaan kecil mengenai kepercayaan tentang adanya kehidupan sesudah mati, namun unsur pokok dari kepercayaan-kepercayaan ini bagi ilmu sosial, sebagaimana ditafsirkan oleh sementara orang, bukanlah bukti-bukti yang menunjukkan bahwa kepercayaan-kepercayaan ini merupakan apa yang mereka sebut sebagai isapan jempol belaka. Adapun yang mungkin dianggap kebenaran tertinggi mengenai persoalan-persoalan semacam itu, jika dilihat dari kacamata sosiologi, kepercayaan-kepercayaan keagamaan menampilkan seperangkat mekanisme yang dengannya orang-orang yang hampir meninggal dan orang yang akan ditinggal mati dapat menyesuaikan diri dengan realitas yang menimbulkan ketegangan .

Berbagai peristiwa yang menimbulkan tekanan batin dan perasaan takut, yang secara teratur menimbulkan kemunduran pada alam pikiran, dan karena itu akan muncul raktivitas kesadara-kesadaran kompleks. Menurut Freud kesadaran ini mencakup dua hal: pertama ada perasaan takut kepada kekuatan-kekuatan alam, yang menjadi gantungan bagi kehidupan manusia tetapi manusia tidak dapat mengendalikannya, dan kedua adalah adanya kebencian atau kemarahan terhadap berbagai frustasi instinktif secara terus menerus yang ditimbulkan oleh kehidupan sosial terhadap setiap individu.

Peristiwa-peristiwa yang menimbulkan persasaan takut dan frustasi semacam itu bukan sekedar insiden-insiden yang terjadi dalam sejarah individual, melainkan suatu saat mempengaruhi banyak orang. Karena itulah timbullah tanggapan-tanggapan kolektif terhadap peristiwa-peristiwa itu, dan berbagai fantasi individual serta prilaku seperti orang yang mengidap penyakit jiwa menyatu dalam fantasi dan peribadatan keagamaan kolektif. Meskipun berbagai peristiwa pada prilaku anak-anak yang timbul karena berbagai hubungan manusia dengan alam bisa benar-benar dikurangi dengan kemajuan-kemajuan dalam kekayaan dan teknologi, namun pristiwa yang timbul akibat frustasi individual dalam masyarakat hampir tidak dapat dikurangi. Sikap kemanusiaan seperti itulah muncul pikiran Freud bahwa tatanan-tatanan yang lebih rendah memiliki kepentingan paling besar terhadap agama, karena mereka lebih banyak mengalami penderitaan lebih besar dari frustasi naluriah dibandingkan dengan kelas yang berkuasa .

Kemungkinan-kemungkinan terhadap kematian terus muncul dan ini tidak bisa kita tebak. Bisa saja bayi yang baru lahir tidak lama kemudian ajal menjemputnya, atau mungkin saja nenek-nenek berusia 100 tahun masih kelihatan segar dan belum kelihatan tanda-tanda kematiannya.

Orang yang ditinggal kematian pastinya meninggalkan kekecewaan atau kenangan indah, yang kemudian akan ada anggapan antara bahagia dan celaka. Karena kekecewaan akibat kematian tidak dapat dihindarkan, maka manusia selalu berusaha menyesuaikan diri dengan kematian itu baik dengan menggunakan kepercayaan dengan memperhatikan kehidupan sehari-harinya atau sikap saat-saat nyawa berpisah dengan jasadnya, atau upacara keagamaan yang dipercaya bisa mengantarkan arwah yang mati ke tempat yang lebih baik. Kepercayaan terhadap kematian dan kehidupan akhirat tentu saja tidak dapat menghapuskan kematian itu, namun ia dapat membantu orang menghadapinya, dan melayani masyarakat mereka dengan baik ketika mereka sedang menghadapi kematian tersebut. Maka tidak menutup kemungkinan orang yang ikut dalam peperangan itu beragama, sekalipun ia tidak percaya pada tuhan. Dan agama pada umumnya dijadikan sebagai tempat berlindung.

Fenomena-fenomena kematian terus bermunculan, hal ini menimbulkan sejumlah pertanyaan tentang kematian dan orang yang mati. Karena adanya kepercayaan-kepercayaan inilah menjelaskan kepada orang yang mati dalam skema makhluk-makhluk sosial dan suprasosial. Penegasan-penegasan ini tidak hanya berfungsi menentramkan hati orang yang masih hidup, yang mungkin akan merasa takut akan hubungan mereka dengan orang yang sudah meninggal, karena kepercayaan-kepercayaan orang yang beragama terhadap orang yang sudah meninggal justru menakutkan dan bukannya menentramkan hati. Tapi seandainya hal itu betul, paling tidak ada ketentraman hati dalam menghadapi ketakutan tersebut.

Oleh Karena itu dari satu sisi, agama dapat dianggap meskipun sama sekali tidak berarti bahwa ini adalah gambara yang tuntas sebagai salah satu cara yang paling penting bagi manusia untuk menyesuaikan diri dengan situasi-situasi yang penuh ketegangan itu. Situasi-situasi ketegangan bisa dibagi dalam dua katagori utama. Kedua tipe tersebut mengandung keterlibatan-keterlibatan di mana umat manusia mempunyai invesatasi emosional yang besar dalam hasil yang diperolehnya. Dalam dua hal tersebut hasilnya sama sekali berada di luar kekuasaan manusia. Kategori pertama mencakup situasi-situasi di mana individu atau kelompok-kelompok dihadapkan dengan hilangnya orang lain yang penting bagi mereka, kehilangan tersebut mungkin untuk selama-lamanya seperti kematian atau kehilangan yang bersifat sementara. Di dalam semua situasi inilah frustasi-frustasi yang bersifat emosional atau pun yang bersifat praktis ikut terlibat.

Sama pentingnya bagi masyarakat adalah ritualisasi kematian. Makna apapun yang diberikan kepada kematian oleh orang yang terlibat secara langsung, namun bagi orang-orang yang ditinggalkan mati, ia jelas memutuskan seluruh jaringan hubungan sosial dan kewajiban-kewajiban bersama. Dengan demikian ritus keagamaan dalam hubungannya dengan kematian membantu memperkuat kembali solidaritas sosial dari kelompok masyarakat yang lebih besar dan mengarakan dukungan kelompok masyarakat tersebut kepada penyelesaian persoalan yang dianggap oleh orang yang ditinggal mati itu. Fungsi ritus keagamaan ini telah dilaksanakan dalam masyarakat purba dan modern, masyarakat primitive dan juga masyarakat beradab.

Magi sebagai Cara Lain dalam Penyesuaian diri

Walaupun perbandingannya sangat jauh antara agama dan magi, akan tetapi fenomena yang beredar di masyarakat baik masyarakat primitif atau modern magi selalu disejajarkan dengan agama. Di samping itu, kandungan magi berbeda dengan kandungan yang ada dalam agama. System-sistem keagamaan, khususnya dalam perkembangannya yang lebih tinggi bisa menjangkau seluruh kehidupan, system tersebut bisa memberikan teori yang lengkap mengenai yang gaib maupun masyarakat nyata. Sebaliknya isi magi tidak merupakan teori inklusif yang terpadu tetapi cenderung bersifat mistik.

Salah satu cara untuk melihat perbedaan antara agama dan magi adalah dengan menempatkan masing-masing pada kutub yang berlawanan dari suatu garis lurus. Berdasarkan sudut pandang ini, manifestasi-manifestasi yang paling murni dan gaib dari agama-agama yang lebih tinggi menempati kutub yang paling tinggi dan pada kutub yang lain adalah magi hitam.

Dalam prakteknya, kita sering keliru dan hampir tidak bisa membedakan tingkah laku keagamaan, tapi setelah di teliti lebih jauh ternyata kegiatan tersebut merupakan tindakan magi. Seperti orang yang bisa menghadirkan arwah-arwah leluhurnya dengan tujuan meminta pertologan agar terhindar dari bahaya musuh, dengan menggunakan mantra-mantra yang berisi dari ayat-ayat al Quran dan doa-doa lain yang sama dengan doa mereka ketika solat.

Praktek magi sebagai cara penyesuaian diri ini, bukan tidak mungkin akan menghasilkan sikap negatif dan berpengaruh pada tingkah laku sosial masyarakat. Diantaranya apabila praktek-praktek magi tersebut telah diterima sebagai adat kebiasaan, maka praktek tersebut akan menghalangi penerapan cara-cara yang secara teknik lebih unggul dalam mengatasi situasi ketegangan.

Agama dan Sains sebagai Cara Penyesuaian Diri

Sains atau ilmu pengetahuan memberi manusia cara empirik dan praktis untuk menyesuaikan diri dengan situasi-situasi empirik dan praktis pula. Sedangkan dalam agama baik tujuan yang hendak dicapai maupun cara-cara yang dipergunakan kedua-duanya bersifat nonempirik. Di samping itu sains, yang jelas berbeda dengan magi, meskipun sains dan magi sama-sama menghendaki tercapainya tujuan-tujuan yang empiric dan praktis.

Dalam sains, cara-cara yang sangat sederhana pun pada prinsipnya dapat bersifat ilmiah. Sebenarnya sains itu sama tuanya dengan masyarakat dan sebenarnya kebudayaan manusia tidak dapat berkembang tanpa cara-cara ilmiah sampai batas minimal sekalipun. Di zaman modern ini sains perupakan metode pokok yang dipakai orang untuk mencapai banyak tujuannya dan untuk menyesuaikan diri dengan berbagai macam ketegangan.

Perkembagan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat, sains dapat menimbulkan dua sisi dimensi yang selalu berlawanan, yaitu sisi positif dan sisi negatif. Ketika berada pada sisi negatif, peran agama menjadi sangat penting. Hal ini ditunjukkan dengan lahirnya hukum-hukum atau undang-undang yang memberikan batasan terhadap ruang gerak manusia supaya tidak terjerumus pada hal-hal yang dapat merugikan.

Lagi pula dengan meningkatnya penggunaan sains dan hasil-hasilnya mendorong terciptanya situasi-situasi ketegangan baru sehingga kadang-kadang magi diminta untuk menghilangkannya. Disinilah tampak adanya kesamaan fungsi dari agama dan magi, yaitu sebagai harapan dapat mengeluarkan manusia dari kemalut masalah yang sedang menimpa dirinya.

KESIMPULAN

Ada berbagai cara yang digunakan manusia untuk keluar dari masalah yang sedang melandanya. Mulai dari berpegang kepada agama, selanjutnya ditelaah melalui ilmu pengetahuan atau sains, dan kalaupun tidak menemukan hasil yang memuaskan, bagi sebagian orang akan lari pada magi yang dipercaya mampu menjawab setiap permasalah tersebut.

Perlunya agama bagi manusia tampaknya agama-agama itu harusi dianggap sebagai perkumpulan berbagai kesetiaan kelompok yang diekspresikan sebagai simbolik dan sebagai jawaban terhadap masalah-masalah etnik metafisik yang dikemukakan oleh tiap-tiap individu dan merupakan jawaban yang meyakinkan. Tentu saja bahwa keyakinan keagamaan bisa meredam berbagai sikap permusuhan yang muncul dalam kelompok orang seagama meskipun hal ini juga bisa terjadi disetiap jenis kesetiaan kelompok pada segala jenis kelompok.

Selain itu, agama juga berfungsi sebagai pemersatu dan pembentuk nilai-nilai moral yang dianggap bersumber dari zat ilahiyah dan diharapkan dapat menyelamatkan pemeluknya keluar dari berbagai permasalahan yang membelenggunya yang tidak bisa di jawab oleh alam pikiran manusia.

Dalam kehidupan sehari-hari, antara agama, sains dan magi terus hidup berdampingan dan tidak bisa dihilangkan salah satunya sekalipun pada masyarakat industri yang lebih cenderung pada hal-hal yang bersifat ilmiah yang membutuhkan sebuah observasi.

DAFTAR PUSTAKA

K. Notingham, Eilzabeth. Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama. (Rajawali: Jakarta, 1985)

Betty R. Scharf. Kajian Sosiologi Agama (Tiara Wacana Yogya: Yogyakarta, 1995) Cetakan pertama.

Rousyidy, T.A. Latief. Agama dalam Kehidupan Manusia. (Rimbow Medan: Jakarta, 1986)

Mustafa, Ahmad Al Maraaghy. Tafsir Al Maraaghi Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Mustafa Al Baaby al Halaby. Mesir: 1946.

Malinowski, Bronislau. Magic, Science and Religion. Glencoe, Illinois, The Free Press 1948.

Trevor Repor Tr. Religious Reformation and Social Change. London. 1967.



makalah ini disampaikan pada mata kuliah Sosiologi Agama

Tidak ada komentar: