8/06/2009

Wanita dalam Jihad

Tragedi bom bunuh diri di Hotel Ritz Carlton dan JW Marriot pada Jum’at lalu sungguh menggencarkan banyak kalangan. Kaum politisi, pihak keamanan, bahkan sampai pemuka agama dan masyarakat luas pada umumnya. Berbagai media cetak ataupun elektronik baik dalam dan luar negeri tiap saat terus menyoroti perkembangan di dua hotel mewah tersebut, tak ubahnya seperti kiamat sugra yang melanda kaum papa sehingga menimbulkan banyak kerugian terutama dalam sektor ekonomi.

Sempat muncul spekulasi salah satu pelaku bom bunuh diri tersebut adalah seorang wanita yang masih berusia muda. hal ini tidak menutup kemungkinan dengan banyaknya kasus yang terjadi di berbagai negara yang rentan terjadi konflik. Pada 27 Januari 2002, Wafa Idris, perempuan usia 28 tahun, meledakkan diri di sebuah restoran di Yerusalem. Akibat kejadian itu, dua orang tewas dan lebih dari 40 orang lainnya cedera. Wafa adalah perempuan pertama pelaku bom bunuh diri di Palestina. Dia bukanlah perempuan tak berpendidikan. Dia adalah seorang janda yang berprofesi sebagai paramedis. Juga Darin Abu Aisyah, 21 tahun, juga menjadikan dirinya martir melawan tentara Israel. Mahasiswi Universitas Nablus, Tepi Barat, itu meledakkan diri di pos pemeriksaan di Tepi Barat. Lima orang cedera akibat peristiwa tersebut. Selain itu masih banyak deretan cerita yang melibatkan perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri.

Siapapun pelakukunaya, hampir semua orang sepakat, apa yang telah dilakukannya dengan meghilangkan nyawa orang lain dan menimbulkan kerusakan adalah kejahatan, tidak ada justifikasi ataupun pembenaran terhadap segala tindakan yang melanggar hukum tersebut, sekalipun dengan alasan jihad dan menegakkan kebenaran. Islam hadir kemuka bumi adalah sebagai rahmatan lil’alamin (rahmat bagi seluruh alam), kehadirannya sesungguhnya membawa keselamatan, kedamaian, ketenangan, petunjuk dan pemberi jalan yang lurus bagi seluruh umat manusia. Rahmat Islam seyogyanya dirasakan oleh semua makhluk, tidak hanya manusia, bahkan hewan dantumbukan sekalipun harus menjadi bagian yang mendapatkan rahmat karena kedatangan islam. Karenanya perilaku yang dapat merugian orang bayak apalagi sampai merenggut nyawa yang tidak berdosa itu sudah bertolak belakang dengan arti jihad itu sendiri bahkan syarat jihadnya pun tidak terpenuhi.

Banyak wanita yang berguguran di medan perang yang ikut perang bersama Rasulullah SAW. Tapi itu substansinya jelas membela agama dan memperjuangkan tauhid kepada Allah, dan dijalankan berdasarkan etika-etika yang telah di tetapkan dalam al Quran dan al Hadis. Hukum jihad bagi wanita hanya sampai pada batasan mubah/sunnah. Meskipun demikian, tak dapat dinafikan peran mereka yang sedemikian besar di dalam jihad dan persiapannya sebagaimana diceritakan dalam sejarah. Ada Ummu Sulaim yang memegang ‘khanjar’ (pedang pendek) dalam perang Hunain, Ummu Amarah yang turut berperang dalam perang Uhud, Nusaibah binti Ka’ab yang kehilangan tangannya dalam perang yamamah, juga para wanita yang turut bertempur dalam perang Yarmuk karena serangan tentara Romawi mencapai barisan belakang tentara Islam.

Sebagaimana pula dalam riwayat Bukhari dan Sunan Nasa’I, dari Aisyah radliyallahu ‘anha bahwasanya ia berkata, “Aku bertanya, ya Rasululloh, tidak bolehkah kami keluar untuk berjihad bersamamu? Karena sesungguhnya aku tidak melihat dalam Al Qur’an satu amalan yang lebih utama daripada jihad.” Rasululloh menjawab, “Tidak, akan tetapi sebaik-baik jihad bagi kalian dan sebagus-bagusnya adalah haji mabrur ke Baitulloh.” Dalam riwayat Ahmad dan Bukhori, Rosululloh shalallahu 'alaihi wasallam berkata, “Tidak, jihad kalian adalah haji mabrur, dan itu jihad bagi kalian.

Keterlibatan kaum wanita dalam berjihad memang diperintahkan oleh syariat, sebagaimana tersirat dalam beberapa hadis tentang jihad. Akan tetapi syariat juga mengatur peran serta mereka, sehingga persyaratan-persyaratan syar’i yang yang menjaga kaum wanita tetap terpenuhi.

Kembali pada pengertian jihad, pemaknaan jihad selama ini sebagai holy war (perang suci) semata, bagaimanapun merupakan sebuah reduksi terhadap arti kata tersebut, bahkan bisa menyesatkan. Kata jihad alam al Quran terdapat kurang lebih 41 ayat yang tersebar dengan memperlihatkan makna tunggal. Terambil dari kata juhd atau jahd arti laterilnya adalah kesungguhan, kemampuan maksimal, kepayahan dan usaha yang melelahkan. Dari kata ini kemudian terbentuk beberapa kata yang mempunyai makna yang berbeda. Ada Ijtihad mempunyai makna yang lebih mengarah pada upaya dan aktifitas intelektual yang serius dan melelahkan. Dalam terminologi sufisme juga dikenal dengan sebutan Mujahadah adalah sebuah usaha spiritual yang intens bahkan bisa mencapai tingkat ekstense. Sedangkan orang-orang yang berjuang dijalan Allah dengan sungguh-sungguh disebut Mujahidin.

Dalam terminologi islam jihad diartikan sebagai perjuangan dengan mengarahkan seluruh potensi dan kemampuan untuk sebuah tujuan-tujuan kemanusiaan, yang mengarah pada kebenaran, kebaikan, kemuliaan, dan kedamaian. Pada sejumlah ayat, jihad mengandung makna yang sangat luas dan beragam. Dalam surat Luqman ayat 15, yang artinya “dan jika keduanya berjihad terhadapmu agar mempersekutukan aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentangnya, maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergaulilah mereka di dunia dengan ma’ruf (kebaikan sesuai tradis)”. Dari ayat tersebut terdapat kata jihad dengan arti bukan perang dengan kekuatan senjata. Hal ini juga dapat terlihat dalam surat Al Ankabut ayat 8.
Jihad dalam pengertian dengan sungguh-sungguh pernah disampaikan oleh Nabi saw kepada para sahabatnya. Ketika mereka berangkat perang, mereka melihat seorang pemuda yang kekar sedang bekerja di sawah. Melihat kekekaran tubuhnya. Para sahabat berharap agar dia ikut berperang bersama mereka. Nabi terusik sambil berkata: “Orang-orang yang bekerja untuk menghidupi keluarganya juga sama denga jihad fi sabilillah”. Jihad dengan arti yang sama juga berlaku bagi ibu-ibu yang bekerja untuk menghidupi, mengurus keluarganya dan bekerja sama saling menghargai antara dia dan suaminya. Nabi mengatakan: “Sampaikan kepadamu kaum perempuan yang kamu jumpai, bahwa ketaatannya pada suami dan pengakuan atas hak-haknya adalah sama dengan jihad”.

Uraian singkat di atas menunjukkan bahwa jihad dalam al Quran mengandung makna perjuangan moral, spiritual, intelektual dan kerja keras untuk sebuah tanggung jawab kehidupan publik maupun domestik. Pada masa awal perjalanan islam pemaknaan seperti ini masih sangat populer. Kebesaran, kemenangan, dan kemajuan luar biasa yang pernah dicapai islam justeru lahir dari semangat jihad dengan makna-makna terakhir ini. Para pemikir muslim post tradisional juga memperkenalkan kembali makna jihad ini melalui karya-karyanya yang luar biasa.


Zakaria Anshori
Mahasiswa Fak. Ushuluddin III
Diolah dari berbagai sumber