2/27/2009

Dibalik Tafsir Hermeuneutika

Akar masalah Hermeneutika Istilah Hermeneutika, dipinjam dari bahasa Inggris, hermeneutics; kata yang sama sebelumnya dipinjam dari bahasa Yunani Kuno (Greek), hermeneutikos. Secara harfiah, kata ini pernah digunakan oleh Aristoteles dalam karyanya, Peri Hermeneias, yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Latin dengan De Interpretatione; dan baru kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan On the Interpretation. Sebelumnya, al-Fârabi (w. 339 H/950 M), telah menerjemahkan dan memberi komentar karya Aristotle tersebut dalam bahasa Arab dengan judul: Fi al-’Ibârah.
Aristoteles sendiri ketika menggunakan kata Hermeneias, tidak mengunakannya dengan konotasi istilah, seperti yang berkembang pada saat kini. Hermeneias yang dikemukakannya, menyusul karyanya, Categorias, hanya untuk membahas fungsi ungkapan dalam memahami pemikiran, serta pembahasan tentang satuan-satuan bahasa, seperti kata benda (noun), kata kerja (verb), kalimat (sentence), ungkapan (proposition), dan lain-lain yang berkaitan dengan gramatika. Ketika membicarakan hermeneias, Aristoteles tidak mempersoalkan teks, ataupun mengkritik teks. Yang menjadi topik pembahasan Aristoteles adalah interpretasi itu sendiri, tanpa mempersoalkan teks yang diinterpretasikan.
Secara harfiah, barangkali terjemahan al-Fârabi lebih pas, ketika hermeneuias diterjemahkan dengan ‘ibarah, yang mempunyai konotasi ungkapan bahasa dalam menunjukkan makna tertentu. Inilah, barangkali makna harfiah hermeneutika yang lebih tepat. Dan, pada awalnya hanya digunakan dalam konteks harfiahnya saja.
Perubahan makna Hermeneutika dari makna bahasa ke dalam makna konvensional (istilah), pada dasarnya merupakan perkembangan yang terjadi kemudian. Perubahan makna ini, disepakati oleh berbagai literatur perkamusan, dimulai sejak para teolog Yahudi dan Kristen berusaha mengevaluasi kembali teks-teks dalam kitab suci mereka. Sebuah disertasi doktoral mengenai hermeneutika menyatakan: Originally, the term ‘Hermeneutics’ was employed in reference to the field of study concerned with developing rules and methods that can guide biblical exegesis. During the early years of the nineteenth century, ‘Hermeneutics’ became ‘General Hermeneutics’ at the hands of philosopher and Protestant theologian Friedrich Schleiermacher.
Schleiermacher transformed Hermeneutics into a philosophical field of study by elevating it from the confines of narrow specialization as a theological field to the higher ground of general philosophical concerns about language and its understanding (Asalnya, istilah Hermeneutika digunakan dalam bidang studi yang berkaitan dengan pengembangan metode dan aturan yang dapat memandu penafsiran kitab Injil. Selama tahun-tahun pertama abad ke sembilan belas, Hermeneutika menjadi Hermeneutika Umum oleh filsuf dan teolog Protestan, Friedrich Schleiermacher. Schleiermacher telah menyulap Hermeneutika menjadi bidang kajian kefilsafatan, dengan mengangkatnya dari kajian yang secara spesifik hanya membahas bidang yang berkaitan dengan agama menjadi kajian yang mempunyai perhatian lebih tinggi terhadap filsafat umum tentang bahasa dan pemahamannya).
Perubahan makna hermeneutika dari konteks teologi ke dalam konteks filsafat telah dibidani oleh filsuf Jerman, Friedrich Schleiermacher (1768-1834). Filsuf Protestan inilah yang dianggap sebagai pendiri Hermeneutika Umum yang bisa diaplikasikan pada semua bidang kajian. Ketika hermeneutika itu telah menjadi subjek filsafat, lahirlah berbagai aliran pemikiran, yang menempatkan hermeneutika Schleiermacher hanya sebagai salah satu aliran hermeneutika yang ada. Selain hermeneutika Schleiermacher, ada Hermeneutics of Betti yang digagas oleh Emilio Betti (1890-1968), seorang sarjana hukum Romawi berbangsa Itali; juga ada Hermeneutics of Hirsch yang digagas oleh Eric D. Hirsch (1928- ) seorang kritikus sastra berbangsa Amerika; ada juga Hermeneutics of Gadamer yang digagaskan oleh Hans-Georg Gadamer (1900- ) seorang filsuf dan ahli bahasa, serta aliran-aliran hermeneutika yang lain, seperti Hermeneutics of Dilthey, yang digagas oleh Dilthey (m 1911), dan Hermeneutics of Heidegger, yang digagas oleh Heidegger (m 1976), dan lain-lain.
Dalam konteks yang lebih ekstrim, filsafat hermeneutika telah memasuki wilayah epistemologis yang berakhir pada pemahaman sophist (orang yang pandangannya tersesat), yang bertentangan dengan pandangan hidup Islam. Filsafat hermeneutika berakhir dengan kesimpulan umum, bahwa all understanding is interpretation, semua pemahaman itu hanyalah penafsiran, dan karenanya tergantung kepada subyektivitas orangnya. Pada titik inilah, A. Karim Sourosh, menurunkan teori al-qabdh wa al-basth (penyusutan dan pemuaian) interpretasi agama, yang menurutnya masih menjadi bagian dari teori interpretasi-epistemologis, atau hermeneutika ini. Dengan teori ini, dia berkesimpulan, bahwa pemahaman agama, bukanlah agama itu sendiri. Pemahaman agama itu subyektif, bisa mengalami perkembangan dan penyusutan, sementara agama tidak. Hermeneutika sebagai Interpretasi-Epistemologis Untuk memperjelas lingkup kajian dan pengaruh hermeneutika, serta mengapa metode ini digunakan untuk menginterpretasikan al-Qur’an, maka fakta hermeneutika —meminjam istilah A. Karim Sourosh— sebagai interpretasi-epistemologis harus dipahami. Interpretasi-epistemologis adalah penafsiran terhadap teks yang dibangun berdasarkan teori epistema. Epistema —bahasa Yunani Kunonya, epistémé, atau bahasa Inggerisnya, epistemic— adalah teori pengetahuan tentang: (a) asal-usul, (b) anggapan, (c) karakter, (d) rentang, dan (e) kecermatan, kebenaran atau keabsahan pengetahuan. Ini merupakan cabang filsafat yang mengkaji pengetahuan: darimana asal-usulnya? bagaimana perumusannya? bagaimana pengetahuan tersebut diekspresikan dan dikomunikasikan? Metode inilah yang digunakan A. Karim Sourosh dalam bukunya, Reason, Freedom and Democracy in Islam (2000), sebagaimana sebelumnya juga digunakan oleh Arkoun dalam Rethinking Islam, atau apa yang dibahasaarabkannya dengan: Kayfa na’qilu al-Islam (bagaimana kita memahami Islam), dan dalam artikel: Bagaimana Membaca al-Qur’an? Metode yang sama juga digunakan oleh komunitas Islam Liberal.
Dalam konteks al-Qur’an, metode hermeneutika, atau —meminjam istilah Arkoun— metode interpretasi-epistemologis baru, digunakan untuk mengkaji asal-usul wahyu atau kalam Allah, dan al-Qur’an. Diakui, bahwa wahyu itu berasal dari Tuhan. Hanya saja, menurut Arkoun, wahyu Tuhan itu tak terbatas. Untuk melengkapi data historisnya, dia —yang memang sarjana sastra Arab itu— kemudian menggunakan teori linguistik untuk membuktikan kesimpulannya. Dari sanalah, Arkoun —yang dipengaruhi pandangan Paul Ricoeur yang populer dengan bukunya, The Rule of Metaphor (1977) itu— kemudian memilah tahap-tahap: kalam Allah (KL), Wacana Qur’ani (WQ), Korpus Resmi Tertutup (KRT) dan Korpus Tertafsir (KT). Menurutnya, wahyu atau kalam Allah, sebagai logos (pengetahuan) tidak terbatas, namun ketika kalam itu disampaikan kepada Nabi —untuk disampaikan kepada ummatnya— itu hanyalah penggalan dari kalam Allah yang tak terbatas. Dari sinilah muncul pemilahan wahyu verbal (dilisankan) dan non-verbal. Dengan menggunakan teori yang sama, Arkoun berkesimpulan, bahwa wacana al-Qur’an (WQ) telah direduksi menjadi Corpus officiel clos (korpus resmi tertutup), yang menurutnya, karena faktor sosial dan political will, bukan karena kehendak tuhan. Dan, setelah menjadi Corpus officiel clos, yang kini dibukukan dalam Mushaf Utsmani, maka umumnya pemahaman kaum Muslim dibentuk melalui Corpus officiel clos ini, bukan dengan wacana Qur’an yang pertama (WQ). Dari sinilah lahir Korpus Tertafsir (KT), yang berupa kitab-kitab tafsir. Dengan epistema ini, keabsahan al-Qur’an sebagai sumber otoritatif digugat. Melalui pendekatan sosio-historis dan linguistik, Arkoun berkesimpulan, bahwa al-Qur’an is subject to historicity (tunduk pada sejarah), dan karenanya harus didekonstruksi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Jacques Derrida. Sedangkan Fazlur Rahman mengklaim, al-Qur’an adalah both the Word of God and the word of Muhammad (kompilasi Kata Allah dan kata Muhammad). Sementara, Nashr Abu Zayd mengklaim bahwa al-Qur’an adalah produk budaya.
Metode yang sama juga digunakan Arkoun untuk menggugat otoritas dan keabsahan tafsir al-Qur’an: “Saya tidak mengatakan bahwa al-Qur’an tidak relevan… Yang saya katakan adalah bahwa pemikiran yang dipakai oleh para teolog dan fuqaha’ untuk menafsirkan al-Qur’an tidak relevan. Sebab, sekarang ilmu baru seperti antropologi, tidak mereka kuasai. Kita juga memiliki linguistik baru, metode sejarah, biologi—semuanya tidak mereka kuasai. Dengan epistema yang sama, yakni berdasarkan karakter teksnya, al-Qur’an yang berbahasa Arab, dianggap mempunyai persamaan dengan teks-teks sastra, atau kitab suci lainnya.” Dari sinilah Arkoun menurunkan metode tafsirnya: Keinginan kami adalah membuat mungkin suatu penanganan yang solider terhadap kitab-kitab suci oleh orang-orang “ahlu kitab”. Untuk itu, kami mengajak pembaca untuk membaca al-Qur’an menurut aturan-aturan suatu metode yang dapat diterapkan pada semua teks doktrinal besar. Lebih jauh, teori pembacaan Arkoun ini dijabarkan melalui tiga moment, yaitu moment linguistik, antropologis, dan historis.
Dengan moment linguistik, kata (lafadz al-Qur’an) dibaca sebagai tanda (dilâl), sedangkan dengan moment antropoligis, kata yang sama dibaca sebagai simbol (isyârah), atau analisis mistis. Dengan moment historis, batas-batas tafsir logiko-leksikografis (logika perkamusan), atau teks dan konteks, dikembangkan dengan apa yang disebutnya dengan tafsir imajiner. Pendek kata, hermeneutika —sebagaimana klaim mereka— bisa memadukan subjektivitas dan objektivitas. Konon, karena itulah metode ini mereka gunakan.

Kebobrokan Tafsir Hermeneutika
Untuk membuktikan kebobrokan tafsir hermenutika —atau interpretasi-epistemologis— ini sesungguhnya bisa dilakukan dengan menggunakan kerangka epistema, seperti yang dilakukan oleh Dr. Ugi Sugiarto, dosen ISTAC-UIA Kuala Lumpur. Secara epistemis, terbukti bahwa kelahiran tafsir hermenutika tidak bisa dilepaskan dari sejarah Yahudi dan Kristen, ketika mereka dihadapkan pada pemalsuan kitab suci, dan monopoli penafsiran kitab suci oleh gereja. Dari sinilah mereka perlu melakukan dekonstruksi wahyu, yang telah tereduksi menjadi Corpus officiel clos itu. Dengan teori linguistik, mereka susun tahap wahyu untuk menjustifikasi keabsahan tafsiran mereka, yang sama-sama bersumber dari wahyu, meski bukan wahyu verbal.
Meski begitu, hermeneutika tetap tidak bisa menyelamatkan kitab suci mereka dari praktek pemalsuan, termasuk tidak lepas dari problem besar, hermeneutic circle. Realitas ini tidak dihadapi ummat Islam. Ummat Islam tidak pernah menghadapi problem seperti ummat Yahudi maupun Kristiani, baik menyangkut soal pemalsuan kitab suci maupun monopoli penafsiran. Di dalam Islam ada ilmu riwayat, yang tidak pernah disentuh oleh hermeneutika. Dengan ilmu ini, autentisitas al-Qur’an dan Hadits bisa dibuktikan. Dengan ilmu ini, riwayat Ahad dan Mutawatir bisa diuji; dan dengannya, mana mushaf yang bisa disebut al-Qur’an dan tidak bisa dibuktikan. Dengannya, historitas tanzîl, atau asbâb an-nuzûl —dan juga asbâb al-wurûd— bisa dianalisis. Begitu juga, periodisasi tanzîl, atau Makki dan Madani, bisa dirumuskan dengan bantuan ilmu tersebut. Dengannya juga, bisa disimpulkan, bahwa pembukuan al-Qur’an itu karena perintah Allah, bukan karena faktor sosial atau politik. Pengetahuan tersebut kemudian disistematikan oleh para ulama’ dalam kajian ‘Ulûm al-Qur’ân. Dari sini, bisa disimpulkan bahwa sejarah yang melatarbelakangi lahirnya hermeneutika adalah sejarah pemalsuan kitab suci dan monopoli penafsiran pihak gereja. Anggapan inilah yang telah melahirkan hermeneutika sebagai kaidah interpretasi-epistemologis.
Anggapan seperti sama sekali tidak terlintas dalam kepala ummat Islam. Baru setelah abad ke-20, anggapan ini dikembangkan oleh kaum terpelajar Muslim yang belajar di Barat, sehingga seakan-akan ummat Islam menghadapi persoalan dengan kitab suci mereka, seperti yang dihadapi ummat lain. Muncul Fazlur Rahman dan Arkoun, disusul Nashr Abû Zayd dan lain-lain, yang mengusung teori hermeneutika ini sebagai metode tafsir al-Qur’an. Dengan dalih obyektivitas, hermeneutika —sebagai interpretasi-epistemologis— telah menolak semua anggapan untuk membangun kesimpulannya. Tetapi, kenyataannya anggapan itu tidak pernah bisa dielakkan. Inilah yang kemudian mereka sebut dengan problem besar, hermeneutic circle (lingkaran setan tafsiran) itu. Ini sekaligus menunjukkan kesalahan teori ini, sebagai metode berfikir. Dengan dalih obyektivitas, semua anggapan dibuang, padahal obyek kajian yang dihadapi bukanlah realitas empiris yang bisa diuji dengan kaidah eksperimental layaknya obyek kajian ilmiah. Kesalahan inilah yang menyebabkan kesalahan-kesalahan berikutnya, termasuk ketika teori ini digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an. Padahal, al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan menggunakan bahasa Arab untuk menjelaskan kepada ummat manusia, tentang apa saja ihwal kehidupan mereka. Kitab ini telah diturunkan secara mutawatir, dan tersimpan di antara dua ujung mushaf. Inilah anggapan —tepatnya realitas— yang melatarbelakangi lahirnya tafsir al-Qur’an sebagai kajian yang berusaha menjelaskan makna-makna yang digali dari lafadz-lafadz kitab suci tersebut. Dari sinilah, dengan tegas Ibn Khaldûn (w. ) menyatakan, bahwa tafsir al-Qur’an merupakan bagian dari al-‘ulûm an-naqliyyah, ilmu yang berpijak pada informasi dari pembuat syariat.
Karena bidang tafsir adalah makna lafadz al-Qur’an, sementara al-Qur’an sendiri adalah kitab at-tasyrî’ yang berbahasa Arab, maka metode tafsir tidak bisa dipisahkan dari dua sumber tersebut, bahasa dan syara’. Dari sinilah, Ibn Khaldûn membagi tafsir menjadi dua: tafsîr naqlî, atau yang kini populer dengan istilah tafsîr bi al-ma’tsûr, dan tafsîr yarjî’ ilâ al-lisân, atau —meminjam istilah Syaikh Taqiyuddîn an-Nabhâni— tafsîr bi ar-ra’y. Jenis tafsir yang pertama adalah tafsir yang berpijak pada riwayat, termasuk nâsikh-mansûkh, asbâb an-nuzûl, dan maksud ayat. Sedangkan jenis yang kedua berpijak pada pengetahuan bahasa Arab, i’râb, dan balâghah sesuai dengan maksud dan gaya bahasa al-Qur’an. Kedua jenis tafsir ini jelas sangat ditentukan oleh informasi yang dikumpulkan oleh mufasir, baik yang bersumber dari sumber syara’ maupun bahasa. Dan, hanya dua model tafsir inilah yang diterima oleh para ulama’ sebagai tafsir yang representatif dan obyektif. Adapun tafsîr isyârî atau tafsîr ‘irfâni, tafsir yang dibangun berdasarkan pembacaan simbolis dan mistis —seperti yang digagas oleh kaum Sufi— atau tafsir imaginer —seperti yang digagas Arkoun— adalah tafsir yang dianggap tidak obyektif. Karena tafsir yang terakhir ini tunduk pada akal, atau pengalaman esoteris pembacanya.
Dengan kata lain, obyektivitas tafsir al-Qur’an itu ditentukan oleh tunduk dan tidaknya akal dalam melakukan pembacaan terhadap teks berdasarkan kedua sumber tersebut. Karena akal hanya berfungsi untuk memahami, maka dikatakan obyektif, jika tafsiran akal tunduk pada kedua sumber —syara’ dan bahasa— tersebut. Jika akal tidak tunduk pada kedua sumber tersebut, berarti al-Qur’an —seperti yang dituduhkan Arkoun— hanya menjadi alat justifikasi. Justru inilah yang menyandera tafsir hermeneutika Fazlur Rahman, Arkoun, Nash Abû Zayd dan kawan-kawannya. Di sinilah letak persoalan metode tafsir hermeneutika yang mereka kembangkan, ketika anggapan-anggapan dasar yang seharusnya digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an semuanya dibuang, seperti akidah dan syariat Islam, misalnya. Justru anggapan-anggapan kufur sengaja dikembangkan dan menjadi asumsi dasar tafsir hermeneutika mereka, misalnya: al-Qur’an adalah produk budaya, al-Qur’an adalah kompilasi Kata Tuhan dan kata Muhammad, al-Qur’an sudah tereduksi menjadi korpus resmi tertutup, dan karenanya harus didekonstruksi. Akibatnya, apa saja yang berbau syara’ harus dibuang, demi —apa yang mereka klaim sebagai— obyektivitas. Maka, teori hermeneutika yang memang lahir dari ranah budaya Yahudi dan Kristen itu, tentu tidak mampu untuk menjangkau apa yang dimaksud oleh al-Qur’an itu sendiri. Sebagai contoh, klasifikasi kata (lafadh) Arab, seperti majâz (kiasan) dan haqîqah (hakiki), memang dibahas oleh teori hermeneutika, sebagaimana kajian ilmu tafsir, tetapi teori hermeneutika tidak mengenal haqîqah syar’iyyah, seperti lafadz al-jihâd, as-shalâh dan sebagainya. Padahal, realitas tersebut ada di dalam al-Qur’an, ketika lafadz tersebut telah direposisi oleh sumber syara’ dari makna bahasa menjadi makna syara’. Karena teori hermeneutika tidak mengenal haqîqah syar’iyyah, maka kedua lafadz tersebut tetap diartikan sebagai haqîqah lughawiyah, sehingga masing-masing diartikan dengan kerja keras untuk jihâd, dan berdoa untuk shalâh. Tidak dimasukkannya, atau lebih tepat ditolaknya, keberadaan haqîqah syar’iyyah dalam teori hermeneutika adalah, karena teori ini lahir bukan dari teks syara’. Dengan kerangka epistema seperti ini, teori hermeneutika juga tidak menyentuh nâsikh-mansûkh, atau penggunaan teks di luar konteks historisitasnya, sebagaimana yang dibakukan dalam kaidah: al-‘ibrah bi ‘umûm al-lafdh[i] la bi khushûs[i] as-sabab. Sebab, keduanya bersumber dari sumber syara’. Dengan teori ini, ayat-ayat yang telah dinasakh dianggap masih berlaku, misalnya, surat Ali ‘Imrân [03]: 130, yang membolehkan riba, asal tidak berlipat ganda. Padahal, ayat ini sudah dinasakh dengan surat al-Baqarah [02]: 278. Kasus yang sama juga berlaku pada ayat-ayat khamer, sehingga baik riba maupun khamer menjadi boleh. Inilah produk tafsir hermeneutika. Dengan kerangka yang sama, kaidah bahasa: muthlaq-muqayyad, seperti dalam kasus as-sâriq[u] wa as-sâriqat[u] surat al-Mâ’idah [05]: 38, yang muthlaq kemudian di-taqyîd dengan hadits: majâ’ah mudhtharr (kelaparan yang mengancam nyawa), tidak diakui. Tentu, karena kedudukan Rasul hanya dianggap sebagai tokoh sejarah, bukan sebagai bagian dari as-Syâri’. Akibatnya, tindakan ‘Umar ketika tidak memotong tangan pencuri yang mencuri pada tahun paceklik (‘âm ar-ramâdah) dianggap sebagai tidak menerapkan hukum potong tangan. Padahal, ini bagian dari konteks muthlaq-muqayyad. Dengan Rasul yang diposisikan sebagai tokoh historis, berarti konteks mujmal-mubayyan juga tidak bisa mereka terima.
Dari sini jelas, bahwa kebobrokan tafsir hermeneutika justru terletak pada kerangka epistemologisnya, ketika menolak anggapan yang justru terjebak dengan anggapan. Dan, ini yang mereka akui sendiri, atau seperti yang mereka sebut dengan hermeneutic circle. Masalah ini terjadi, karena tafsir hermeneutika merupakan bagian dari metode berfikir rasional, bukan metode ilmiah. Metode berfikir rasional, tidak bisa dipisahkan dari anggapan atau informasi. Maka, kebobrokan tafsir hermeneutika justru terjadi karena kebobrokan metode berfikirnya. Akibatnya, bangunan pemikiran yang lahir dari kebobrokan ini penuh dengan kontradiksi dan inkonsistensi. Seperti membangun obyektivitas tafsir, yang justru terjebak dengan subyektivitas kontemplatif dan imaginer. Di sisi lain, teori interpretasi-epistemologis yang lahir dari sumber non-syara’ ini tidak cukup untuk membaca teks al-Qur’an yang bukan saja kitab berbahasa Arab, tetapi juga kitab tasyrî’. Maka, pemaksaan al-Qur’an hanya sebagai kitab berbahasa Arab, atau buku sastra, dan bukan kitab tasyrî’, bisa dipahami sebagai upaya untuk menundukkan al-Qur’an agar bisa didekati dengan teori yang miskin ini. Kesimpulan Secara epistemologis, hermeneutika —sebagai teori interpretasi-epistemologis—bukan dari Islam, tetapi merupakan produk tsaqâfah Barat. Pengetahuan yang lahir dari akidah dan pandangan hidup yang berbeda dengan Islam.
Sebagai metode berfikir, hermeneutika justru mengalami kebobrokan dari dalam, terutama ketika meniadakan anggapan-anggapan dasar, yang nota bene dibutuhkan oleh sebuah metode berfikir rasional seperti ini. Dan, sebagai teori interpretasi-epistemologis, atau kaidah penafsiran, tafsir hermeneutika hanya bisa digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an jika dibangun berdasarkan angggapan yang salah terhadap al-Qur’an. Seperti anggapan, bahwa al-Qur’an hanyalah produk budaya; al-Qur’an itu tunduk pada sejarah; al-Qur’an itu kompilasi Kata Tuhan dan kata Muhammad; al-Qur’an —karena kehendak sejarah, bukan karena perintah Tuhan— telah direduksi menjadi Corpus officiel clos. Dari sinilah, lahir tahap-tahap pewahyuan Arkoun, yang dipengaruhi oleh pandangan Paul Ricoeur itu. Begitu juga, ketika al-Qur’an hanya dianggap sebagai kitab sastra Arab, dan bukan kitab tasyrî’, maka keterbatasan hermeneutika itupun bisa digunakan untuk menjamah kitab suci ini. Namun, jika anggapan terhadap al-Qur’an itu benar, teori epistema seperti ini pasti tidak mempunyai tempat di sisi al-Qur’an yang mulia itu. Di atas semuanya itu, seperti keinginan Arkoun, semuanya itu dimaksud untuk melakukan sinkritisme, agar nilai kebenaran kitab suci itu bisa diterima oleh semua “ahli kitab” (Yahudi, Nasrani dan Islam), atau mengkompromikan Islam dengan kekufuran.

2/25/2009

Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran Al Quran

Pendahuluan
Al Quran adalah kalam Allah yang sudah dijaga keasliannya. Hal ini berbeda dengan tafsirnya, atas paksaan perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat, maka tidak dipungkiri lagi semakin luas pula penafsiran terhadap al Quran, dan juga akan semakin banyak orang yang berusaha menafsirkannya dengan mementingkan sikap egoismenya tanpa memperhatikan kebenaran yang mutlak.
Di antara kita ada yang beranggapan bawa buku tafsir al Quran adalah buku suci. Mereka lupa bahwa para mufassir yang menyusun kitab-kitab tafsir itu adalah juga manusia biasa yang tidak luput dari salah dan dosa. Tafsir adalah bidang kajian yang sangat terbuka dan luas untuk diijtihadkan. Maka hal ini tidak menutup kemungkinan bagi para mujtahid dalam menuangkan buah pikirannya dalam sebuah media yang sangat strategis tersebut.
Para misionaris dan orientalis yang culas juga banyak menyelipkan hal-hal yang menyesatkan dalam penafsiran mereka terhadap al Quran, yang kemudian menulis buku dan kitab denga maksud merendahkan kitab Allah.
Sekarang, tuga kita adalah memilih dan memilah antara yang layak dan tidak layak untuk disampaikan ke masyarakat. Sehingga masyarakat tidak dibodohi dan tidak mudah dipecah belahkan oleh kaum-kaum yang mau menghancurkan islam.
Dalam makalah ini kami akan membahas hal-hal yang merupakan tindakan penodaan terhadap tafsir al Quran, dengan cara menyimpang dari kaidah-kaidah yang sudah ditetapkan oleh ulama mufassirin.

Pengertian Penyelewengan dalam Penafsiran al Quran
Perkembangan tafsir al Quran dilakukan melalui dua periode yaitu periwayatan dan pembukuan. Dalam perjalanannya tafsir bilma’tsur berakhir dengan dihapusnya isnad-isnad, dan orang mengutipnya dengan menghilangkan sanad-sanad tersebut. selain itu juga tafsir al aqli atau rasional berakhir karena di dominasinya oleh kecenderungan-kecenderungan orang dan madhab teolojik dan madzhab-madzhab lain. Dengan demikian tidak dipungkiri lagi bahwa dengan dihilangkannya isnad-isnad dalam tafsir bilma'tsur dan pengutipan tanpan disebutkan sanad-sanadnya itu memberikan peluang kepada orang untuk berbuat kejahatan, dalam hal ini menyelewengkan apa-apa yang seharusnya tidak terjadi dalam menafsirkan al Quran. Karena ada kemungkinan terjadi manipulasi legenda israiliyat atau cerita cerita masyarakat bani israil yang banyak tidak masuk akal sehingga difonis bahwa cerita tersebut bersumber dari Nabi Muhammad, padahal ini terjadi sekedar untuk menonjolkan ambisi individual atau madzhab dan untuk menyembunyikan kerencuan pemikiran mereka. Tanpa adanya pengujian terhadapa kebenaran tafsir tersebut, pada akhirnya banyak kaum muslimin yang keracunan cerita-cerita israiliyat yang seharusnya tidak terjadi dalam menafsirkan al Quran. Itu merupakan sebagian cara atau usaha untuk memalingkan maksud al Quran dari tujuan asalnya, dan masih banyak cara lainnya yang akan dibahas selanjutnya.

Sebab Sebab Terjadi Penyimpangan dalam Penafsiran Al Quran
Banyak faktor yang menyebabkan mereka berani untuk melakukan penyelewengan terhadap tafsir al Quran, diantaranya:
1) Kecenderungan mufassir terhadap makna yang diyakininya tanpa melihat petunjuk dan penjelasan yang terkandung dalam lafadz-lafadz al Quran tersebut.
2) Kecenderungan mufassir untuk semata-mata memperhatikan lafadz dan maknanya yang bisa difahanu oleh penutur bahada Arab, tanpa memperhatikan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh yang berbicara dengan al Quran tersebut, yang dibicarakan olehnya dan siyak (konteks) kalimatnya.
3) Adanya ambisi besar dari din individu untuk melakukan penyelewengan tafsir tanpa memperhatika apa yang akan terjadi di kemudian hari.
4) Adanya dorongan dari madzhab atau aliran dengan bermaksud untuk menyembunyian menyembunyikan kerancuan pemikiran mereka dan menonjolkan pemikiran aliran atau madzahbnya sendiri.

Macam-macam dan Contoh

1. Penyimpaiigan Tafsir oleh Para Sejarawan
Sikap selektif yang di lakukan para sejarawan tidak selalu dapat di pertahankan secara terus menerus. Pada masa tabi'in, banyak kisah israiliyat yang diselundupkan ke dalam tafsir al Quran. Hal ini disebabkan oleh banyaknya ahli kitab yang masuk islam dan adanya keinginan dari kalangan ummat islam pada waktu itu untuk mengetahui kisah kisah selengkapnya mengenai ummat yahudi, nasrani, dan sebagainya yang dalam al Quran hanya di sebutkan secara garis besarnya saja. Oleh karena itu banyak kelompok mufassirin yang ingin mengisi kekosongan dalam hal ini yang menurut mereka dengan memasukkan kisah-kisah yang bersumber dari orang yahudi dan nasrani itu, sehingga karennya tafsir tersebut penuh dengan kisah dan bahkan mendekati pada takhayul dan khurafat.
Mufassir yang dikenal besar perhatiannya dalam hal ini diantaranya Abu Ishak Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim Ats Tsa'labi. la adalah seorang yang biasa berpidato memberi nasihat kepada masyarakat atau sering disebut da'i, seorang dai biasanya sangat mementingkan cerita sebagai isi dakwah. Hal ini dapat kita lihat didalam kitab yang ditulinya berjudul Al-Arais yang berisi tentang kisah kisah para nabi pada umumnya ditulis panjang-panjang sehingga pambaca menjadi bosan. Contoh yang dikemukakan dalam bukunya Ats-tsa'labi adalah kisah Ashabul Kahfi. Dalam kisah tersebut di sebutkan nama-nama Ashabul Kahfi dan nama anjing mereka, berikut dialog yang terjadi antara Ashabul Kahfi dan anjing yang terus membuntuti mereka. Yang paling mengherankan dalam kisah ini adalah adanya keterangan bahwa Nabi Muhammad memohon kepada Allah agar dipertemukan dengan mereka di dunia, tetapi kemudian Allah memberikan jawaban bahwa Muhammad tidak akan dipertemukannya di dunia, dan beliau di suruh agar mengutus empat sahabat pilihannya untuk menyampaikan risalah beliau kepada mereka. Dalam kisah ini kemungkinan adanya manipulasi dan keterangan yang meragukan. Dr. Muhammad Husain Adz-Dzahbi berpendapat bahwa dalam kisah itu terdapat bagian yang menunjukkan adanya manipulasi dan pelecehan terhadap Nabi Muhammad SAW. Muhammad adalah bukan orang yang suka berbuat iseng meminta kepada tuhan agar dipertemukan dengan pemuda-pemuda Ashabul Kahfi, seandainya kisah tersebut betul, mengapa ada permintaan Nabi Muhammad yang tidak di kabulkan dan bahkan ditugaskan kepada empat orang sahabat untuk menemui mereka dengan mata kepala sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad sudah hina dihadapan Allah sehingga permintaannya tidak bisa dikabulkan, sementara sahabatnya memperoleh apa yang menjadi permintaannya.

2. Penyimpangan Tafsir oleh Para Ahli Tata Bahasa Arab
Di antara mufassir yang melakukan penyimpangan seperti ini adalah Azzamakhsyari dengan kitab tafsirnya Almuharrarul Wajizfi Tafsiri Kitabi Aziz. Yang paling menonjol dalam kitab tersebut adalah penafsiran terhadap firman Allah surat Al Anam: 137 yang berbunyi:

وكذالك رين لكثير من المشركين قتل اولادهم شركاؤهم

Dan demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah menyebabkan kebanyakan orang musyrikin itu memandang baik untuk membunuh anak anak mereka.
Ayat ini ditafsirkan menurut qiraat Hafs, fiilnya dibaca zayyana dalam bentuk aktif atau mabni lil ma'lum dan failnya syurakaauhum. Sedangkan menurut quraat lain fiilnya di baca zuyyina dalam bentuk pasif atau mabni lil majhul, dan objeknya adalah kata qatla yang digabungkan dengan lafadz auladihim, sedangkan kata syurakauhum dikaitkan dengan sebuah kata kerja yang tersembunyi yaitu zayyana. Jadi seakan akan ada pertanyaan "siapakah yang menyebabkan mereka menganggap baik?", kemudian dijawab yang menyebabkan adalah pemimpin mereka.
Begitu juga kita jumpai Ibnul Munir as-Sukandari dalam bukunya Al-Intishab yang dicetak bersamaan dengan Al-Kasysyaf mengomenteri ucapan Az-Zamakhsyari dengan menyatakan: "Pengarang dalam bab ini seperti orang buta dan kebingungan. Saya merasa bertanggung jawab dihadapan Allah untuk membebaskan para pembaca kitab suci dan pemelihara firman-Nya dari tuduhan ini. Az-Zamakhsyari berkhayal bahwa sara imam qiraat tujuh itu masing-masing memilih satu bacaan menurut ijtihad mereka tanpa dasar riwayat ataupun tuntunan (dari Nabi). Oleh karena itu dia menyalahkan Ibnu Amir dengan bacaannya ini". Lebih lanjut Ibnul Munir mengutip kata-kata Az 'amakhsyari yang menyalahkan Ibnu 'Amir itu kemudian mengomentarinya sebagai berikut: "Ini seperti anda ketahui adalah dugaan Az-Zamakhsyari bahwa Ibnu 'Amir membaca qiraatnya ini berdasarkan pendapatnya sendiri semata, pada-hal yang benar tidak demikian. Az-Zamakhsyari tidak mengetahui bahwa dalam bacaan ini kata aulad dinashabkan (dibaca aulada), dan kata inilah yang memisahkan antara mudhaf (yaitu qatlu) dan mudhaf ilaihnya (yaitu syuraka-ihim). Dan bacaan ini, jelas bersumber dari Rasulullah saw. yang membacanya demikian di hadapan Jibril sarna seperti pada saat ayat itu diturunkan. Ketika itu Rasulullah membacakannya kepada sejumlah orang yang mencapai persyaratan tawatur, dan kemudian orang-orang ini meriwayatkan dan membacakannya kembali kepada orang-orang lain sesudahnya sampai kepada Ibnu 'Amir. Dan Ibnu 'Amir membacanya persis seperti apa yang didengarnya. Ini adalah keyakinan para ahli yang benar-benar mengetahui tentang tujuh macam bacaan (qiraat) yang diwariskan secara mutawatir dari Rasulullah saw.
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam kitab Al-Kasysyaf terdapat banyak pendapat Az-Zamakhsyari yang bertentangan dengan beberapa jenis bacaan (qiraat) yang benar, karena dia terpengaruh oleh mazhab nahwu yang dianutnya.

3. Penyimpangan Tafsir oleh Orang yang Tidak Menguasai Kaidah Tata Bahasa Arab
Para ulama mufassirin mencantumkan kriteria seorang ahli tafsir di antanya adalah memiliki ke ahlian dalam kaidah tata bahasa arab. Seorang yang tidak mengetahui tata kaidah bahasa arab akan cenderung melakukan penyelewengan terhadap menafsirkan al Quran, dan ada kecenderungan menafsirkan berdasarkan keinginannya sendiri. Sebagai contoh sebuah ayat yang ditafsirkan oleh sekelompok kaum Mu'tazilah dalam menafsirkan Surat al Baqarah : 255.

وسع كرسيه السموات ولارض
Ilmu Allah meliputi langit dan bumi

Ayat tersebut di kaitkan dengan syair arab yang tidak terkenal :

ولا يكرسئ علم الله مخلق
Tidak ada satu makhlukpun yang mengetahui ilmu Allah.
Ibnu Qutaibah menyatakan bahwa ayat tersebut di tafsirkan oleh sekelompok kaum Mu'tazilah seakan akan bermakna.

ولا يعلم علم الله مخلق
Makhluk tidak mengetahui ilmu Allah.
Padahal dalam kata kursy tidak terdapat hamzah sedangkan dalam kata Yukrisi-u terdapat hamzah. Dia menjelaskan bahwa yang mendorong orang Mu'tazilah menggunakan pemahaman seperti itu dengan meninggalkan makna yang sebenamya adalah karena mereka tidak yakin bahwa Allah itu mempunyai kursi atau singgasana, dan menurut mereka 'arsy mempunyai pengertian yang berbeda.

4. Penyimpangan Tafsir oleh Kaum Teolog
Munculnya berbagai madzhab keagamaan, sangat mempengaruhi tafsir al Quran. Hal itu terjadi karena al Quran merupakan acuan pertama bagi kaum muslimin pendukung madzhab-madzhab tersebut. mereka berusaha mencari dalil untuk mendukung madzahabnya masing-masing, meskipun dengan cara mencocokkan teks atau nash al Quran dengan pandangan madzhabnya itu. Mereka menafsirkannya sesuai dengan jalan pikiran dan keinginannya, serta mena'wilkan ayat yang berbeda dengan pendapat madzhabnya sehingga tidak tampak berlawanan dan bertentangan dengan madzhab serta kepercayaannya.
Ada beberapa aliran kaum teolog islam diantanya Mu'tazilah, Khawarij, Syiah, Murjiah, Asyariah, dan lain sebagainya. Kesemuanya kebanyakan dalam menafsirkan al Quran
berdasarkan jalan pikirannya yang kadang menyeleweng dari makna yang sebenarnya. Selain itu juga bisa masuk kelompok kaum teolog adalah kalangan sufi, khusunya ahli sufi terdahulu yang selalu bercampur baur dengan kalangan filosof, yang pada akhirnya banyak menaruh perhatian terhadap pikiran-pikiran filosofis.
Sebagai contoh bisa dikemukakan bahwa Ibn Al-Arabi, Abu Yazid Al Bustami, Al Hallaj dan lainnya, mereka cenderung menafsirkan ayat-ayat al Quran sejalan dengan pendapatnya tentang Wihdatul wujud ( panteisme ). Pendapat inilah yang menyebabkan Al Hallaj berani mengatakan "aku adalah Allah " dan juga Ibn Al Arabi mengatakan bahwa anak sapi yang di sembah Bani Israil adalah manifestasi dari Allah. Ibnu al Arabi dalam kitabnya Futhatul Makiyah menafsirkan surat al Isra : 23.

والهكم اله واحد
Dan tuhanmu adalah tuhanyang esa.
Ibnu al Arabi mengatakan bawah dalam ayat ini Allah berbicara dengan kaum muslimin tentang orang-orang yang menyembah benda-benda selain Allah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, sebenarnya sama dengan menyembah Allah juga. Selanjutnya al Arabi juga menjelaskan bahwa "ingatlah ketika mereka mengatakan: sebenarnya kami menyembah benda-benda ini hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah", sambil mengemukakan alasan mereka. Kemudian Allah pun berfirman kepada kita bahwa sesungguhnya tuhanmu dan tuhan yang di sembah oleh orang orang musyrik dengan perantara benda-benda sesembahan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, adalah sama; karena itu sebenarnya kamu semua tidak berbeda dalam pengakuanmu terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu .

5. Penyimpangan Tafsir oleh Para Ilmuwan
Di antara para ulama di zaman dahulu maupun di zaman sekarang ada yang berpendapat bahwa di samping ilmu agama al Quran juga berisi keterangan-keterangan tentang ilmu-ilmu duniawi dengan segalan macam jenis dan coraknya. Sebagai akibatnya mereka mencoba untuk mencari istilah-istilah keilmuan dari dalam pernyataan-pernyataan al Quran, berusaha mengungkapkan semua ilmu kealaman sehingga menyatakah bahwa semua ilmu yang kita dapati sekarang hingga ahli kiamat sudah ada dalam al Quran tergantung kita dapat menggalinya atau tidak .
Contoh dalam hal ini adalah sebagaimana yang di ungkapkan oleh As-Suyuthi dari beberapa ulama yang menyatakan bahwa umur Nabi Muhammad adalah 63 tahun tersebut bisa di ketahui dalam surat Al Munafiqun ayat 11, yang berbunyi:

ولن يؤاخر الله اذا جاء احلها
Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan kematian seseorangjika telah datang saatnya.
Surat Al Muafiqun ini kemudian diikuti oleh surat At Taghabun yang secara harfiah berarti saling menipu, karena pada saat itu terjadi usaha-usaha untuk saling menipu mengenai berita wafatnya Nabi .
Masih banyak contoh lain yang mengungkapkan adanya relefansi al Quran dengan ilmu pengetahuan meskipun banyak yang menyelewengkan dalam penafsirannya. Al Quran akan terus sejalan dengan teori teori dan kaidah kaidah keilmuan selama teori-teori dan kaidah-kaidah tersebut dilandasi oleh prinsip kebenaran dan bersumber pada realitas yang benar pula.

6. Penyimpangna Tafsir oleh Kaum Pembaharu Islam
Bila kita meneliti pendapat-pendapat dari kelompok mufassir al Quran, kita dapat menemukan banyak contoh yang menunjukkan bahwa penafsiran mereka menyimpang dan keliru. Di antara mereka ada yang karena keinginannya untuk melakukan pembaharuan lantas melakukan penyimpangan-penyimpangan dengan mengikuti pendapat yang menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan hukum dan hukuman dalam syariat Islam telah ketinggalan zaman. Karena itu mereka mena'wilkan ayat-ayat mengenai hukuman (hudud) secara tidak benar. Mereka memahami fiil amar dalam ayat-ayat yang berkaitan dengannya sebagai kebolehan yang pelaksanaannya di serahkan kepada pemerintah, jika ia mau melaksanakannya dan jika tidak maka tidak apa-apa. Pendapat ini dapat di baca dalam artikel yang berjudul Hukum Mesir dan Hubungannya dengan Hukum Islam . Dia mengatakan bahwa "ayat-ayat yang tertulis dalam hukum hudud, diantaranya dalam surah Al Maidah: 38-39, juga surah An Nur: 2, adalah fiil amar yang perlu dipermasalahkan dan dibahas secara tenang. Dalam ayat ini saya telah menemukan cara baru untuk menghilangkan hambatan yang ada demi terlaksananya hukum islam yang bersumber pada ayat tersebut.
Penulis artikel tesebut menyimpulkan bahwa hukum potong tangan bukanlah hukuman wajib yang tidak boleh diganti dengan hukuman keras lainnya pada kondisi tertentu. kedudukannya tidak berbeda dengan sesuatu yang mubah, yang tunduk kepada kebijakan pemerintah dan dapat jiga bervariasi karena kondisi waktu dan tempat. Dia mena'wilkan ayat tentang tidakan pidana pencurian dan perzinaan dengan cara yang tidak dapat di terima dan buat keliru dalam memahami kata kerja perintah di dalamnya. Perubahan makna dari wajib menjadi boleh pada ayat tersebut sungguh tidak masuk akal, karena kewajiban potong tangan bagi pencuri adalah perintah yang harus dilakukan.

bersambung...

2/09/2009

Indahnya Wudhu

Dalam menjalani roda kehidupan ini, banyak di antara kita tidak menyadari bahwa sesungguhnya disetiap apa yang diperintahkan agama itu sangat kompleks dengan keajaiban dan hikmah yang tersembunyi, Salah satunya adalah wudhu.
Wudhu merupakan pekerjaan yang kelihatannya sepele, tapi mempunyai pengaruh sangat besar di samping tidak menjadikan salat kita sah tanpa wudhu. Rasulullah saw. pernah bersabda kepada para sahabat: Apabila anda tidur dalam keadaan suci (berwudhu) maka Malaikat akan tetap mengikuti, lalu ketika ia bangun niscaya Malaikat itu akan mengatakan 'Ya Allah ampunilah hamba mu si fulan, kerana ia tidur di malam hari dalam keadaan selalu suci'". (HR Ibnu Hibban dari Ibnu Umar r.a.).
Sejalan dengan hadis di atas, Imam Al Ghazali mengatakan dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, ada hal-hal yang harus kita telaah saat berwudhu. 1. Ketika berkumur, berniatlah kamu dengan, "Ya Allah ampunilah dosa mulut dan lidahku”, ini berarti bahwa kita selalu memohon perlindungan dari perkataan yang tidak ada manfaatnya. 2. Ketika membasuh muka, berniatlah kamu dan berdoa, "Ya Allah, putihkanlah mukaku di akhirat kelak, Janganlah Kau hitamkan muka ku ini". Berarti kita memohon wajah kita bercahaya saat yang lain kegelapan di akhirat kelak. 3. Ketika membasuh tangan kanan, berniatlah kamu dengan, "Ya Allah, berikanlah hisab-hisab ku di tangan kanan ku ini". Berarti ahli syurga menerima buku amal dengan tangan kanannya. 4. Ketika membasuh tangan kiri, berdoalah kamu dengan, "Ya Allah, janganlah Kau berikan hisab-hisabku di tangan kiriku ini". Kita berharap tidak termasuk ahli neraka. 5. Ketika membasuh kepala, berniatlah kamu dengan,"Ya Allah, lindungilah daku dari terik matahari di padang Masyar dengan ArasyMu". Padang Mahsyar adalah hari-hari semua ummat manusia dikumpulkan. 6. Ketika membasuh telinga, berniatlah kamu dengan,"Ya Allah,ampunilah dosa telinga ku ini". Memohon perlindungan dari suara-suara yang menimbulkan kemadharatan. 7. Ketika membasuh kaki, berniatlah kamu dengan."Ya Allah, permudahkanlah aku melintasi titian Siratul Mustaqqim". Memohon kelancaran ketika menyebrangi Shiratul Mustaqim. Demikian dahsyatnya doa-doa yang diajarkan Nabi kepada ummatnya, maka pantaslah malaikat mendoakan kita.
Wudhu adalah ritual penyucian yang mengutamakan unsur kesehatan. Bagian-bagian yang dibasuh merupakan titik-titik penting peremajaan tubuh. Dilain pihak juga merupakan pintu masuk bagi ribuan kuman, virus, bakteri, dan bibit penyakit lainnya.
seorang ahli refleksologi mengatakan bahwa ada 61 daru 65 titik refleksi Cina tersebar di seluruh bagian tubuh yang dilewati air wudhu, adapun yang lainnya terdapat di tumit dan lutut yang hal ini merupakan anggota wudhu yang tidak diwajibkan. Sistem metabolisme tubuh manusia terhubung dengan jutaan syaraf yang terdapat di kulit. Dalam dunia pengobatan modern sistem pengguyuran air ke kulit disebut hydromassage atau disebut pijatan air.
Ketika membasuh wajah, air akan memberikan efek positif pada syaraf, usus, saraf dan proses reproduksi, Membasuh kaki kiri berefek positif pada kelenjar pituitari, otak yang mengatur fungsi-fungsi kelenjar endokrin (kelenjar yang bertugas mengatur pengeluaran hormon dan mengendalikan pertumbuhan). Di telinga terdapat ratusan titik biologis yang akan menurunkan tekanan darah.
Perkembangan dunia medis yang sangat pesat ini, menuntut kita untuk selalu mengikuti perkembangan zaman dalam menyembuhkan sebuah penyakit yang sedang kita alami. Namun jangan salah sangka dulu, al Quran merupakan dokter yang sudah lama mengajarkan kita. Adalah Mokhtar Salim seorang ahli medis yang menulis buku Prayers: a Sport for the Body and Soul menjelaskan bahwa wudlu bisa mencegah kanker kulit. Jenis kanker ini lebih banyak disebabkan oleh bahan-bahan kimia yang setiap hari menempel dan terserap oleh kulit. Resiko ini dapat diantisipasi dengan cara membersihkannya secara rutin, berwudhu adalah cara yang lebih dari cukup. Selain itu berwudhu merupakan peremajaan terhadap kulit yang membantu mencegah terjadinya keriput.
Masih banyak khasiat dari wudhu yang tidak akan cukup untuk dituliskan disini. Yang terpenting adalah kita menyadari bahwa al Quran adalah dokter yang telah mengajarkan umat manusia selama berabad-abad dan tidak pernah salah. Sebagai seorang muslim, marilah kita budayakan wudhu dalam kehidupan sehari-hari.

dimuat di Buletin kampus "Dzulfikar"