4/10/2009

AGAMA DAN INDIVIDU

PENDAHULUAN

Al Hamdulillah kami ucapkan sebagai tanda rasa syukur kehadirat Allah yang telah mengkaruniakan nikmat kepada hambanya dengan tidak memilah-milah, mengkaruniakan agama sebagai alat menyatukan ummat dalam satu kesatuan yang berbeda.

Salawat dan salam kami panjatkan kepada Rosulullah Saw. Yang telah membawa risalah kepada ummatnya, sebagai conto tauladan dan panutan ummat. Kegigihan beliau dalam menyebarkan cahaya ilahi guna mempersatukan ummat dengan akhlak mulia sebagai sebuah pembentukkan nilai dan moral dan mengajak manusia ke jalan tauhid yang diridloi oleh tuhannya.

Agama merupakan sebagai alat pemersatu manusia, hal ini ditunjukkan dengan munculnya berbagai organisasi organisasi atas dasar agama, dan itu semua mempunyai visi dan misi yang sesuai dengan agamanya tersebut. Selain sebagai bentuk pemersatu juga bisa dijadikan sebagai bentuk kehancuran suatu agama tertentu yang didasarkan pada perbedaan-perbedaan yang muncul akibat adanya pemikiran berbeda baik internal maupun eksternal.

Manusia menjadikan agama sebagai harapan terakhir atau jalan akhir dari semua harapan yang mampu menjawab seluruh persoalan yang muncul dan tidak dapat dijawab oleh siapapun. Harapan-harapan itu mereka tumpahkan kepada agama yang dipercaya bisa memecahkan masalah yang menimbulkan kegelisahan dan ketakutan sehingga mereka merasa yakin terhadap jawaban yang dikeluarkan.

PEMBAHASAN
AGAMA DAN INDIVIDU


Agama sebagai Harapan

Karl Mark adalah seorang filosofis yang tidak begitu banyak menyinggung agama. Tetapi Mark pernah mengatakan dalam sebuah buku yang merupakan kumpulan tulisannya Mark Tentang Agama, mengatakan bahwa "agama adalah candu dari masyarakat" (It [Religion] is the opium of the people), ia melihat dari perspektif sosio-historiografis masyarakat yang menjadikan agama sebagai praktik pembenaran sepihak tanpa implementasi lebih lanjut dalam praktik kehidupan.

Mark berpendapat bahwa agama adalah hasil dari produksi manusia, Tuhan tidak lain dari refleksi kekuatan misterius di dalam alam yang mengontrol kehidupan. Kekafiran materialsme versi Mark lebih menitik beraktkan refleksi kekuatan misterius itu pada kekuatan ragam produksi kelas borjuis. Sistem ekonomi kelas borjuis tidak mampu mengatasi krisis pada umumnya, seperti tidak dapat melindungi kelas atas yaitu individu-individu pemodal dari kerugian dan kebangkrutan, juga tidak dapat menghilangkan pengangguran dari kelas bawah.

Umumnya sangatlah jarang perencanaan sesuai dengan hasil yang diharapkan. Ada kekuatan misterius yang menghalangi manusia, sehingga manusia tidak dapat mencapai hasil yang diinginkannya. Lalu timbullah kepercayaan bahwa manusia berencana Tuhan yang menentukan. Maka demikianlah, Tuhan menurut pandangan marxisme tidak lain dari refleksi kekuatan misterius di belakang sistem sosial-ekonomi kelas borjuis, yaitu kekuatan ragam produksi.

Pandangan marxisme terhadap agama berdasar atas data historis Eropa menjelang akhir Abad Pertengahan. Ia melihat di Eropa bagaimana kaum bangsawan dan pendeta sebagai kelas atas bekerja sama membius kelas bawah supaya sabar menderita menerima nasibnya dengan iming-iming kebahagiaan di akhirat. Demikianlah agama diperalat, yaitu dijadikan obat bius oleh kelas atas untuk mengisap kelas bawah. Itulah sebabnya Marx memberikan karakteristik agama sebagai candu bagi rakyat.

Selain Mark yang memberikan penafsiran terhadap agama dengan pendapatnya yang ektrim, Durkheim juga mengeluarkan afoismenya yang sama tentang agama dengan nada yang tidak terlalu ekstrim. Dalam pandangannya, kepercayaan terhadap agama yang mendukung masyarakat berkelas pada dasarnya merupakan bukti penyerahan ketika menghadapi penindasan. Pada saat peyerahan mulai berubah menjadi kesadaran dan perjuangan menentang para penindas hal ini bisa mengambil bentuk bukan merupakan penolakan terhadap semua agama, melainkan pembentukkan agama baru dimana nilai-nilai agama yang lama diputarbalikkan.

Gambaran yang diberikan Durkheim terhadap fungsi agama dalam masyarakat, bahwa sarana-sarana keagamaan adalah lambang masyarakat, kesakralan bersumber pada kekuatan yang dinyatakan berlaku oleh masyarakat secara keseluruhan bagi setiap anggotanya, dan fungisnya adalah mempertahankan dan memperkuat rasa solidaritas dan kewajiban social.

Pendapat Durkheim diperkuat oleh Engels dengan menunjuk kelompok proletarian di perkotaan krajaan romawi mengikuti agama Kristen yang baru sebagai agama yang bercorak protes terhadap para pemilik budak dan kelompok politik mereka yaitu kaisar dan para pemerintahnya .

Data historis yang diambil oleh kaum Markxisme hanya Eropa pada abad-abad menjelang akhir periode Abad Pertengahan. Data historis ini sangatlah tidak lengkap untuk membuat generalisasi. Inilah kecerobohan emosional dari Karl Marx. Bahwa karena di Eropa pada penghujung Abad Pertengahan penguasa yang terdiri atas kaum bangsawan yang berkerja sama dengan pendeta memperalat agama untuk menghisap rakyat jelata, lalu semua pada bagian dunia yang lain dari dahulu hingga yang akan datang berlaku karakteristik agama itu candu bagi rakyat. Karl Marx tidak melihat pada revolusi para petani dalam abad ke-14 (di Perancis tahun 1351 M, di Inggris pada tahun 1381 M.), dengan semangat keagamaan menyerang tirani pemerintahan raja dan kaum bangsawan, serta gerakan keagamaan puritan di Inggris dalam abad ke-17, menunjukkan bahwa agama itu bukanlah candu bagi rakyat.

Sikap sentimen keagamaan mereka yang menyebabkan ia tidak mengkaji bagaimana para Nabi pembawa agama-agama wahyu menentang tirani, yaitu Nabi Musa AS, Nabi 'Isa AS dan Nabi Muhammad SAW. Bagaimana Nabi Muhammad SAW bersama ummatnya menumbangkan sistem sosial-ekonomi Arab jahiliyah yang diskriminatif, kemudian mendirikan Negara Islam Madinah di atas landasan kesamaan sosial dan keadilan ekonomi.

Perlunya agama bagi manusia tampaknya agama-agama itu harusi dianggap sebagai perkumpulan berbagai kesetiaan kelompok yang diekspresikan sebagai simbolik dan sebagai jawaban terhadap masalah-masalah etnik metafisik yang dikemukakan oleh tiap-tiap individu dan merupakan jawaban yang meyakinkan. Tentu saja bahwa keyakinan keagamaan bisa meredam berbagai sikap permusuhan yang muncul dalam kelompok orang seagama meskipun hal ini juga bisa terjadi disetiap jenis kesetiaan kelompok pada segala jenis kelompok.

Dalam kehidupan masyarakat masa sekarang ini atau sering kita sebut juga sebagai masyarakat modern, yang didukung oleh dinamika teknologi yang semakin berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan, sebagian besar penyesuaian-penyesuaian terhadap alam fisik, tapi yang penting ialah penyesuaian dalam hubungan kemanusiaan mereka sendiri. Pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap masyarakat juga mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting bagi agama. Pengaruh inilah yang merupakan salah satu sebab mengapa aggota masyarakat tersebut semakin lama semakin terbiasa menggunakan metode empirik berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam menanggapi berbagai masalah kemanusiaan.

Akibatnya kehidupan yang dianggap sakral sering dikesampingkan akibat semakin meluasnya kehidupan sekuler, dan masayarakat pada umumnya sudah mulai menghilangkan atau melupakan kehidupan sakral tersebut. Oleh karena itu para pemimpin agama mencoba memasukkan kehidupan agama ke dalam urursan duniawi meskipun harus bersaing dengan beberapa organisasi-organisasi yang bersifat sekuler. Kehidupan ini yang membedakan dengan masyarakat tradisional, dimana aktifitas sakral lebih banyak dan lebih diutamakan.

Selain itu, agama juga berfungsi sebagai pemersatu dan pembentuk nilai-nilai moral yang dianggap bersumber dari zat ilahiyah dan diharapkan dapat menyelamatkan pemeluknya keluar dari berbagai permasalahan yang membelenggunya yang tidak bisa di jawab oleh alam pikiran manusia.

Untuk menilai tinggi rendahnya fungsi-fungsi agama sebagai pemersatu dan pembentuk nilai, serta mencari keseimbangan di antara fungsi ini dengan kemampuannya untuk menghancurkan merupakan suatu hal yang rumit. Berbeda dengan pengaruh organisasi-organisasi keagamaan yang semakin melemah, bisa dikemukakan bahwa nilai-nilai keagamaan dari masa-masa terdahulu ternyata sedikit banyaknya tetap bertahan dalam masyarakat sebagai bagian dari tradisinya yang mendasar. Dalam bentuk ini nlai-nilai tersebut tetap memberikan sumbangan, sampai batas yang sangat sukar diukur terhadap keterpaduan masyarakat. Buktinya adalah, khususnya pada masa-masa penuh ketegangan, sering muncul himbauan masyarakat untuk menerapkan warisan tradisi keagamaan dengan memohon pertolongan tuhan dan dilakukan secara khidmat dan bersama-sama.

Tingkah laku sejumlah orang dalam masyarakat modern dibentuk semata-mata atau bahkan terutama, sesuai dengan nilai-nilai keagamaan. Kelemahan nilai-nilai keagamaan sebagai suatu fokus pengintegrasian, tentu saja antara lain disebabkan oleh keanekaragaman system niali dari berbagai organisasi keagamaan yang seringkali berusaha mendapatkan kesetiaan setiap individu anggotanya. Tetapi saingan utama bagi semua system nilai keagamaan adalah system nilai sekuler tersebut yang berkembang semakin dominan. Nilai-nilai sekuler tersebut berkembang di sekitar nasionalisme, ilmu pengetahuan, masalah-masalah ekonomi dan pekerjaan, serta perebutan jabatan.

Tapi, walau bagaimanapun juga manusia menurut fitrahnya mesti beragama. Dalam tafsir Al Maraaghi diterangkan bahwa andaikata seorang bayi dilahirkan di suatu pulau yang terpencil, tidak ada orang yang mendidik dan yang menuntunnya. Namun, menurut fitrahnya ia akan mencari tuhan dan meyakini akan adanya tuhan .

Oleh karena itu Lathief Rusyidy memberikan pendapat tentang fungsi agama dan peranannya, yaitu:

a. Mendidik manusia supaya memiliki akidah yang tepat, benar dan pasif baik secara uluhiyyah maupun rububiyyah.

b. Membedakan manusia dari belenggu perbudakan, membina dan mendidik manusia supaya hanya tunduk dan mengabdi kepada Allah.

c. Mendidik manusia berani menegakkan kebenaran, keadilan dan kebaikan demi kebahagiaan dan keselamatan manusia di dunia dan akhirat.

d. Dapat memperbaiki akhlak manusia, dapat mendidik manusia supaya berakhlak yang mulia dan menjauhkan diri dari sifat-sifat tercela.

e. Menyuruh manusia mengabdi kepada Allah.

f. Dapat mengangkat derajat manusian yang lebih tinggi .

Agama sebagai Cara Penyesuaian Diri

Kasus Kematian

Kematian selain tidak dapat diramalkan juga berada di luar kekuasaan manusia. Meskipun kita semua mengetahui pasti mati, namun tak seorang pun mengetahui kapan kematian menjemputnya. Atas dasar ketidak pastian inilah kita menemukan interpretasi-interpretasi keagamaan tentang kematian dalam setiap masyarakat. Meskipun oreintasi-orientasi keagamaan tentang kemtian ini mengandung beberapa perbedaan kecil mengenai kepercayaan tentang adanya kehidupan sesudah mati, namun unsur pokok dari kepercayaan-kepercayaan ini bagi ilmu sosial, sebagaimana ditafsirkan oleh sementara orang, bukanlah bukti-bukti yang menunjukkan bahwa kepercayaan-kepercayaan ini merupakan apa yang mereka sebut sebagai isapan jempol belaka. Adapun yang mungkin dianggap kebenaran tertinggi mengenai persoalan-persoalan semacam itu, jika dilihat dari kacamata sosiologi, kepercayaan-kepercayaan keagamaan menampilkan seperangkat mekanisme yang dengannya orang-orang yang hampir meninggal dan orang yang akan ditinggal mati dapat menyesuaikan diri dengan realitas yang menimbulkan ketegangan .

Berbagai peristiwa yang menimbulkan tekanan batin dan perasaan takut, yang secara teratur menimbulkan kemunduran pada alam pikiran, dan karena itu akan muncul raktivitas kesadara-kesadaran kompleks. Menurut Freud kesadaran ini mencakup dua hal: pertama ada perasaan takut kepada kekuatan-kekuatan alam, yang menjadi gantungan bagi kehidupan manusia tetapi manusia tidak dapat mengendalikannya, dan kedua adalah adanya kebencian atau kemarahan terhadap berbagai frustasi instinktif secara terus menerus yang ditimbulkan oleh kehidupan sosial terhadap setiap individu.

Peristiwa-peristiwa yang menimbulkan persasaan takut dan frustasi semacam itu bukan sekedar insiden-insiden yang terjadi dalam sejarah individual, melainkan suatu saat mempengaruhi banyak orang. Karena itulah timbullah tanggapan-tanggapan kolektif terhadap peristiwa-peristiwa itu, dan berbagai fantasi individual serta prilaku seperti orang yang mengidap penyakit jiwa menyatu dalam fantasi dan peribadatan keagamaan kolektif. Meskipun berbagai peristiwa pada prilaku anak-anak yang timbul karena berbagai hubungan manusia dengan alam bisa benar-benar dikurangi dengan kemajuan-kemajuan dalam kekayaan dan teknologi, namun pristiwa yang timbul akibat frustasi individual dalam masyarakat hampir tidak dapat dikurangi. Sikap kemanusiaan seperti itulah muncul pikiran Freud bahwa tatanan-tatanan yang lebih rendah memiliki kepentingan paling besar terhadap agama, karena mereka lebih banyak mengalami penderitaan lebih besar dari frustasi naluriah dibandingkan dengan kelas yang berkuasa .

Kemungkinan-kemungkinan terhadap kematian terus muncul dan ini tidak bisa kita tebak. Bisa saja bayi yang baru lahir tidak lama kemudian ajal menjemputnya, atau mungkin saja nenek-nenek berusia 100 tahun masih kelihatan segar dan belum kelihatan tanda-tanda kematiannya.

Orang yang ditinggal kematian pastinya meninggalkan kekecewaan atau kenangan indah, yang kemudian akan ada anggapan antara bahagia dan celaka. Karena kekecewaan akibat kematian tidak dapat dihindarkan, maka manusia selalu berusaha menyesuaikan diri dengan kematian itu baik dengan menggunakan kepercayaan dengan memperhatikan kehidupan sehari-harinya atau sikap saat-saat nyawa berpisah dengan jasadnya, atau upacara keagamaan yang dipercaya bisa mengantarkan arwah yang mati ke tempat yang lebih baik. Kepercayaan terhadap kematian dan kehidupan akhirat tentu saja tidak dapat menghapuskan kematian itu, namun ia dapat membantu orang menghadapinya, dan melayani masyarakat mereka dengan baik ketika mereka sedang menghadapi kematian tersebut. Maka tidak menutup kemungkinan orang yang ikut dalam peperangan itu beragama, sekalipun ia tidak percaya pada tuhan. Dan agama pada umumnya dijadikan sebagai tempat berlindung.

Fenomena-fenomena kematian terus bermunculan, hal ini menimbulkan sejumlah pertanyaan tentang kematian dan orang yang mati. Karena adanya kepercayaan-kepercayaan inilah menjelaskan kepada orang yang mati dalam skema makhluk-makhluk sosial dan suprasosial. Penegasan-penegasan ini tidak hanya berfungsi menentramkan hati orang yang masih hidup, yang mungkin akan merasa takut akan hubungan mereka dengan orang yang sudah meninggal, karena kepercayaan-kepercayaan orang yang beragama terhadap orang yang sudah meninggal justru menakutkan dan bukannya menentramkan hati. Tapi seandainya hal itu betul, paling tidak ada ketentraman hati dalam menghadapi ketakutan tersebut.

Oleh Karena itu dari satu sisi, agama dapat dianggap meskipun sama sekali tidak berarti bahwa ini adalah gambara yang tuntas sebagai salah satu cara yang paling penting bagi manusia untuk menyesuaikan diri dengan situasi-situasi yang penuh ketegangan itu. Situasi-situasi ketegangan bisa dibagi dalam dua katagori utama. Kedua tipe tersebut mengandung keterlibatan-keterlibatan di mana umat manusia mempunyai invesatasi emosional yang besar dalam hasil yang diperolehnya. Dalam dua hal tersebut hasilnya sama sekali berada di luar kekuasaan manusia. Kategori pertama mencakup situasi-situasi di mana individu atau kelompok-kelompok dihadapkan dengan hilangnya orang lain yang penting bagi mereka, kehilangan tersebut mungkin untuk selama-lamanya seperti kematian atau kehilangan yang bersifat sementara. Di dalam semua situasi inilah frustasi-frustasi yang bersifat emosional atau pun yang bersifat praktis ikut terlibat.

Sama pentingnya bagi masyarakat adalah ritualisasi kematian. Makna apapun yang diberikan kepada kematian oleh orang yang terlibat secara langsung, namun bagi orang-orang yang ditinggalkan mati, ia jelas memutuskan seluruh jaringan hubungan sosial dan kewajiban-kewajiban bersama. Dengan demikian ritus keagamaan dalam hubungannya dengan kematian membantu memperkuat kembali solidaritas sosial dari kelompok masyarakat yang lebih besar dan mengarakan dukungan kelompok masyarakat tersebut kepada penyelesaian persoalan yang dianggap oleh orang yang ditinggal mati itu. Fungsi ritus keagamaan ini telah dilaksanakan dalam masyarakat purba dan modern, masyarakat primitive dan juga masyarakat beradab.

Magi sebagai Cara Lain dalam Penyesuaian diri

Walaupun perbandingannya sangat jauh antara agama dan magi, akan tetapi fenomena yang beredar di masyarakat baik masyarakat primitif atau modern magi selalu disejajarkan dengan agama. Di samping itu, kandungan magi berbeda dengan kandungan yang ada dalam agama. System-sistem keagamaan, khususnya dalam perkembangannya yang lebih tinggi bisa menjangkau seluruh kehidupan, system tersebut bisa memberikan teori yang lengkap mengenai yang gaib maupun masyarakat nyata. Sebaliknya isi magi tidak merupakan teori inklusif yang terpadu tetapi cenderung bersifat mistik.

Salah satu cara untuk melihat perbedaan antara agama dan magi adalah dengan menempatkan masing-masing pada kutub yang berlawanan dari suatu garis lurus. Berdasarkan sudut pandang ini, manifestasi-manifestasi yang paling murni dan gaib dari agama-agama yang lebih tinggi menempati kutub yang paling tinggi dan pada kutub yang lain adalah magi hitam.

Dalam prakteknya, kita sering keliru dan hampir tidak bisa membedakan tingkah laku keagamaan, tapi setelah di teliti lebih jauh ternyata kegiatan tersebut merupakan tindakan magi. Seperti orang yang bisa menghadirkan arwah-arwah leluhurnya dengan tujuan meminta pertologan agar terhindar dari bahaya musuh, dengan menggunakan mantra-mantra yang berisi dari ayat-ayat al Quran dan doa-doa lain yang sama dengan doa mereka ketika solat.

Praktek magi sebagai cara penyesuaian diri ini, bukan tidak mungkin akan menghasilkan sikap negatif dan berpengaruh pada tingkah laku sosial masyarakat. Diantaranya apabila praktek-praktek magi tersebut telah diterima sebagai adat kebiasaan, maka praktek tersebut akan menghalangi penerapan cara-cara yang secara teknik lebih unggul dalam mengatasi situasi ketegangan.

Agama dan Sains sebagai Cara Penyesuaian Diri

Sains atau ilmu pengetahuan memberi manusia cara empirik dan praktis untuk menyesuaikan diri dengan situasi-situasi empirik dan praktis pula. Sedangkan dalam agama baik tujuan yang hendak dicapai maupun cara-cara yang dipergunakan kedua-duanya bersifat nonempirik. Di samping itu sains, yang jelas berbeda dengan magi, meskipun sains dan magi sama-sama menghendaki tercapainya tujuan-tujuan yang empiric dan praktis.

Dalam sains, cara-cara yang sangat sederhana pun pada prinsipnya dapat bersifat ilmiah. Sebenarnya sains itu sama tuanya dengan masyarakat dan sebenarnya kebudayaan manusia tidak dapat berkembang tanpa cara-cara ilmiah sampai batas minimal sekalipun. Di zaman modern ini sains perupakan metode pokok yang dipakai orang untuk mencapai banyak tujuannya dan untuk menyesuaikan diri dengan berbagai macam ketegangan.

Perkembagan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat, sains dapat menimbulkan dua sisi dimensi yang selalu berlawanan, yaitu sisi positif dan sisi negatif. Ketika berada pada sisi negatif, peran agama menjadi sangat penting. Hal ini ditunjukkan dengan lahirnya hukum-hukum atau undang-undang yang memberikan batasan terhadap ruang gerak manusia supaya tidak terjerumus pada hal-hal yang dapat merugikan.

Lagi pula dengan meningkatnya penggunaan sains dan hasil-hasilnya mendorong terciptanya situasi-situasi ketegangan baru sehingga kadang-kadang magi diminta untuk menghilangkannya. Disinilah tampak adanya kesamaan fungsi dari agama dan magi, yaitu sebagai harapan dapat mengeluarkan manusia dari kemalut masalah yang sedang menimpa dirinya.

KESIMPULAN

Ada berbagai cara yang digunakan manusia untuk keluar dari masalah yang sedang melandanya. Mulai dari berpegang kepada agama, selanjutnya ditelaah melalui ilmu pengetahuan atau sains, dan kalaupun tidak menemukan hasil yang memuaskan, bagi sebagian orang akan lari pada magi yang dipercaya mampu menjawab setiap permasalah tersebut.

Perlunya agama bagi manusia tampaknya agama-agama itu harusi dianggap sebagai perkumpulan berbagai kesetiaan kelompok yang diekspresikan sebagai simbolik dan sebagai jawaban terhadap masalah-masalah etnik metafisik yang dikemukakan oleh tiap-tiap individu dan merupakan jawaban yang meyakinkan. Tentu saja bahwa keyakinan keagamaan bisa meredam berbagai sikap permusuhan yang muncul dalam kelompok orang seagama meskipun hal ini juga bisa terjadi disetiap jenis kesetiaan kelompok pada segala jenis kelompok.

Selain itu, agama juga berfungsi sebagai pemersatu dan pembentuk nilai-nilai moral yang dianggap bersumber dari zat ilahiyah dan diharapkan dapat menyelamatkan pemeluknya keluar dari berbagai permasalahan yang membelenggunya yang tidak bisa di jawab oleh alam pikiran manusia.

Dalam kehidupan sehari-hari, antara agama, sains dan magi terus hidup berdampingan dan tidak bisa dihilangkan salah satunya sekalipun pada masyarakat industri yang lebih cenderung pada hal-hal yang bersifat ilmiah yang membutuhkan sebuah observasi.

DAFTAR PUSTAKA

K. Notingham, Eilzabeth. Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama. (Rajawali: Jakarta, 1985)

Betty R. Scharf. Kajian Sosiologi Agama (Tiara Wacana Yogya: Yogyakarta, 1995) Cetakan pertama.

Rousyidy, T.A. Latief. Agama dalam Kehidupan Manusia. (Rimbow Medan: Jakarta, 1986)

Mustafa, Ahmad Al Maraaghy. Tafsir Al Maraaghi Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Mustafa Al Baaby al Halaby. Mesir: 1946.

Malinowski, Bronislau. Magic, Science and Religion. Glencoe, Illinois, The Free Press 1948.

Trevor Repor Tr. Religious Reformation and Social Change. London. 1967.



makalah ini disampaikan pada mata kuliah Sosiologi Agama

4/04/2009

ISLAM DAN DEMOKRASI MENURUT PEMIKIRAN MOH. NATSIR

PENDAHULUAN
Mohammad Natsir adalah sosok seorang negarawan dan agamawan teladan ummat. Selain sebagai teladan ummat Natsir juga sebagai teladan bangsa. Keteladanan Natsir dapat dirumuskan dalam sebutan tiga K, yaitu Keikhlasan, Kejujuran, dan Kesederhanaan. Disaat jadi perdana mentri, beliau tidak pernah melakukan penyalahgunaan kekuasaan, keikhlasannya dalam mengemban amanat selalu tertanam dalam jiwanya, ketekunan dalam mengurusi ummat tiada henti.
Selain itu juga Natsir dikenal sebagai pemimpin ummat yang sederhana dalam arti materi. Namun, warisan yang diberikan kepada bangsa dan Negara tidak bisa bisa kita kumpulkan dalam sebuah catatan kecil. Masih banyak hal yang perlu kita pelajari dari sosok seorang Natsir.
Kecemerlangan Ulama kelahiran Sumatra Barat tersebut, banyak menghasilkan pemikiran-pemikiran yang mendorong ditegakkannya Negara yang beradab dan menjadi teladan bagi Negara-negara lainnya. Sebagai seorang ulama, Muhammad Natsir merupakan sosok yang teguh pendirian dan berani menyampaikan kritik bila penguasa menyampaikan ktitikan bila penguasa melakukan penyelewengan jabatan, komitmen inilah yang dipegang erat olehnya hingga ajal menjemputnya.

PEMBAHASAN
ISLAM DAN DEMOKRASI
MENURUT PEMIKIRAN MOHAMMAD NATSIR


Sekilas Tentang Mohammad Natsir
Nama lengkapnya adalah Mohammad Natsir, lahir di Alahan Panjang, Solok, Sumatra Barat, 17 Juli 1908. Ia mempunyai daya intlektual yang lebih dari teman teman sebayanya, diusia 8 tahun ia masuk HIS (Holland Inlandse School) di Kota Padang. Dengan kecerdasannya yang lebih, kemudian dipindahkan oleh ayahnya ke Sekolah HIS Pemerintah yang mempunyai system pendidikan murni barat.
Pada tahun 1923, Natsir Lulus dari HIS. Ia lalu pergi ke kota Padang dan melanjutkan ke MULO. Adalah sebuah lembanga pendidikan yang didirikan oleh pemerintah belanda pada waktu itu. Ketika di MULO, Natsir Jong Islamieten Bond adalah sebuah organisasi perkumpulan pelajar islam cabang Padang diketuai oleh Sanusi Pane yang selanjutnya dikenal sebagai seorang sastrawan.
Usai di MULO, pada tahun 1927 Natsir pergi ke Bandung dan melanjutkan pendidikan formalnya di AMS. Disini mulailah berkenalan dengan pergaulan yang lebih meluas, baik pergaulan fisik dengan multi etnis maupun secara intelektual dengan beragam pemikiran yang berkembang pada waktu itu. Ketika di AMS, Natsir mengenal Ahmad Hassan, seorang tokoh Islam yang giat di PERSIS, dan juga tokoh lain seperti Haji Agus Salim, dan Ahmad Soorkati.
Di PERSIS Natsir menjadi staff redaksi majalah tengah bulanan Pembela Islam. Majalah tersebut terbit sejak 1929 itu akhirnya di larang oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1935 karena dianggap menyerang misi Kristen di Indonesia.
Natsir belajar politik pada Haji Agus Salim sedangkan pada Ahmad Hassan belajar menulis dan berargumentasi. Tapi, Natsir sebenarnya adalah seorang pendidik. Dalam pandangannya untuk mendidik bangsa ini, tidak ada jalan lain kecuali dengan cara mendidik dan memberi keteladanan. Karena itu, tulisan-tulisannya tentang pendidikan tak sedikit jumlahnya.
Pada Juni 1945 surat dilayangkan oleh Mohammad Hatta kepadanya yang beralamat di Bandung. Ia langsung menanggapi isi surat tersebut dan pada hari itu juga langsung pergi ke Jakarta untuk memenuhi panggilan pak Hatta. Pada Agustus 1945, Jepang menyerah dan pada 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Disitulah Natsir terlibat aktif dalam perjuangan mencapai dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Ketika Sutan Syahrir menduduki sebagai Perdana Mentri, ia memerlukan figur Islam yang bisa menyosialisasikan program-program kabinetnya. Maka dipilihlah Mohammad Natsir sebagai mentri penerangan dan merupakan mentri penerangan pertama di republik ini. Natsir menjabat sebagai mentri penerangan lama tiga kali: dua kali dalam kabinet Syahrir, dan satu kali dalam kabinet Hatta.

Agama dan Negara dalam Pandangan Natsir
Terdapat sebuah pedebatan heboh antara Mohammad Natsir dan Bung Karno tentang agama dan negara . Menurut Soekarno, agama mesti dipisahkan dari negara. Ia berpendapat dengan mengutip diantaranya adalah Syekh Ali Abdur Raziq, seorang ulama dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Mengatakan bahwa al Quran dan Sunnah maupaun ijma ulama, tidak ada keharusan bersatunya agama dan negara. Soekarno lalu menengok ke Turki, dimana Mustafa Kamal Attaturk memisahkan agama dari negara. Dan menurut Soekarno karena itulah Turki bisa maju.
Tapi bagi Natsir, pemikiran soekarno itu keliru. Baginya agama dalam hal ini Islam, tidak dapat dipisahkan dari negara. Karena menjalankan kenegaraan merupakan perintah dari Allah dan merupakan amanat yang harus dilaksanakan. Kemudian Natsir mengutip surah Ad Dzariyat ayat 56 “Tidakkah aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepadaKu.” Bagi Natsir, negara bukanlah segala-galanya. Ia hanya merupakan alat untuk mencapai mencapai kesejahteraan masyarakatnya.
Kemudian Natsir mengatakan dalam sebuah tulisannya, “Bagi kita kaum muslimin, negara bukanlah suatu badan yang tersendiri yang menjadi tujuan. Dengan persatuan agama dengan negara yang kita maksudkan, bukanlah bahwa agama itu cukup sekedar dimasukkan saja disana sini kepada negara itu. Bukan begitu! Negara bagi kita, bukan tujuan, tetapi alat. Urusan kenegaraan pada pokoknya dan pada dasarnya adalah satu bagian yang tak dapat dipisahkan dari Islam. Yang menjadi tujuan ialah; Kesempurnaan berlakunya undang-undang ilahi, baik yang berkenaan dengan prikehidupan manusia sendiri sebagai individu ataupun sebagai anggota dari masyarakat.”
Mohammad Natsir bisa dikatakan sebagai seorang ulama sekaligus politikus. Dalam pandangannya ia selalu berfikiran Islamis, sementara Soekarno lebih berpegang dengan sekulernya. Natsir berpendapat tentang sekuler bahwa sekulerisme adalah suatu cara hidup yang mengandung faham, tujuan, dan sikap, hanya di dalam batas-batas keduniaan. Sesuati dalam penghidupan sekuler tidak ditunjukkan kepada apa yang melebihi batas keduniaan dan tidak mengenal akhirat, tuhan dan sebagainya.
Bersatunya agama dan negara menurut Natsir, adalah buah dari sejarah. Ia memberi contoh, sejak pertama kali Islam datang ke nusantara, islam adalah sebuah kekuatan politik di bumi pertiwi ini, dan ini dibuktikan dengan kenyataan sejarah bahwa islam dipakai sebagai dasar dan sumber kekuatan dari kerajaan-kerajaan islam di nusantara ini. Adapun Islam dipilih sebagai dasar negara, karena agama islam adalah agama mayoritas masyarakat Indonesia. Jika islam tidak mayoritas, maka tidak ada alasan untuk dijadikan sebagai dasar negara.

Sikap Demokrasi Natsir
Banyak yang harus kita pelajari demokrasi dari angkatan Natsir. Tidaklah lengkap jika dimensi demokrasi hanya ditinjau dari hubungan antara masyarakat dan pemerintah, antara infrastruktur dan suprastruktur. Dimensi itu ada dan sangatlah strategis peranannya. Selain itu, demokrasi juga berdimensi pada kemasyarakatan. Artinya, perkembangan dan makna demokrasi ditentukan oleh hubungan-hubungan demokratis secara horizontal, di antara sesama kelompok masyarakat. Dimensi masyarakat itu berlakunya bagi masyarakat bangsa yang majemuk seperti bangsa Indonesia.
Nilai dan sikap serta perlakuan demokrasi tidak hanya berlaku dalam hubungannya dengan suprastruktur. Nilai itu berlakupula dalam hubungannya dengan kelompok-kelompok masyarakat, dengan sesama organisasi sosial politik dan kekuatan sosial politik. Demokrasi dibangun dan dikembangkan di atas basis fundamental yakni martabat manusia.
Refleksi dan penghayatan yang kuat dari dimensi kemasyarakatan itu, seperti yang ditunjukkan oleh angatan Natsir adalah saling menghormati pendapat, menghormati perbedaan, baik perbedaan pendapat maupun perbedaan pandangan dan kepentingan tidak merangsang serta tidak pula menghasilkan konflik fisik, tidak pula menimbulkan permusuhan dan hubungan pribadi.
Ada sebuah ungkapa Natsir yang kemudia dijadikan sebagai barometer demokrasi dimasa sekarang. Salah satu nilai demokrasi yang digunakan dan kemudian menjadi ciri khas prinsip demokrasi M. Nastsir adalah “sepakat untuk tidak sepakat”, dan cara berargumentasi dengan cara lembut tapi penuh argumen dan cara menyampaikan sanggahan atau kritikan kepada lawan politiknya dengan menggunakan kata-kata yang tidak menyakiti hati. Lawan bicaranya didorong untuk berfikir secara rasional dan dihantarkan untuk mempertimbangkan putusan yang objektif dan arif.
Dalam kehidupan bermasyarakat dimana Indonesia yang heterogen terdiri dari berbagai suku, dan etnis atau masyarakat bhineka, namun mayoritas beragama Islam, dan untuk memperjuangkan rakyat menuju kehidupan yang adil dan sejahtera, maka M. Natsir mengeluarkan konsep “politik dengan jalur dakwah atau dakwah melalui jalur politik”. Hal ini dibuktikan dengan masa gemilangnya prestasi parlemen dalam sejarah penegakkan demokrasi pada awal kemerdekaan, tepatnya tanggal 3 April 1950 dengan Mosi Integralnya, M. Natsir berhasil mempersatukan indonesia dari pemerintahan negara-negara bagian atau federal pada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sering disebut dengan NKRI.
Dalam suasana seperti itu, keterbukaan lantas bisa lebih terselenggara oleh rasa tanggung jawab masyarakat sendiri dan dalam keterbukaan itulah, segala sesuatau yang peka tidak bertambah kental dan sensitif, melainkan secara relatif lenggar dan besar toleransinya. Amatlah terkemuka kegigihan Mohammad Natsir dalam memeperjuangkan kepentingan partainya. Namun tetap juga terbuka untuk perbedaan dan tetap dihormati pandangan dan pendapat yang berbeda dari kelompok-kelompok lain, dari organisasi-organisasi politik lain .
Pada hakekatnya demokrasi itu bersandar pada kesadaran rakyat yang dilandasi dengan cinta kebenaran dan rasa keadilan yang kuat. Cinta kebenaran dan rasa keadilan tersebut muncul dalam wujudnya yang nyata dan dalam bentuk moral yang kuat serta kita dapat melawan apa yang dianggap tidak benar dan tidak adil. Bagi Natsir demokrasi adalah way of lifeI , jadi merupakan suatu dasar hidup .
Peran M. Natsir dalam memperjuangkan konstitusional Indonesia yang dimulai dengan bersatunya bangsa Indonesia dan membuahkan hasil yang menakjubkan yaitu berawal dari sistem Republik Indonesia Serikat (RIS) yang merupakan hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) di Denhaag-Belanda, dileburkan dan beralih menjadi sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini merupakan berkat kegigihan dan keberanian Natsir, dan dibekali dengan kemahiran berdiplomasi yang dimilikinya.
Indonesia dan Kolonialisme
Lama kita mengenal bahwa indonesia dijajah oleh koloni belanda selama tiga setengah abad, dan dijajah oleh jepang selama tiga tahun setengah, dan masih banyak penjajah-penjajah lain yang menyerang bangsa Indonesia. Banyak hal yang harus kita pelajari dari adanya penjajah di Indischen-Archiple sebelum disebut Indonesia.
Sampai saat sekarang ini, Indonesia masih belum lepas dari jajahan negara-negara maju dengan pesatnya persaingan pemikiran dan keilmuan yang bersumber dari barat, yang berorientasi pada pemikiran yang liberal. Sehingga tidak ada bedanya dengan penjajahan di masa belanda. Atau mungkin ada sebagian teori kolonial liberal yang bisa ditemukan di abad ke 21 ini. Yakni, ada harapan untuk membawa sesuatu yang lebih baik bagi kaum pribumi. Inilah perbedaannya dengan Amerika. Dalam posisi masa kini, Amerika sedang mendakwahkan tanggung jawabnya terhadap negara-negara yang terbelakang sehingga perlu disebarkan budaya melek huruf, pemilihan umum, dan bantuan keuangan dalam bentuk hubah atau hadiah. Sementara itu, mereka orang-orang Belanda ini, dilain pihak berorientasi ke masa lalu dengan tidak mungkin lagi mengemban misi kemanusiaan untuk mendakwahkan misi pemberadaban.
Dengan adanya teori kolonial inilah semuanya kaum pribumi diperlakukan seperti boneka yang selalu patuh pada pengasuhnya sehingga semuanya terasa serba romantis, serba manusiawi, padahal mereka semua sedikit demi sedikit terus membodohi kaum pribumi, dan pada akhirnya muncul pujian terhadap terhadap sistem tanam paksa, dan anggapan kemerdekaan Indonesia adalah berkat kolonialisme Belanda.
Ada tiga kekuatan pokok yang menyebabkan suksesnya kolonialisme diterima masyarakat pribumi Indonesia: yang pertama adalah hukum. Hukum menjamin hak-hak semua orang terpenuhi; Kemudian kedua adalah politik liberal, ini ditunjukkan dengan adanya jaminan kebebasan penduduk; dan yang ketiga yaitu pengetahuan yang menjamin kemajuan peradaban penduduk pribumi.
Namun dalam hal ini Mohammad Natsir berpendapat bahwa Islam adalah sumber penentangan setiap penjajah, penentangan eksploitasi manusia atas manusia, sumber pemberantasan kebodohan, kejahilan; sumber pemberantasan pendewaan, juga sumber pemberantasan kemelaratan dan kemiskinan. Islam tidak memisahkan antara kegamaan dan kenegaraan. Islam itu adalah primair. Maka Islam itu adalah : االد ين و الدولة ( al-din wa al-daulah) agama dan negara.
Walaupun demikian, Mohammad Natsir beranggapan bahwa sistem kenegaraan dan politik Islam tidak harus sama dan sebangun dengan apa yang terjadi di masa Rasulullah dan Khulafa al-Rasyidin. Juga tidak harus sama dengan kekhalifahan sesudahnya seperti masa Bani Umayah dan Bani Abbasiah, bahkan tidak pula sama dengan apa yang terjadi di masa Safawi, Mughal atau Turki Usmani. Bagi Natsir, Islam menjadi sumber kehidupan negara modern sesuai dengan keadaan zaman, waktu dan tantangan yang dihadapi.

HAM dan Cita-cita Politik Moh. Natsir
Isyu HAM mulai muncul setelah majlis mumu PBB pada tahun 1948 yang kemudian dikenal dengan Universal Deklaration of Human Rights (UDHR) atau lebih dikenal dengan sebutan pernyataan sementara tentang hak asasi manusia. Hal ini kemudia dijadikan sebagai pedoman standar ditegakkannya HAM di Negara-negara anggota PBB termasuk Indonesia.
Ketika kita berbicara mengenai HAM yang sebenarnya kita maksudkan adalah bahwa hak-hak itu diberikan oleh Tuhan. Ia bukanlah pemberian siapa-siapa atau bahkan seorang raja sekalipun. Karena itu menurut Maududi, hak-hak yang diberikan raja atau perlemen akan ditarik kembali dengan cara yang sama seperti hak itu diberikan. Hak-hak asasi dalam pandangan Islam adalah diberikan oleh tuhan, tak satupun majelis ataupun parlemen di dunia atau pemerintah punya hak atau kewajiban untuk membuat suatu amandemen ataupun merubahnya dan tak seorangpun berhak mencabutnya kembali buat membatalkannya .
Perbedaan pandangan tentang HAM antara dunia barat dan dunia timur memang sangat mendasar. Di barat, perhatian pandangan terhadap individu-individu timbul dari pandangan yang bersifat anthroposentris, dimana manusia merupakan ukuran terhadap segala sesuatu. Sedangkan di timur, dalam hal ini Islam, menganut pandangan yang bersifat theosentris. Yaitu Tuhan Yang Maha Tinggi dan manusia hanya untuk mengabdi kepada-Nya. Berdasarkan pandangan yang bersifat antheosentris tersebut maka, nilai-nilai utama dari kebudayaan barat seperti demokrasi, institusi social dan kesejahteraan ekonomi sebagai perangkat yang mendukung tegaknya HAM itu berorientasi kepada penghargaan terhadap manusia. Dengan kala lain, manusia menjadi sasaran akhir dari pelaksanaan HAM tersebut.
Dengan kata lain, HAM adalah sebagai anugrah tuhan kepada manusia sebagai khalifahnya di bumi. Hal itu menunjukkan kelebihan manusia di atas makhluk-makhluk lain. Kemerdekaan hak asasi ini diberikan agar manusia dapat menjalankan fungsi kekhalifahannya tanpa memahami hak-hak tersebut mustahil manusia daapat menjalankan tugas kewajibannya sebagai khalifah. Karena itulah dalam menjalankan dan menegakkan hak-haknya, manusia harus bersandar pada ajaran tuhan disamping itu HAM dalam Islam mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Kembali kepada pandangan Mohammad Natsir, beliau seorang yang islamis tentu sangat menghargai adanya Hak Asasi Manusia tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan adanya cita-cita politik beliau yang meliputi:
Pertama, membebaska manusia dari segala bentuk supertisi (takhayul dan khaurafat), memerdekakannya dari segala rasa takut kecuali kepada Allah Sang Maha Pencipta serta memegang perintah-perintah-Nya agar kebebasan ruhani manusia dapat dimenangkan.
Kedua, segala macam tirani harus dilenyapkan, eksploitasi manusia diakhiri, dan kemiskinan diberantas untuk mencapai maksud-maksud tersebut. Tirani dan eksploitasi manusia dilenyapkan bilamana penderitaan dan penyakit masyarakat dapat dihilangkan, yang kesemuanya bersumber pada kemusyrikan dan kekufuran.
Ketiga, chauvinisme yang merupakan akar intoleransi dan permusuhan di antara manusia wajib diperangi. Secara demikian, kita semua wajib membangun masyarakat di mana martabat manusia diakui secara penuh, seluruh anggota masyarakat satu sama lain tolong-menolong dan menolak anggapan yang kuatlah yang menang (the survival of the fittest).
Keempat, Natsir yakin bahwa Islam mengajarkan cita-cita politik yang sangat luhur, dan dalam kenyataan umat Islam Indonesia telah memperjuangkan cita-cita untuk membangun masyarakat yang bebas dari chauvinisme, tirani, dan eksploitasi. Tauhid adalah modal perjuangan kaum Muslimin. Oleh karena dengan Tauhid, perjuangan tersebut tidak akan pernah menyimpang. Seluruh perjuangan para pemimpin Islam pada hakikatnya bergerak untuk mencapai cita-cita itu, sebagaimana telah dilakukan oleh Imam Bonjol, Tengku Cik Di Tiro, Diponegaro, Hasanuddin dan lain-lain.
Kelima, untuk mencapai tujuan politik tersebut di atas, konteks situasional dan kondisional yang dihadapi harus diperhatikan, berhubung cara-cara perjuangan harus selalu disesuaikan dengan tantangan dan masalah yang dihadapi.
Berdasarkan cita-cita politik yang demikian, maka M. Natsir dengan jelas menolak paham sekularisme dalam bernegara. Ia mengatakan bahwa sekularisme adalah way of life yang berpikirnya, tujuannya, dan karakteristiknya dibatasi oleh tujuan-tujuan keduniaan semata-mata. Tidak ada tujuan kaum sekularis yang lebih jauh dari perkara-perkara keduniaan.
Sekalipun kaum sekularis kadangkala mengakui eksistensi Tuhan, dalam kehidupan sehari-harinya mereka tidak mengakui pentingnya hubungan antara jiwa manusia dengan Tuhan. Apakah hubungan itu dinyatakan dalam tingkah laku keseharian yang menyangkut berbagai dimensi kehidupan ataupun hubungan kemasyarakatan dalam arti kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kaum sekularis menurut Natsir, menganggap konsep ketuhanan dan agama hanyalah kreasi manusia yang ditentukan oleh kondisi sosialnya dan bukan oleh kebenaran wahyu. Bagi mereka, agama dan doktrin-doktrin mengenai eksistensi Tuhan adalah relatif, selalu berubah sesuai dengan pertumbuhan masyarkat manusia.
Dalam konteks kenegaraan di Indonesia, penting dicatat bahwa pandangan Natsir terhadap Pancasila. Bagi Natsir, Pancasila adalah sejumlah prinsip yang luhur yang dapat mengatasi keabstrakannya bila Pancasila tidak ditafsirkan secara sekularistis, namun dilandasi pada ajaran agama.
Di dalam Pidatonya di hadapan The Institute of International Affairs 2 April 1952 di Pakistan, salah satu isinya adalah bahwa Pancasila merupakan hasil pemikiran terbaik kaum muslimin Indonesia sambil menegaskan bahwa Ilam tidak mungkin bertabrakan dengan Pancasila karean Islam pada hakikatnya adalah serba sila.
Artinya, Pancasila dalam pemikiran Natsir bukanlah sekularistik, tetapi mengandung aspek Tauhidi. Terutama pada silanya yang pertama yang akan memberi semangat dan jiwa ke dalam sila-sila yang lain. Oleh karena itu bagi Natsir harus ditolak pemahaman sebagian kalangan Indonesia yang salah menafsirkan tentang toleransi keagamaan dalam Islam. Bagi Natsir, dalam naungan Islam semua agama akan dapat menikmati kebebasannya secara penuh. Di dalam Capita Selecta II, Natsir mengemukakan amat pentingnya memelihara kemerdekaan beragama dan menerima sepenuhnya pluralisme agama.

KESIMPULAN
Kegigihan Mohammad Natsir terus menggelora sehingga dalam perjalanan hidupnya terutama memperjuangkan bersatunya bersatunya bumi pertiwi yang terpecah belah yang dibentuk oleh pemerintah koloni belanda menjadi Negara-negara bagian, melalui Mosi Intergral dan beliau sebagai tokoh kuncinya, kini berubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, bagi Natsir kehidupan manusia berbangsa dan bernegara itu menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan keagamaan.
Walau demikian beliau tidak menyangkal negaranya menganut pada Pancasila, melainkan muncul penilaian baik terhadap Pancasila itu sendiri. Bagi Natsir, Pancasila adalah sejumlah prinsip yang luhur yang dapat mengatasi keabstrakannya bila Pancasila tidak ditafsirkan secara sekularistis, namun dilandasi pada ajaran agama.
Mohammad Natsir juga merupakan Ulama yang arif dan bijaksana dalam memutuskan segala hal tetapi tepat sasaran. Pemikirannya yang bersifat luas sehingga selalu menjadi tolak ukur generasi penerusnya. Selain itu pemikirannya yang begitu gemilang, banyak menghasilkan ide-ide yang cemerlang bagi kemaslahatan ummat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya. Beliau menyebarkan syiar Islam dengan santun, bijak, damai dan penuh toleransi, dengan demikian syiar agama yang dilakukan akan membawa kehidupan agama berbangsa dan bernegara kearah yang lebih terhormat dan beradab.

DAFTAR PUSTAKA
Natsir, Mohammad. Capita Selecta, (Jakarta:Yayasan Bintang Abadi dan Yayasan Media Dakwah, 2008) Jilid I Cetakan Ke-2
Natsir, Mohammad. Capita Selecta, (Jakarta: PT. Abadi dan Yayasan Bulan Bintang, 2008) Jilid 2 Cetakan Ke-2
Natsir, Mohammad. Capita Selecta, (Jakarta: PT Abadi kerjasama dengan Panitia Peringatan Refleksi Seabad M. Natsir Pemikiran dan Perjuangannya dan Yayasan Capita Selecta, 2008)
Penerbit Republika. 100 Tahun Mohammad Natsir Berdamai dengan Sejarah. (Jakarta: Percetakan Gramedia, 2008)
Hakiem, Lukman (ed) dan Penerbit Republika. M. Natsir di Panggung Sejarah Republik. (Jakarta: Percetakan Tamaprinting, 2008)
Taher, Tarmidzi. Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir. 1996
Kosasih, Ahmad. HAM dalam Refleksi Islam. 2003
Baso, Ahamad DKK. Islam Pasca Kolonial. 2005
Mohammad, Herry. DKK. Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. (Jakarta: Gema Insani, 2006) Cetakan pertama
http://shofwankarim.blog.friendster.com/
Artikel seminar memperingati 100 tahun pahlawan nasional Bapak. Mohammad Natsir. Yang diadakan oleh Wadah Pencerdasan Ummat Malaysia (WADAH) dan Kolej University Islam Antar Bangsa Selangor (KUIS) pada Sabtu, 10 Januari 2009


Makalah Ini disampaikan Pada Presentasi Mata Kuliah Agama dan Modernitas