12/12/2009

Perkembangan Kajian Hadis dan Setelah Mengalami Kemunduran

Oleh: Zakaria Anhorie



Awal Perkembangan Hadis dan Kajiannya

Pada awal perkembangan Islam, Nabi melarang para sahabat untuk menuliskan hadis, hal ini karena dikhawatirkan terjadi percampuran dengan al Qur’an yang pada waktu itu memang para sahabat mencatatnya di berbagai media. Namun setelah peta penyebaran Islam meluas ke berbagai pelosok dan didukung dengan semakin banyaknya orang atau sahabat yang hafal al Qur’an, maka perintah larangan tersebut telah dinasakh oleh perintah yang membolehkannya. Dengan demikian larangan tersebut menjadi boleh[1].

Sistem penyebaran atau penyampaian hadis yang dilakukan para sahabat berbeda-beda. Ada yang menyampaikan sesuai dengan lafadz yang masih asli dari Rasulullah saw., sedangkan ada pula yang dengan maknanya saja dan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkannya, hal ini terjadi karena mereka sudah tidak ingat betul lafadh aslinya di samping mereka hanya mementingkan isinya saja. Hal ini dibolehkan oleh Rasulullah, berbeda dengan al Qur’an yang harus disampaikan secara mutlak kebenarannya dan tidak boleh ditambahkan sedikitpun[2].

Masa khalifah Umar bin Abdul Ajiz (99-110 H) adalah masa awal dilakukannya pentadwinan hadis. Hal ini didasari dengan adanya kekhawatiran akan hilangnya perbendaharaan hadis di hadapan masyarakat. Selain itu juga dikhawatirkan akan bercampur dengan hadis palsu yang semakin marak beredar di masyarakat, karena pada masa ini adalah puncak semangat para sahabat dalam mengumpulkan hadis, oleh karena itu tidak menutup kemungkinan terjadi interpensi dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Kualitas kitab-kitab hadis karya ulama abad kedua ini masih bercampur antara hadis Rasulullah dengan fatwa-fatwa sahabat atau tabiin, hal ini disebabkan oleh kemauan keras dalam mengumpulkan hadis sehingga belum sempat meneliti dan menyeleksi mana yang termasuk hadis dan mana yang bukan hadis. Walhasil bahwa kitab-kitab hadis karya ulama-ulama tersebut belum bisa ditapis antara hadis yang marfu’, mauquf, dan maqhtu’, shahih, hasan dan dhaif.

Setelah itu kemudian beralih ke masa penyaringan hadis yang telah dibukukan tadi, masa penyaringan ini terjadi di abad III. Mulai pertengahan abad III, bermunculan ulama-ulama hadis seperti Muhammad bin Ismail al Bukhari (194-256), Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy (204-261) dan lainnya, yang meneliti tentang keshahihan suatu hadis. Tidak hanya matan dan sanadnya, melainkan perawinya juga ikut diselidiki sehingga kualitas hadis tersebut bisa diketahui secara tepat. Periode berjalan lama sampai banyak menghasilkan kitab-kitab yang mengkaji tentang hadis. Abad IV merupakan periode (Marhalah al Istikmal) Periode ini merupakan tahap lanjutan dan penyempurnaan terhadap karya-karya periode sebelumnya.

Pada abad IV H, para ulama umumnya mengikuti manhaj pendahulunya (generasi III). Dalam penulisan sunnah. Di antara mereka ada yang mengikuti manhaj Ash Shahihain dengan mengeluarkan hadits-hadits shahih saja dalam kitab mereka, adapun yang mengikuti manhaj kitab-kitab sunan dengan mengeluarkan hadist-hadits yang berkaitan dengan hukum-hukum dan adab-adab dan adapula yang mengarahkan karyanya pada masalah ikhtilaf al hadits.

Periode Pasca Abad IX hingga awal abad XIV (Marhalah aljumud) Pada periode ini gerakan ilmiah dalam alam islami mengalami kemunduran, termasuk dan terutama dalam ilmu-ilmu Sunnah nabawiyah.Namun,hal ini bukan berarti sama sekali tidak ada produksi para ulama hadits hanya saja adanya kreasi-kresai baru menjadi sesuatu yang langka dan hanya peran muhadtstsin tidak lagi sebesar sebagaimana sebelumnya. Di antara tokoh besar ulama hadits yang hidup di zaman ini adalah Al Imam Jalaluddin As Suyuthi, Al Hafizh As Sakhawi, Al Hafizh Zakariya Al Anshari, Muhammad Al Baiquni, Imam Waliyyullah Ad Dahlawi, Al ‘Ajluni, As Saffaarini, Az Zabidi, Muhammad bin Ali Asy Syukani dan lain-lain.

Masa Kebangkitan Kembali

Setelah mengalami kejumudan, abad XIV kajian terhadap hadis mulai bangkit lagi (marhalah an nuhdh wal inbi’ats), Pada periode ini, khidmatus sunnah mengalami suasana perkembangan baru, dengan adanya peran percetakan, di awali dengan masuknya ke percetakan Alam Islami mulai dari Mesir, kemudian Syam, Iraq, Palestina. Libanon, India dan seterusnya. Maka perhatian diarahkan kepada percetakan kitab-kitab agama terutama yang berkaitan dengan Al Quran ,Hadis, dan Fiqh ,mulailah diadakan pengumpulan karya-karya agung para ulama dalam ulum As Sunnah dalam berbagai disiplinnya, termasuk tadwinus sunnah di mana kitab-kitab induk mulai dicetak begitu pula kitab-kitab yang berhubungan dengannya.

Pada pertengahan abad 20 M, gerakan ilmiah ini makin luas dan gencar, terutama setelah kaum muslimin memahami tujuan-tujuan busuk yang terselubung dalam kedok imperialisme Barat yang berupaya memadamkan islam dengan jalan memadamkan Sunnah. Di antara ulama muhaditsin yang hidup di zaman ini adalah Syamsulhaq Azhim Abadi, Abul ‘Ala Al Mubarakfuri, Ahmad Syakir, Muhammad Nashiruddin Al Albani dan lain-lain.

Usaha kaum orientalis dalam memadamkan sunnah ini terus dihalangi oleh ulama-ulama hadis yang peduli terhadap keaslian hadis sebagai sumber pengambilan hukum islam. Terdapat banyak metode yang digunakan oleh kaum orientalis dalam mengkaji hadis. Ignaz Goladziher, orientalis terkemuka yang telah melakukan kajian yang intens terhadap hadis. Metode yang digunakan Goladziher adalah historis-fenomenologis yang hanya ditujukan terhadap unsur matan hadits (teks), yang cakupannya adalah aspek politik, sains, maupun sosio kultural, tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan unsur sanad sampai kepada Nabi.

Ignaz Goldziher terlahir dari keluarga Yahudi di kota Hongaria tanggal 22 Juni 1850. Pendidikannya mulai dari Budhaphes, dilanjutkan ke Berlin dan Liepziq pada tahun 1869. Dalam kajiannya terhadap dunia timur, Goldziher mencoba mendalami kajiannya di Syiria pada tahun 1870 kepada syekh Tahir al Jazairi, Kemudian pindah ke Palestina, lalu melanjutkan studinya ke Mesir, dimana dia sempat belajar pada beberapa ulama al-Azhar. Sepulangnya dari Mesir, tahun 1873, dia diangkat menjadi guru besar di Universitas Budhapes. Sebagai seorang orientalis, Goldziher tentu tidak tinggal diam atas kemajuan Islam. Dia berusaha menghancurkan Islam dari arah kajianya terhadap hadis, yang mampu menyebarkan berita kebohongan hadis.

Selain Ignaz Goldziher, juga Joseph Schact seorang tokoh orientalis yang sudah lama meneliti tentang hadis sehingga melahirkan sebuah karnyanya yang berjudul The Origin of Muhammadan Jurisprudence. Buku karya Schat ini kemudian dijadikan rujukan di kalangan orientalis. Meskipun keduanya tokoh sentral orientalis, mereka mempunyai perbedaan pandangan yang mendasar tentang hadis ini. Schat meyakini bahwa tidak ada yang otentik satu pun dari hadis Rasulullah, khususnya yang berkaitang dengan hukum Islam, sedangkan Goldziher hanya sampai pada meragukan keotentikan hadis Rasulullah saw.

Kesamaan motivasi yang dimiliki tokoh orientalis, Goldziher dan Schat tentu tidak sendirian dalam menyebarkan misinya untuk menghacurkan islam dari arah kajian hadis ini atau sering disebut juga penghancuran tradisi (destructio of the tradition)[3]. Banyak pengikut yang sama-sama menyebarkan kebohongan hadis Rasulullah saw. yang oleh umat Islam sebagai kitab rujukan kedua setelah al Qur’an. Kajian yang dilakukan oleh pengikut orientalis ini hanya sebatasa pada pengutipan-pengutipan pada kitab rujukan mereka, namun ada juga yang melakukan penelitian tapi kualitas kajian mereka tidak memiliki bobot ilmiah yang signifikan.

Ada banyak contoh yang dilakukan kaum orientalis dalam meyesatkan pemahaman terhadap hadis, di antaranya:

1. Goldziher menganggap bahwa hadith merupakan produk kreasi kaum muslimin belakangan, karena kodifikasi hadith baru terjadi setelah beberapa abad dari masa hidup Nabi[4]. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa hadith yang membolehkan penulisan (proses pengkodifikasian) lebih banyak dari pada pelarangan hadith yang lebih mengandalkan pada hapalan.

2. Mengubah teks-teks sejarah, di antara tokoh-tokoh ulama hadis yang menjadi incaran pelecehan Goldziher adalah Ibn Syihab al Zuhri. Goldziher mengubah teks-teks sejarah yang berkaitan dengan Ibn Syihab al Zuhri, sehingga timbul kesan bahwa al Zuhri sebagai seorang pemalsu hadis.

3. Membuat teori rekayasa untuk memperkuat tuduhannya bahwa apa yang dikenal sebagai hadis adalah bukan berasal dari Rasulullah, akan tetapi hasil karya ulama abad ke I dan II hijriah. Teori Projecting Back adalah teori hasil Schacht sebagai teori tentang rekonstruksi terjadinya sanad hadis[5].

4. Ignaz Goldziher menyatakan bahwa redaksi/matan hadith yang diriwayatkan oleh perawi-perawi hadith dinilai tidak akurat, karena mereka lebih menitikberatkan pada aspek makna hadis sehingga para ahli bahasa merasa enggan menerima periwayatan hadith disebabkan susunan bahasanya tergantung pada pendapat perawinya.

Analisa Kritis Terhadap Pendapat Orientalis

Sebagai jawaban terhadap kaum orientalis, terdapat para ulama kontemporer yang mencoba mengkaji ulang kesalahan-kesalahan yang dimiliki orientlis dalam memahami dan menyangkal terhadap pendapat yang diungkapkan oleh kaum orientalis ini. Sebut saja Dr. Mustafa al Siba’i (w 1945 M), Dr. Muhammad ’Ajjaj al Khatib (w 1363 M), dan tidak kalah penting adalah Dr. Muhammad Mustafa Azami yang pernah belajar di kandang orientalis.

Sebagai sebuah perbandingan, penting untuk diungkap dalam makalah ini adalah profil Mustafa Azami. Lahir di India Utara tahun 1932. Pengalaman panjang Mustafa Azami dalam mempelajari hadis berawal dari College of Science di Deoband, adalah sebuah perguruan terbesar di India yang juga mengajarkan studi Islam. Lulus dari India beliau melanjutkan pendidikannya di Universitas Al Azhar, kairo dan lulus tahun 1955. di tahun 1966, Azami mendapat gelar doktor di Universitas Cambridge, Inggris. Di Universitas Cambridge-lah Mustafa Azami melakukan pembelaan terhadap hadis Nabawi dengan meng-counter pendapat para orientalis serta membongkar kepalsuan-kepalsuan mereka secara kritis, lebih objektif, dan lebih argumentatif.

Beberapa sangkalan yang diungkapkan para ulama hadis dalam menjawab pendapat orientalis:

1. Di bagian awal telah saya singgung bahwa pada abad ke dua para ulama hanya sampai pada pengumpulan hadis, belum pada tahap penyeleksian atau pemisahan antara hadis dan fatwa sahabat atau tabi’in.

Muhammad ‘Ajjad al-Khatib menunjukan beberapa faktor yang menjamin kemurnian hadis. Pertama, adanya ikatan emosional umat Islam untuk berpegang teguh kepada segala sesuatu yang datang dari Nabi. Kedua, adanya tradisi hapalan dalam proses transmisi hadis. Ketiga, sikap kehati-hatian para muhaddith dari masuknya hadith palsu, ditunjang sikap selektifitas para muhaddis dalam tradisi periwayatan. Keempat, terdapatnya beberapa manuskrip yang berisi tentang hadis-hadis. Kelima, adanya majlis-majlis ulama dalam tradisi transformasi hadith. Keenam, adanya ekspedisi ke berbagai wilayah untuk menyebarkan hadith. Dan ketujuh, sikap komitmen para muhaddis dalam meriwayatkan hadis dengan didukung keimanan dan jiwa religiusitas yang tinggi[6].

2. Muhammad ‘Ajjad al-Khatib menawarkan solusinya dengan metode sebagai berikut: Larangan penulisan hadith ini bersifat umum, akan tetapi ada kekhususan bagi mereka yang mahir dengan tradisi membaca dan menulis, sehingga tidak ada kesalahan dalam menulis, seperti kasusnya Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash. Jadi, penulisan hadith itu sebenarnya sudah ada sejak abad 1 H dan bahkan tidak ada perselisihan (kontradiksi) sampai akhir abad itu.

Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab sudah dalam keadaan maju dan berkebudayaan. Ketika para sahabat lebih mengandalkan hapalan mereka, bukan berarti tradisi tulis-menulis tidak ada sama sekali di lingkungan mereka, karena banyak bukti-bukti sejarah yang mendukung adanya tradisi tulis-menulis di awal Islam ini[7]. Bukti lain adanya tradisi tulis menulis ini adalah bahwa di sekitar Nabi Muhammad Saw terdapat 40 penulis wahyu yang setiap saat siaga dalam melakukan penulisan. Ada juga Sa’ad Ibn ‘Abdullah Ibn ‘Auf yang memiliki kumpulan hadith dari tulisan tangan sendiri.

3. Ignaz Goldziher dalam menuduh perawi hadis sungguh tidak masuk akal, karena pada kenyataannya tradisi periwayatan hadith terbagi menjadi dua, yaitu periwayatan bil lafdzi dan periwayatan bil ma’na. Jenis periwayatan yang kedua yang telah disorot oleh Ignaz Goldziher dengan argumennya bahwa perawi hadis yang menggunakan tradisi periwayatan bil ma’na dicurigai telah meriwayatkan lafadz-lafadz yang dengan sengaja disembunyikan, sehingga redaksinya menjadi tidak akurat. Padahal, adanya tradisi periwayatan bil ma’na ini dikarenakan sahabat Nabi Muhammad Saw tidak ingat betul lafadz aslinya. Dan yang terpenting bagi sahabat Nabi adalah mengetahui isinya atau matan yang terkandung di dalamnya. Hadis berbeda dengan al Qur’an yang tidak boleh dirubah baik makna maupun lafadz[8].

4. Dalam membantah teori projecting back. Mustafa ‘Azami mengatakan bahwa sangat mustahil menurut ukuran situasi dan kondisi pada saat itu mereka pernah berkumpul untuk membuat Hadis palsu sehingga redaksinya sama. Dan sangat mustahil pula bila mereka masing-masing membuat Hadis, kemudian oleh generasi berikutnya diketahui bahwa redaksi hadis yang mereka buat itu sama. Kesimpulan A’zami ini bertolak belakang dengan kesimpulan Schacht, baik tentang rekontruksi terbentuknya sanad hadis, maupun bunyi teks (matan) Hadis tersebut. Sebagai contoh, A’zami mengemukakan sebuah hadis Nabi saw. yang berbunyi: “ Apabila salah seorang di antara kamu bangun dari tidurnya, maka hendaknya ia mencuci tangannya, karena ia tidak tahu semalam tangannya berada di mana “. Hadis ini dalam naskah Suhail bin Abi Shaleh berada pada urutan nomor tujuh, dan pada jenjang pertama (generasi shahabat) diriwayatkan oleh lima orang, yaitu Abu Hurairah, Ibn Umar, Jabir, Aisyah, dan Ali bin Abi Thalib.


Kesimpulan


Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Memang tiada henti orang-orang dalam mengkajinya, meskipun terdapat masa yang kosong dari peroses pengkajian tersebut, hal itu bukan berarti tidak ada kajian sama sekali melainkan sikap para ulama pada masa itu hanya melengkapi apa yang telah dilakukan oleh ulama-ulama abad sebelumnya dan menjadikan kitab-kitab terdahulu sebagai rujukan.

Muncul tantangan baru bagi umat Islam khususnya para muhaddisin untuk mengkaji kembali hadis yang telah disalah gunakan oleh kelompok orientalis yang sengaja mengkaji hadis. Akan tetapi mereka mengkaji bukan untuk memajukan Islam melainkan menghancurkan Islam melalui jalur hadis yang dipercaya oleh kaum muslimin sebagai kitab rujukan kedua setelah al Qur’an.

Perjalanan pentadwinan terhadap hadis cukup lama dan mengalami pasang surut. Dalam prosesnya para ulama sangat hati-hati sekali dalam menyeleksi hadis, sehingga kecil kemungkinan terjadi ketidak shahihan dalam meriwayatkan sebuah hadis. Oleh karena itu sangat tidak masuk akal apabila hadis dikatakan sebagai hasil karya ulama abad I dan II H.

Keseriusan para ulama menghasilkan pemikiran baru dalam membantah teori-teori yang dikeluarkan oleh kaum orientalis, sehingga keoutentikan hadis akan tetap terjaga meskipun terdapat sekelompok atau banyak di kalangan muslim sengaja membelokkan fungsi dan makna hadis hal ini dengan permasalahan sederhana yaitu adanya kepentingan kelompok demi mempertahankan hujjah-hujjah yang mereka lontarkan.



Endnote

[1] DR. Mustafa al Siba’i. Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, Sebuah Pembelaan Kaum Sunni Penerjemah. DR. Nurcholis Madjid, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007)

[2] Drs. Fathurrahman. Ikhtisar Mustalahul hadis. (Bandung: PT. Alma’arif, 1974)

[3] Hendro Prasetyo, “Pembenaran Orientalisme Kemungkinan dan Batas-batasnya,” dalam ISLAMIKA Jurnal Dialog Pemikiran Islam (Bandung: Mizan, 1994), h. 101

[4] M.M. Azami, Hadith Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustofa Yaquf (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 3

[5] Prof. KH. Ali Mustafa Ya’qub. Kritik Hadis. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004)

[6] Muhammad ‘Ajjad al-Khatib, al-Sunnah Qabla al-Tadwin. (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 122.

[7] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahhuh (Beirut: Dar al-Fikr, 1989)

[8] Fatur Rahman, Ikhtisar Mushthalah al-Hadith, h. 50.



Daftar Pustaka


Al Siba’I, Mustafa. Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam. Terj. DR. Nurcholis Madjid, {Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007).

Fathurrahman. Ikhtisar Mustalahul hadis. (Bandung: PT. Alma’arif, 1974).

‘Ajjaj al-Khatib, Muhammad. Ushul al-Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahhuh (Beirut: Dar al-Fikr, 1989)

‘Ajjad al-Khatib, Muhammad. al-Sunnah Qabla al-Tadwin. (Beirut: Dar al-Fikr, 1989)

Prasetyo, Hendro. Pembenaran Orientalisme Kemungkinan dan Batas-batasnya dalam ISLAMIKA Jurnal Dialog Pemikiran Islam (Bandung: Mizan, 1994)

M.M. Azami, Hadith Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustofa Yaquf (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994)

Prof. KH. Ali Mustafa Ya’qub. Kritik Hadis. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004)




makalah ini telah dipresentasikan di Fakultas Ushuluddin smester III, Institut PTIQ Jakarta

Suksesi Pemerintahan Islam: Studi Naiknya Abu Bakar Menjadi Khalifah

oleh: Zakaria Anshori


Sistem Kemasyarakatan di Arab

Bangsa Arab menyebut negerinya dengan sebutan Jazirah Arab. Istilah ini muncul karena para pedagang Arab menganggap bahwa Arab merupakan daerah jalur perdagangan kawasan Timur Tengah[1]. Sebelum Islam datang, mereka telah mempunyai berbaga macam agama, adat istiadat, dan peraturan hidup.

Pada awalnya masyrakat Arab bukan masyarakat yang suka berkelahi apalagi berperang, tipe mereka adalah pedagang dan pelaut. Mereka selalu berkelana bertahun-tahun ke berbagai daerah, melakukan pelayaran ke berbagai Negara demi menawarkan barang dagangan yang mereka bawa[2].

Jazirah Arab merupakan daerah padang pasir, hal itu kemudian berpengaruh pada karakter masyarakat yang selalu berpindah-pindah mencari tempat yang lebih subur. Siapa yang cepat dan kuat dia dapat, itulah istilah yang tepat bagi mereka pada masa itu, sehingga tidak heran apabila mereka sering berumusuhan dan berperang demi mempertahankan tempat strategis untuk dijadikan tempat tinggal.

Bangsa arab terdiri dari bangsa Qahtan dan bangsa Adnan. Negeri asal bangsa Qahtan adalah terletak di selatan semenanjung Arab, termasuk dalam golongan ini adalah raja-raja negeri Yaman yang didalamnya terdapat negeri Saba’ dan Himyar. dari sinilah kemudian melahirkan suku-suku dan raja-raja, diantaranya suku Lakham yang menduduki Hijrah dan mendirikan sebuah kerajaan, juga lahir Raja Ghassan, selain itu juga lahir raja-raja Kindah, begitu juga kaum Azad yang melahirkan suku-suku Aus dan Khazraj.

Termasuk Adnan juga dikatakan sebagai bangsa Arab musta’rabah yaitu hasil dari campuran Arab dan non-arab, asal suku Adnan dari Arab utara dan negeri asalnya Makkah al Mukarramah. Darah baru yang mereka bawa adalah Ismail yang datang sama-sama ke Makkah pada masa kecil dan dibesarkan di suku Jurhum.

Sistem Pemerintahan Arab Pra Islam

Jauh sebelum Islam datang, wacana dan situasi politik bagi bangsa Arab sudah menjadi konsumsi sehari-hari, terutama setelah berdirinya berbagai kerajaan yang merupakan panutan bagi rakyatnya. Ada banyak kerajaan yang telah muncul sebelum Islam datang, diantaranya Kerajaan Saba’. Kerajaan ini berdiri sekitar pertengahan abad ke-10 S.M di semenanjung selatan Arab. Pada masanya Saba’ merupakan kerajaan yang teramat subur, terletak di bawah dua gunung besar yang kemudian mendirikan danau besar yang dikenal dengan danau Ma’arib. Ratu Saba yang terkenal adalah Ratu Balqis. Selain Saba juga terdapat kerajaan Himyar. Kerajaan ini mulai muncul sejak kerajaan Saba mulai lemah pada tahun 115 S.M [3]. Kedua kerajaan itu tidak luput dari incaran kerajaan besar Persia dan Romawi, sehingga banyak sekali serangan dan mengalami kehancuran.

Setelah Saba’ dan Himyar runtuh, perdagangan Arab serentak beralih ke Hijaz. Hijaz merupakan bagian Jazirah Arab yang tidak pernah di jajah oleh bangsa lain, termasuk Mekkah yang didalamnya terdapat Ka’bah yang disucikan bukan hanya oleh penduduk asli Mekkah melainkan orang Yahudi pun ikut melestarikan dan menjaganya, sehingga banyak pengunjung dari luar untuk menziarahi Ka’bah.

Sistem pemerintahan Hijaz pada masa ini dikuasai oleh suku Jurhum sebagai pemegang kekuasaan politik dan Ismail (keturunan Nabi Ibrahim), sebagai pemegang kekuasaan atas Ka’bah. Kekuasaan politik kemudian berpindah ke suku Khuza’ah dan akhirnya ke suku Quraisy di bawah kepemimpinan Qushai. Suku terakhir inilah yang kemudian memegang kekuasaan politik dan mengtur urusan Ka’bah[4].

Setelah Hijaz dijadikan sebagai jalur perdagangan Barat dan Timur, saat itu bangsa Arab mulai berhubungan dengan bangsa lain, dan saat pula mulai terjadi pembauran agama dan budaya. Meskipun agama Yahudi dan Kristen telah menyebar di Jazirah Arab, bangsa Arab kebanyakan masih menganut agama asli mereka, yaitu kepercayaan kepada banyak dewa yang diwujudkan dalam bentuk berhala, dan patung.

Dasar-dasar Pemerintahan yang Diwariskan Nabi


Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib adalah anggota Bani Hasyim, suatu Kabilah yang kurang berkuasa dalam suku Quraisy. Jabatan yang diberikan kepada suku Quraisy adalah siqayah, yaitu pengawas air Zamzam untuk digunakan oleh para peziarah. Tentu saja meskipun jabatannya kurang bergengsi tetapi Bani Hasyim merupakan keluarga yang terhormat walaupun keadaan ekonomi termasuk keluarga miskin.

Kelahiran Muhammad memberikan wajah baru bagi bangsa Arab dalam segala aspek, meskipun pada awal kerasulanya terdapat pro-kontra atas pengangkatan Muhammad sebagai nabi. Ada sahabat yang langsung mengimaninya tanpa basa basi seperti Abu Bakar, ada pula yang menginkari bahkan mendustakannya seperti Abu Lahab.

Sejak hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad selain sebagai pemimpin agama yang memiliki wewenang spiritual karena kedudukannya sebagai Rasul, juga sebagai kepala Negara yang memiliki kekuasaan sekuler (duniawi). Kepemimpinan Muhammad saw. diakui oleh seluruh masyarakat Madinah baik orang Muslim maupun orang yang non-muslim yang tinggal di sana. Tampaknya Nabi menyadari betul, berdasarkan pengalamannya ketika di Mekkah yang tidak memiliki wewenang duiawi, bahwa meskipun kepentingan yang sesunguhnya adalah terlaksananya nilai-nilai Agama yang dibawanya, tetapi kekuasaan politik meskipun bersifat subsider tapi untuk saat itu tak terelakkan.

Dalam perjalanan kepemimpinannya, Rasulullah saw sudah banyak memberikan contoh kepada ummatnya. Di antara contoh kepemimpinan nabi[5]:

1. Ketika di Madinah, Rasulullah saw diminta penduduk Madinah untuk mengamankan dua suku Madinah yang selalu konflik, yaitu suku Aus dan Khajraz. Rasulullah mendamaikan lewat institusi masjid dengan memperkenalkan ikatan berdasarkan agama (ukhuwah islamiyah), menggantikan ikatan konvensional yang saat itu lewat ikatan darah.

2. Rasulullah selalu mengedepankan etika dan moral. Prinsip cara harus seiring dengan tujuan dijunjung tinggi Nabi, dalam teori dan peraktek, perang merupakan jalan terakhir untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan humanisme (QS. Al Baqarah: 193) selain itu dalam perang Nabi menerapkan aturan main yang selalu dipatuhinya.
3. Masalah tawanan Perang Badar, Abu Bakar menyarankan agar para tawanan tersebut dimanfaatkan dengan dikembalikan kepada keluarganya dan diganti dengan tebusan uang. Sedangkan Umar bin Khattab mengusulkan agar di hukum mati. Melihat kondisi sahabat pada waktu itu kekurangan material, nabi mengembalikan kepada para sahabat keputusan apa yang akan diambil, dan para sahabat mengambil opsi yang pertama.

4. Tradisi Musyawarah yang selalu dikedepankan dalam memimpin.

Karakteristik Sahabat Abu Bakar dan Umar bin Khattab

Wafatnya Nabi tanggal 12 Rabiul Awal 11 H. setelah terbentuknya persatuan bangsa Arab (dimana seluruh Jazirah Arab secara politis di bawah kekuasaan Nabi), Nabi tidak meninggalkan pesan untuk penggantinya, ternyata menimbulkan persoalan besar. Orang-orang Anshar telah mendahului orang-orang Muhajirin untuk mengadakan pertemuan dan menentukan pengganti Nabi. Karena itu, menyebabkan kemarahan keluarga Nabi khususnya Fatimah puteri Nabi satu-satunya yang masih hidup.

Pertemuan tersebut dilaksanakan di Saqifah, atau Balai Pertemuan Bani Sa’idah. Tujuannya untuk mengangkat Saad bin Ubadah, seorang tokoh Anshor dari suku Khazraj, sebagai pengganti Nabi dalam bidang kenegaraan. Rencana tersebut terdengar oleh Umar bin Khattab, saat itu pula Umar dengan cepat menemui Abu Bakar, yang pada waktu itu Abu Bakar berada di rumah Nabi. Semula Abu Bakar menolak karena sibuk mempersiapkan proses Pemakaman Nabi. Tetapi setelah diberi tahu dan diyakinkannya bahwa terjadi peristiwa yang mengharuskan kehadiran Abu Bakar, akhirnya ia mau. Di tengah jalan menuju tempat pertemuan tersebu, mereka bertemu dengan Abu Ubaidah bin Jarrah, seorang sahabat senior dari Muhajirin untuk ikut hadir.

Sesampainya di sana ternyata sudah datang pula sejumlah orang Muhajirin, bahkan telah tejadi perdebatan sengit antara fraksi Anshar dan Muhajirin. Masing-masing mengemukakan keungulannya. Kaum Anshar mengemukakan andilnya yang paling menentukan dalam penyerbaran ajaran Islam. Sementara kaum Muhajirin pun membeladirinya bahwa mereka adalah kelompok pertama yang masuk Islam dan membela Nabi. Melihat suasana yang semakin sengit, Abu Bakar angkat bicara dengan tenang, katanya: Bukankah Nabi telah bersabda bawah kepemimpinan itu sebaiknya berada di tangan kamum Quraisy, dan dibawah kepemimpinannyalah akan terjamin keutuhan, keselamatan, dan kesejahteraan bangsa Arab. Abu Bakar juga mengingatkan apabila kepemimpinan di bawah Anshar, timbuk kekhwatiran akan terulang kembali konflik yang terjadi pada kaum Aus dan Khazraj, apabila salah satu di antaranya naik.

Habbab bin Munzir tidak menerima tawaran Abu Bakar bahkan mengancam dominasi kaum Muhajirin hingga menawarkan untuk berperang dengan kaum Anshar, Umar bin Khattab kemudian menjawabnya dengan perasaan panas pula. Situasi yang hampir menimbulkan pertumpahan darah itu berhasil diredakan oleh Abu Ubaidillah (tokoh Muhajirin) dan Basyri bin Sa’ad (tokoh Khazraj). Kaum Anshar nampaknya terkesan dengan sikap kedua tokoh ini.

Situasi aman ini tidak disia-siakan oleh Umar bin Khatab untuk membaiat dan sumpah setiah kepada Abu Bakar dan mengangkatnya sebagai khalifah (pengganti rasul). Gerakan Umar itu kemudian diikuti oleh Ubaidah bin Jarrah, dan kemudian diikuti oleh yang lainnya termasuk Asid bin Khudair seorang tokoh dari Aus. Pada hari berikutnya bai’at (sumpah setia) dilaksanakan di masjid oleh rakyat umumnya dan tokoh tokoh lain yang hadir pada pertemuan tersebut[6].

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa tidak semua tokoh muhajirin menyetujui baiatan Abu Bakar Siddiq, termasuk Ali bin Abi Thalib, dan Abbas bin Abdul Muthallib yang berasal dari keturunan bani Hasyim. Menanggapi kenyataan seperti itu, Abu Bakar meminta saran kepada Umar bin Khattab, Abu Ubaidah, dan Mugirah bin Syu’bah. Situasi itu berlarut panjang. Akhirnya ali dan pengikutnya dari baik dari kaum Muhajirin maupun Anshar satu per satu membaiat Abu Bakar sebagai khalifah, akan tetapi Ali mengatkan bahwa aku akan membaiat Abu Bakar setelah isterinya Fatimah Meninggal dunia. Kisah lain mengatakan baiat Ali kepada Abu Bakar setelah 40 hari kematian isterinya.

Kedua tokoh sahabat Abu Bakar dan Umar bin Khatab memiliki karakter yang sangat bertentangan, tapi semuanya saling melengkapi. Banyak kasus yang terjadi antar kedua tokoh tersebut, di antaranya:

1. Baik pada saat Isra Mi’raj maupun pada saat wafat Nabi, Abu Bakar tanpa basa basi langsung mempercayainya, sedangkan Umar bin Khattab mengacam akan membunuh orang yang membawa kabar kematian Nabi, Umar berpidato bahwa Rasulullah tidak wafat melainkan hanya pergi beberapa saat[7].

2. Abu Bakar mempunyai karakter yang lemah lembut, sedangkan Umar keras dan tegas. Sehingga ketika Abu Bakar mendapatkan ancaman umar selalu berada di baris yang paling depan[8].

3. Aisya mengatakan Abu Bakar adalah orang yang paling mudah terharu, kalau menggantikan Rasulullah ia takkan terdengar karena tangisannya.

Kesimpulan

Setelah runtuhnya kerajaan Saba dan Himya di Jazirah Arab, Hijaz dijadikan sebagai jalur perdagangan Barat dan Timur, saat itu bangsa Arab mulai berhubungan dengan bangsa lain, dan saat pula mulai terjadi percampuran agama dan budaya. Meskipun agama Yahudi dan Kristen telah menyebar di Jazirah Arab, bangsa Arab kebanyakan masih menganut agama asli mereka, yaitu kepercayaan kepada banyak dewa yang diwujudkan dalam bentuk berhala, dan patung.

Salah satu indikasi pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Rasulullah adalah ketika Rasulullah sakit dan Abu Bakar diperintah untuk menggantikan imam shalat Subuh, di samping masih banyak kriteria lain seperti kedekatan beliau pada Rasulullah dan termasuk orang yang pertama masuk Islam dari golongan laki-laki.


Endnote

[1] Prof. Dr. Ahmad Syalabi. Sejarah dan Kebudayaan Islam. (Singapura: Pustaka Nasional PTE, 1970) hal. 47

[2] Phillip K. Hitti, Dunia Arab.(Bandung: Sumur Bandung) cet. 7 hal. 26

[3] Prof. Dr. Ahmad Syalabi. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Hal.59

[4] Dr. Badri Yatim, M.A. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Rajawali Pers.1999) cet. 9 hal. 14

[5] Sukron Kamil. Islam dan Demokrasi “TelaahKonseptual dan Historis” (Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002) hal. 87

[6] Dr. Husain Muhammad Haikal. Khalifah Rasulullah Abu Bakar As Siddiq (Solo: Pustaka Montik, 1994) hal. 56

[7] Thaha Husain. Dua Tokoh Terutama (As Saikhon). Terj. Ali Audah (Singapura: Pustaka Nasional. 1983)

[8] Dr. Abbas Mahmud Aqqad, Keagungan Umar bin Khattab (Solo: Pustaka Mantiq. 1992)


Daftar Pustaka

Husain Thaha. Dua Tokoh Terutama (As Saikhon). Terj. Ali Audah (Singapura: Pustaka Nasional. 1983)

Aqqad, Abbas Mahmud. Keagungan Umar bin Khattab (Solo: Pustaka Mantiq. 1992)

Haikal, Husain Muhammad. Khalifah Rasulullah Abu Bakar As Siddiq (Solo: Pustaka Montik, 1994)

Kamil, Syukron. Islam dan Demokrasi “TelaahKonseptual dan Historis” (Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002)

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Rajawali Pers.1999) cet. 9

Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam. (Singapura: Pustaka Nasional PTE, 1970)

Phillip K. Hitti, Dunia Arab.(Bandung: Sumur Bandung) cet. 7


makalah ini telah dipresentasikan di Fakultas Ushuluddin smester III, Institut PTIQ Jakarta

12/05/2009

Agama adalah Nasihat (Arbain an-Nawawi: 7)

Pendahuluan

Cukuplah seseorang dikatakan mulia bila ia melakukan apa yang telah dilakukan oleh makhluk yang paling mulia yaitu para nabi dan rosul (dalam hal menyebarkan nasihat) apalagi bila diketahui bahwa nasihat adalah amalan yang paling mulia, seperti pernyataan Imam Abdullah ibnul Mubarak saat ditanya amalan apakah yang paling afdhol, beliau menjawab, “Nasehat karena Allah.” Dalam Shahih Bukhori dan Muslim dari sahabat Abu Ruqoyah Tamim bin Aus Ad Daary, Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama itu nasehat.” Kami bertanya, “Untuk siapa wahai Rosulullah?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, kitabNya, dan rosulNya, dan bagi para pemimpin Islam, dan bagi muslimin umumnya.” Hadits ini mempunyai kedudukan yang agung dimana memberikan nash bahwa tiang agama dan pondasinya adalah nasehat. Dengan keberadaannya maka agama pun akan tetap tegak di tengah-tengah kaum muslimin, sebaliknya dengan lenyapnya nasehat maka akan terjadilah kepincangan di tengah-tengah mereka dalam seluruh aspek kehidupannya.

Di dalam makalah ini akan di bahas hadis ke tujuh dalam kitab arbain an nawawi, cakupan dalam hadis tersebut adalah nasihat. Garis besar dalam pembahasan ini adalah pengertian nasihat, kewajiban melaksanakan nasihat, dan juga sedikit disingung tentang sanadnya.

Kami ucapkan terimakasih kepada dosen pembiming bapak KH. Syarif Rahmat SQ, MA, sahabat-sahabat yang telah membantu, dan tidak lupa kami harapkan saran dan kritinya yang membangun. Semoga kita termasuk orang-orang yang terus berfikir.

Pembahasan Hadis ke 7

عَنْ أَبِي رُقَيَّةَ تَمِيْم الدَّارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ . قُلْنَا لِمَنْ ؟ قَالَ : لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ .رواه البخاري ومسلم

Dari Abu Ruqoyah Tamim Ad Daari radhiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah bersabda : Agama adalah nasehat, kami berkata : Kepada siapa ? beliau bersabda :Kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya dan kepada pemimpan kaum muslimin dan rakyatnya (Riwayat Bukhori dan Muslim)[1].

Jalur periwayat hadis tersebut banyak sekali, di antaranya dalah melalui at-Tirmidzi dengan penulisan matan yang berbeda, dan melalui Imam Muslim dari riwayat Sahil bin Abi Shalih, dari Atha bin Yazid, dari Tamim ad-Dari, dan telah diriwayatkan dari Suhail dan yang lainnya dari Abi Shalih dari Abu Hurairah dan berakhir di Rasulullah saw. Hadis tersebut terbilang shahih karena tidak ada syadz di dalamnya.

Hadis tersebut juga tercatat dalam beberapa kitab, Imam al Bukhari dalam kitab Shahihnya (bab 33 hadis 95), Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya (nomor hadis 1926), Imam an-Nasa’i (bab 7 hadis ke 157), Imam Ahmad dalam Musnadnya (bab 2 hadis ke 297), Imam ad-Daramy dalam Sunannya (bab 2 hadis ke 311), Imam Syafi’i dalam Musnadnya (233), Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul baari dengan syarah Shahih Imam al Bukhari (bab 1 hadis ke 137) dan yang lainnya[2].

Pengertian Nasihat


Menurut al Khattabi nasihat adalah kata yang ringkas tapi padat, yang maknanya memberikan bagian kepada orang yang dinasihatinya [3]. Raghib al Ashfahani mengungkapkan asal kata nasihat terambil dari kata nashaha,[4] terdapat beberapa pengertian pada lafadz tersebut, diataranya adalah [5] :

1. Nasihat berupa pekerjaan, atau ucapan untuk kebaikan sahabatnya

Maka Shaleh meninggalkan mereka seraya berkata: "Hai kaumku Sesungguhnya Aku Telah menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, dan Aku Telah memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasehat". (QS. al-Araf: 79)

Dan dia (syaitan) bersumpah kepada keduanya. "Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua". (QS. Al-A’raf:21)


2. Nasihat yang berupa Amanah

Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan Aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu". (QS. Al-A’raf: 68)

3. Nasihat yang bermakna murni, bersih, suci


Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya)... (QS. At Tahrim: 8)

4. Nasihat yang bermakna ikhlas,

Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, (QS. At-Taubah: 91).


Penjelasan Hadis ke 7

Nasihat ialah melakukan sejumlah kebaikan menjadi keberuntungan pihak yang dinasihati. Ibnu Hajar mengatakan hadis nasihat ini termasuk hadis-hadis yang disebut seperempat agama, dan diatara imam yang memberikan penilaian tentang hadis ini ialah Imam Muhammad bin Aslam ath-Thusi. Dalam riwayat Abi Daud Rasulullah saw. mengulangi kata addin an nasihat sebanyak tiga kali dan diawali lafadz Inna, dengan redaksi hadis sebagai berikut:

وفي رواية أبي داود قال : قال رسولُ الله -صلى الله عليه وسلم- : «إِنَّ الدين النصيحة ، إِن الدين النصيحة ، إن الدين النصيحة. قالوا : لِمَنْ يا رسول الله ؟ قال : لله عز وجل، ولكتابه، ولرسوله ، وأئمة المؤمنين وعامَّتهم ، وأئمة المسلمين وعامَّتهم


Rasulullah saw. mengulang-ulang kalimat ini karena memperhtikan kedudukannya, dan menunjukkan kepada umat agar tahu dengan sebenarnya bahwa agama seluruhnya baik dzahir maupun batin terangkum dalam nasihat. Yaitu melakukan dengan sempurna akan lima hak yang terkandung dalam hadis tersebut. [6]

1. Nasihat Bagi Allah

Nasihat bagi Allah maknanya beriman kepadaNya dengan benar dan beriman kepada seluruh apa yang terdapat dalam Kitab dan Sunnah dari nama-namaNya yang husna dan sifat-sifatNya yang tinggi dengan keimanan yang benar tanpa menyerupakanNya dengan yang lain, tanpa meniadakan dan tanpa merubah-rubah maknanya. MengesakanNya dalam hal ibadah dan meniadakan kesyirikan, melaksanakan perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya, mencintai apa yang dicintaiNya dan membenci apa yang dibenciNya. Memberikan loyalitas kepada hamba-hambaNya yang beriman dan berlepas diri dari musuh-musuhNya serta melawan orang-orang yang kafir terhadapNya. Menerima dan mengakui segala nikmat-nikmatNya dan mensyukurinya serta mengikhlaskan untukNya dalam segala perkara.

2. Nasihat Bagi Kitab Allah

Nasehat bagi kitabNya adalah beriman bahwa ia sebagai kalamullah yang diturunkan dariNya dan bukan makhluk, tidak akan dapat didatangi oleh kebatilan dari arah manapun, depannya maupun belakangnya. Meskipun seluruh jin dan manusia bersekutu untuk mendatangkan yang semisalnya niscaya tidak akan dapat menyerupainya. Allah berfirman, “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur`an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur`an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuatnya, peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang yang kafir.” (QS Al Baqoroh: 23-24). “Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan Al Qur`an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (QS Al Israa`: 88).

Berkata Imam At Thohawi rohimahullah, “Sesungguhnya Al Qur`an adalah kalam Allah, barangsiapa yang mendengarnya lalu mengiranya sebagai kalam (perkataan) manusia, maka ia telah kufur dan sungguh Allah telah mencelanya dan mengancamnya dengan neraka Saqar. Allah berfirman, “Aku akan memasukkannya ke dalam (neraka) Saqar.” (QS Al Mudatstsir: 26). Ketika Allah mengancam dengan neraka Saqar bagi orang yang mengatakan, “Ini tidak lain hanyalah perkataan manusia.” (QS Al Mudatstsir: 25), maka kita ketahui dan yakini bahwa Al Qur`an adalah kalam pencipta manusia, tidak serupa dengan perkataan manusia.” Termasuk nasehat bagi kitabNya adalah membacanya dengan benar dan khusyu’ serta mengajarkannya. Allah berfirman, “Dan bacalah Al Qur`an itu dengan perlahan-lahan.” (QS Al Muzzammil: 4). Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al Qur`an dan mengajarkannya.” (HR Bukhori).

3. Nasihat Bagi Rasul

Nasehat bagi RosulNya adalah membenarkan risalahnya, beriman kepada seluruh apa yang dibawanya, mentaati perintah-perintahnya dan larangan-larangannya, membelanya pada saat hidupnya dan setelah meninggalnya, membenci orang-orang yang membencinya dan mencintai orang-orang yang mencintainya, mengagungkan haknya dan memuliakannya, menghidupkan jalannya dan sunnah-sunnahnya, mengumandangkan dakwahnya dan menyebarkannya, menepis segala tuduhan-tuduhan yang ditujukan kepadanya, berkhidmat terhadap ilmunya dan memahami makna-maknanya, menyeru kepadanya dan mengagungkannya, menahan diri dari membicarakannya tanpa ilmu, berakhlak dengan akhlaknya yang mulia dan beradab dengan adabnya, mencintai ahli baitnya dan para sahabat-sahabatnya, menjauhi orang-orang yang mengadakan hal yang baru dalam sunnah-sunnahnya atau mencela sebagian dari kalangan sahabatnya. Berkata Imam Al Qurthubi, “Nasehat bagi rosulNya adalah membenarkan nubuwahnya, komitmen dalam ketaatannya, melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya, mencintai orang yang mencintainya dan membenci orang yang membencinya, menghormatinya, mencintainya dan mencintai ahli baitnya, mengagungkannya dan mengagungkan sunnah-sunnahnya, menghidupkan sunnahnya setelah meninggalnya dengan mencarinya dan mempelajarinya, membelanya dan menyebarkannya, serta berakhlak dengan akhlak yang mulia.”

4. Nasihat bagi Para Pemimpin (Islam)

Pemerintah atau pemimpin merupakan pemegang peran utama dalam menentukan maju tidaknya suatu umat atau bangsa. Nasihat bagi pemerintah ini bukan berarti mengimani secara utuh seperti kita beriman kepada Allah dan Rasulnya, akan terapi memberikan masukan yang dapat membangun kemajuan suatu bangsa. Di Indonesia sendiri sebagai negara penganut demokrasi telah mengalami kemajuan dalam mengkritisi terhadap sistem yang diterapkan pemerintah, setelah sekian lama dikuasai oleh sistem kepemimpinan otoriter yang serba tertutup.

Akan tetapi kita juga jangan menapikan kerja keras pemimpin dalam hal ini pemerintah yang terus berusaha memberikan yang terbaik terhadap rakyatnya. Dan di antara termasuk dalam nasihat dalam hal ini adalah menaati mereka dalam kebenaran, memberi tahu atau mengingatinya akan hak-hak warga negara, dan tidak melakukan pemberontakan terhadap pemeritahan yang jujur dan adil. Rasulullah bersabda:[7]

عن جبير بن مطعم رضي الله عنه انّ النبي ص.م. قال فى خطبته بالخبف مِن مِنّى. "ثلاث لا يغل عليهنّ قلب امرئ مسلم: إخلاص العمل لله, ومناصحة ولاة الأمر, ولزوم جماعة المسلمين"

5. Nasihat Bagi Umat Muslim Secara Umum

Berkata Imam Nawawi rohimahullah, “(Nasihat bagi muslimin) yaitu dengan mengarahkan mereka kepada apa yang membuatnya maslahat baik untuk akhiratnya ataupun untuk dunianya serta menahan diri dari menyakiti mereka, mengajari apa yang mereka tidak ketahui dari perkara agamanya, membantu mereka dengan ucapan ataupun perbuatan, memerintah mereka kepada yang ma’ruf dan mencegah mereka dari yang mungkar dengan lemah lembut dan penuh keikhlasan, menyembunyikan aibnya dan menutupi kelemahannya, menolak kemudharatan dari mereka dan mendatangkan kemaslahatan untuk mereka, menghormati yang besarnya dan menyayangi yang kecilnya, memberikan pengajaran yang baik dan meninggalkan dari berbuat curang dan dengki kepada mereka, mencintai kebaikan untuk mereka dan membenci kejelekan pada mereka serta membela harta-hartanya dan kehormatannya, mendorong mereka untuk berakhlak dengan apa yang telah disebutkan dari nasehat dan menumbuhkan kesemangatannya agar senantiasa taat.”
Rasulullah bersabda:[8]

عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "حق المؤمن على المؤمن ست" . قيل: وما هن يا رسول الله؟ قال: " إذا لقيته فسلم عليه، وإذا دعاك فأجبه، وإذا استنصحك فانصح له وإذا عطس فحمد الله فشمته، وإذا مرض فعده، وإذا مات فاتبعه"

Dalam hadis lain disebutkan:[9]

عن حكيم ابن يزيد عن ابيه عن النبي ص.م. قال:"اذا استصح احدكم اخاه فلينصح له. "


Kesimpulan

Demikianlah memang nasehat merupakan bagian penting dalam agama dan kehidupan kita, bahkan nasehat adalah salah satu di antara kelebihan-kelebihan yang membedakan kita dengan umat-umat lainnya dimana Allah telah lebihkan kita menjadi umat pilihannya. Allah berfirman, “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rosulnya (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS Al Baqoroh: 143).
Dari pemaparan makalah di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Agama dirangkum dalam nasihat, berdasarkan hadis addinu an nasihat
2. Hadis yang menjelaskan tentang nasihat ini termasuk ke dalam seperempat agama.
3. Rasulullah menafsirkan nasihat dengan lima perkara ini yang mencakup: melaksanakn hak-hak Allah, hak-hak Kitabnya, hak-hak Rasulnya, hak-hak terhadap para pemimpin, dan hak-hak semua kaum muslimin dengan berbagai ihwal dan tingkatan mereka.


Wallahu a’lam bish-shawab.

End Noot

1. Imam an Nawawi, hadis arbain nawawi.
2. Ibn Rajab al-Hanbali, Jami’ Ulum wal Hikam. (Daar el Fikri: Bairut. 2002) hal 86
3. Sayyi bin Ibrahim al Huwaiti. Syarh Arbain an-Nawawi. (Daarul Haq: Jakarta, 2006) hal. 98
4. Raghib al-Ashfahani. Mufradat fi Gharibil Qur’an. (Daar el Miftah: Libanon) hal 494
5. Raghib al-Ashfahani. Mu’jam Mufahras Lima’anil Qur’an. (Daar el Fikri: Syuriah, 1416) Jilid 2, hal. 1222
6. Mujiddin Abu Saadah al-Mubarak. Jamiil Ushul fi Ahadisi Rasul. Maktabah Daar al Bayan, Juz 1 hal. 557
7. Ibn Rajab al-Hanbali, Jami’ Ulum wal Hikam. (Daar el Fikri: Bairut. 2002) hal 87
8. Dirwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya, dalam kitabu as-salam, bab Hak Muslim Terhadap Muslim Menjawab Salam.
9. Disebutkan al-Bukhari secara muallaq dalam shahihnya dengan lafadz yang tegas. Al Fath, 4/371, dan disebutkan secara bersambung oleh Ahmad, 4/259.

Daftar Pustaka

An-Nawawi, Abu Zakaria. Hadis Arbain An Nawawi.

al Huwaiti, Sayyid bin Ibrahim. Syarh Arbain an-Nawawi. (Daarul Haq: Jakarta, 2006)

al-Hanbali, Ibnu Rajab. Jami’ Ulum wal Hikam. (Daar el Fikri: Bairut. 2002)

Abulhusain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy an-Naisabury. Shahih Muslim.
(Daarul Afaq al-Jadidah: Bairut)

Abu Abdillah Al Bukhari. Al Jami’ as-Shahi al-Mukhatashar. (Daar ibn Katsir: Bairut. 1987)

al-Ashfahani, Raghib. Mufradat fi Gharibil Qur’an. (Daar el Miftah: Libanon)

al-Ashfahani, Raghib. Mu’jam Mufahras Lima’anil Qur’an. (Daar el Fikri: Syuriah, 1416) Jilid 2

Abu Saadah al-Mubarak, Mujiddin. Jamiil Ushul fi Ahadisi Rasul. Maktabah Daar al Bayan, Juz 1



Makalah ini dipresentasikan di Fakultas Ushuluddin III Institut PTIQ Jakarta